TEPI BARAT (Arrahmah.id) – Knesset “Israel” mengeluarkan undang-undang pada Selasa (21/3/2023) yang mengizinkan orang “Israel” untuk masuk dan tinggal di empat permukiman Yahudi di Tepi Barat yang diduduki yang dievakuasi pada 2005 sebagai bagian dari rencana “Pelepasan Gaza” yang diterapkan selama masa jabatan Ariel Sharon, perdana menteri saat itu.
Anggota Knesset, Yuli Edelstein dari partai Likud dan Limor Sonn Har Melech dari Otzma Yehudit (partai Kekuatan Yahudi) mensponsori RUU tersebut.
Pada 2005, mantan PM “Israel”, Ariel Sharon memutuskan untuk menarik pasukan “Israel” dan mengevakuasi dua puluh lima permukiman ilegal Yahudi di Jalur Gaza.
“Israel” menyatakan penarikan itu sepihak untuk kepentingan meningkatkan keamanan “Israel” dan posisi internasional tanpa adanya negosiasi damai dengan Palestina.
Pemukim Yahudi di empat permukiman ilegal di Tepi Barat yang diduduki juga diusir berdasarkan rencana pelepasan. Bekas permukiman Homesh, Sa-Nur, Ganim, dan Kadim telah ditutup zona militer sejak akhir 2005.
Dov Weisglass, Penasihat Senior PM “Israel”, Ariel Sharon pada saat itu, kemudian mengakui bahwa rencana tersebut merupakan trade-off. “Israel” akan menarik diri dari Jalur Gaza dan beberapa permukiman di Tepi Barat. Namun, pada saat yang sama, juga akan menyatakan bahwa tidak ada mitra perdamaian di pihak Palestina dan, karenanya, tidak melakukan negosiasi perdamaian.
“Arti penting dari rencana pelepasan adalah pembekuan proses perdamaian… Secara efektif, seluruh paket yang disebut negara Palestina ini, dengan semua yang diperlukan, telah dihapus tanpa batas waktu dari agenda kami…. Semua dengan restu presiden dan ratifikasi kedua majelis Kongres,” kata Weisglass.
Pada 2003, “Israel” dan Otoritas Palestina mendukung proposal perdamaian AS yang dikenal sebagai “peta jalan”, yang dirancang untuk menggerakkan orang “Israel” dan Palestina selama tiga tahun untuk menciptakan negara Palestina.
Rencana pelepasan Sharon mendapat tentangan besar dari pemukim “Israel” dan pemerintah.
Benjamin Netanyahu, menteri keuangan pada saat itu, mengundurkan diri sepekan sebelum pelepasan, dengan mengatakan “penarikan itu membahayakan keamanan “Israel”, memecah belah rakyatnya dan menetapkan standar penarikan ke perbatasan 1967.”
Delapan belas tahun kemudian, “Israel” masih mempertahankan kendali militer yang efektif atas Jalur Gaza dan 2,1 juta penduduknya.
Pemukim “Israel” merayakan keputusan ini setelah pemungutan suara Selasa (21/3) membatalkan bagian dari undang-undang yang melarang mereka tinggal di daerah Tepi Barat yang diduduki yang dievakuasi pemerintah Israel pada 2005.
Menteri keuangan “Israel”, Bezalel Smotrich, seorang pemukim Tepi Barat yang mengklaim “tidak pernah ada orang Palestina”, menggembar-gemborkan pemungutan suara parlemen tersebut sebagai peristiwa bersejarah.
Dalam sebuah wawancara dengan The Jerusalem Post menjelang pemungutan suara, duta besar Amerika Serikat untuk “Israel”, Tom Nides, mengatakan bahwa AS menentang RUU tersebut.
“Kami sudah sangat jelas [bahwa] kami menentang RUU itu,” kata Tom Nides.
Pada pertemuan para pejabat dari “Israel”, Otoritas Palestina, Yordania, Mesir dan Amerika Serikat di Aqaba pada bulan Februari dan Sharm el-Sheikh bulan ini, “Israel” berjanji untuk sementara menghentikan rencana permukiman baru.
Nabil Abu Rudeine, juru bicara presiden Palestina Mahmoud Abbas, mengutuk pengesahan RUU itu dan mengatakan itu bertentangan dengan resolusi dewan keamanan PBB 2334.
Dia juga mengatakan pemerintah “Israel” bersikeras menantang hukum internasional dan upaya pihak internasional untuk mencegah eskalasi. (zarahamala/arrahmah.id)