Oleh: Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir
(Arrahmah.com) – Diksi radikal sangat populer di Indonesia, selain di mancanegera. Berbagai pihak menjadikan isu radikal dan radikalisme sebagai bahan diskusi, kajian, dan tentu saja penangkalan yang sifatnya extraordinary alias gawat darurat.
Sebagian malah menjadikannya lahan komoditas, proyek, dan politisasi yang seksi. Padahal, siapa pun yang terkena label radikal dan radikalisme sontak menjelma sebagai hantu yang menakutkan sekaligus menjadi musuh bersama dunia.
Rujukan radikal di negeri ini tidak jarang dikonotasikan dengan radikalisme agama, lebih khusus radikal Islam. Tautan radikal Islam itu bahkan berindentik dengan ekstremis atau jihadis dan teroris, yang identifikasinya samar maupun terbuka sering atau pada umumnya tertuju pada golongan tertentu umat Islam.
Sejumlah pihak boleh membantah secara verbal atas deskripsi radikal yang serba menjurus itu, tetapi diakui atau tidak tampak kuat konotasi dan identifikasinya radikalisme tertuju pada Islam dan umat Islam.
Kadang terjadi paradoks atau ambigu. Ketika ada perangai dan tindakan serupa di tempat dan golongan lain, nyaris tidak dikategorisaskan radikal dan radikalis.
Kelompok tertentu yang mengangkat senjata dan sesekali memekikkan slogan merdeka di suatu daerah yang melahirkan anarki dan kekecauan, belum terdengar disebut radikalis dan teroris. Mereka malah tidak disebut separatis. Hanya sebatas disebut gerakan pengacau keamanan dan kelompok kriminal bersenjata.
Ketika sekelompok orang Islam berujar rela mati demi agama, sontak label radikal tertuju kepadanya. Kata jihad pun sepenuhnya menjadi negatif dan identik dengan radikal yang mengandung makna kekerasan jalanan.
Setelah itu dipulerkan di ruang publik sebutan kaum jihadis yang maknanya sama dengan radikalis-teroris. Diksi “Wahabi” sering dipertautkan dengan aura negatif kaum jihadis, radikalis, dan teroris yang menakutkan itu.
Berbeda ketika sekelompok orang menyuarakan “rela mati demi NKRI” sampai slogan “NKRI harga mati”. Kendati sesekali ada sejumlah aksi disertai cap jempol darah, gerakan kebangsaan seperti itu tidak akan dituding sebagai radikal dan radikalis.
Mereka sebaliknya dikategorikan sebagai pembela Tanah Air sejati. Mereka disebut para pahlawan nasionalis yang berada di garda depan dalam membela Indonesia, Pancasila, kebinekaan, dan UUD 1945. Mereka adalah para “mujahid kebangsaan”.
Ketika sekelompok orang atas nama agama melakukan sweeping tempat maksiat yang tentu saja tidak benar secara hukum karena mengambil alih tugas kepolisisan, mereka disebut radikalis Islam. Namun, manakala sekelompok orang atas nama nasionalisme dan bela NKRI melakukan sweeping atau mengusir kelompok lain yang berbeda haluan politik dan beda paham agama, tidak disebut radikalis.
Lebih-lebih manakala tindakan radikal atas nama bela Tanah Air itu menggunakan slogan “hubbul wathan”, maka terbangunlah citra nasionalisme tulen. Padahal sama radikalnya, yang melahirkan paradoks tentang radikalisme!
Objektivasi Pandangan
Radikal dan radikalisme sebagai konsep sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata radikal berasal dari akar kata radix (Latin) berarti origin (asli) atau root(akar).
Mereka yang menganut paham radikal artinya yang ingin kembali ke sesuatu yang asli atau akar yang sifatnya mendasar. Jika beragama, berarti kembali ke fondasi yang murni dan mendasar, yaitu keyakinan seperti akidah, demikian pula radikal dalam ideologi atau sikap hidup lainnya.
Radikal ialah usaha bersama untuk mengubah status-quo (Collins Dictionary of Sociology, 1991). Gerakan sosial radikal ialah “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa” (Kartodirdjo, 1973).
Adapun radikalisme ialah suatu paham atau gerakan mengambil sesuatu hingga ke akarnya (taking things by the roots), tulis Anthony Giddens (1994). Dalam kajian Giddens, menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Beberapa mereka yang radikal memang revolusioner meski tidak indentik semuanya revolusioner.
Karenanya, pada awalnya tidak ada yang salah dengan radikal. Boleh jadi karena ingin kembali ke asli atau akar, sebagian kaum radikalis menjadi “true believers” atau kelompok fanatik buta, dari sinilah benih radikalisme yang eksklusif, monolitik, dan intoleran.
Namun, sikap kepala batu seperti ini milik semua kaum radikal, termasuk radikal nasionalisme yang dikenal “ultra-nasionalis”, sebagaimana kaum “New-Left” atau “Kiri Baru”, bukan hanya di kalangan agama.
Dalam kenyataan, tidak ada satu golongan tertentu yang mewakili genre radikal dan radikalisme. Gerakan petani radikal bahkan sudah melegenda menjadi realitas sejarah, yang menjadi perhatian khusus ilmu-ilmu sosial dalam studi gerakan sosial sebagaimana ditemukan dalam kajian sejarah dan ilmu-ilmu sosial, seperti karya JC Scott (1976, 1983), E Wolf (1969), Kartodirjo (1973), dan Kuntowijoyo (1983).
Dalam banyak gerakan sosial yang bersifat “Ratu Adil” atau “Millenari” para tokoh radikal malah menjadi idola rakyat untuk pembebasan. Sangat keliru kalau paham radikal dipatok ke satu paham dan golongan tertentu sambil tutup mata dari radikal paham dan golongan lain.
Sejarah paham dan pergerakan radikal dimulai di Eropa, khususnya Inggris, pada akhir abad ke-18. Pada tahun 1797, gerakan “radikal” dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan “reformasi radikal” dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen.
Setelah itu, sejak abad ke-19, pemikiran dan gerakan radikal bertumbuh menjadi liberalisasi politik untuk melakukan reformasi atau perubahan kehidupan politik yang progresif. Gerakan “Kiri Baru” di banyak negara termasuk dalam radikalisme, sering diadopsi oleh gerakan-gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) termasuk di Indonesia.
Gerakan radikal dan radikalisme lebih banyak dijumpai dalam gerakan dan kelompok politik, selain kelompok sosial. Termasuk di dalamnya radikal ideologi, yang sangat mengabsolutkan paham tertentu, tidak kecuali paham kebangsaan atau nasionalisme.
Komunisme merupakan lanjutan paham marxisme radikal, yang dalam sejarah dunia di mana pun menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik dan diktatorial dalam pemerintahan maupun proletarianisme yang mendewakan populisme. Di Indonesia, banyak peristiwa kelam akibat gerakan komunis.
Paham kebangsaan yang radikal juga dapat dijumpai di banyak negara, yang sering disebut dengan ultranasionalisme. Pekik, ujaran, tulisan, pandangan, serta aksi-aksi yang berlebihan atau mengandung unsur pengabsolutan disertai ekstremitas sampai mengandung unsur kekerasan atas nama nasionalisme dapat dikategorisasikan ke dalam paham radikal atau radikalisme.
Sikap kedaerahan yang disertai paham dan sikap ekstrem, yang mengandung sikap chauvinis, termasuk sikap anti terhadap orang dari daerah luar dan lebih-lebih bila sering memberikan ancaman merdeka manakala tidak puas terhadap keadaan, juga dapat dikategorikan sebagai radikal dan radikalisme. Demikian halnya dengan primordialisme lain yang serbaekstrem.
Maka menjadi paradoks dan tidak adil manakala baju radikal dan radikalisme disematkan terbatas pada satu paham dan golongan, seperti kepada umat Islam. Paham, sikap, dan tindakan radikal dalam makna ekstrem, intoleran, dan keras dalam kenyataan terdapat pada paham dan golongan lain, termasuk radikal dalam paham kebangsaan, baik atas nama nasionalisme maupun pandangan agama dan ideologi lain yang serbaekstrem, eksklusif, dan tidak jarang mengandung muatan intoleransi dan kekerasan.
Paradoks tentang pandangan radikalisme seperti itu menunjukkan reduksi dan kekeliruan pemikiran yang menunjukkan bukti radikalisme dalam wujud lain. Di sinilah pentingnya keobjektifan pandangan secara adil dan komprehensif tentang radikalisme agar tidak terjebak pada reduksi dan salah pemikiran.
Radikalisme Keagamaan
Bagaimana dengan radikalisme agama? Radikalisme agama atau keagamaan memang dijumpai dalam kehidupan umat beragama sepanjang sejarah di mana pun, sebagaimana radikalisme lainnya. Radikalisme agama, lebih-lebih yang mengandung ekstremisme (ghuluw), intoleransi, dan kekerasan, tidak baik dan tidak dibenarkan ajaran agama, termasuk Islam. Islam adalah agama tengahan (wasathiyah) dan menebar rahmatan lil-‘alamin di muka bumi.
Islam mengajarkan damai, tasamuh, kebaikan, dan spirit hanif dalam beragama. Kalaupun ada ajaran dan sejarah jihad dalam makna qital atau ghozwah (perang) dalam Islam sangatlah terbatas, ketat, dan menjunjung etika kemanusiaan yang tinggi demi mempertahankan agama dan diri umat dari ekspansi pihak lain yang sewenang-wenang.
Islam tidak membenarkan jihad fisik secara serampangan, sepihak, dan sewenang-wenang alias anarkistis. Dalam posisi paham keagamaan moderat pun perlu keterbukaan, tidak menjadi ekstrem tengah dengan mengembangkan pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan radikal atas nama kemoderatan.
Kenyataan ada radikalisme ekstrem dan mengandung kekerasan pada seglintir kelompok Islam, seperti digelorakan al-Qaida, ISIS, Jamaah Islamiyah, dan gerakan-gerakan serupa, terutama yang dilarang di dunia Muslim. Kita semua menentang radikalisme agama seperti itu, termasuk jika dikembangkan di Indonesia.
Kita juga secara tegas tidak bersetuju dengan gerakan Islam yang mengusung paham dan aksi menegakkan kekhalifahan atau negara Islam di Indonesia. Semua atau mayoritas terbesar umat Islam sudah bersepakat bahwa Indonesia ialah negara hasil konsensus nasional di mana Pancasila sebagai dasar negara sejalan dengan Islam, yang dalam terminologi Muhammadiyah dideklarasikan sebagai Darul Ahdi Wasyahadah.
Namun, menjadi salah manakala radikalisme agama secara mudah dialamatkan kepada Islam dan umat Islam Indonesia. Keliru juga manakala terjadi perbedaan pandangan keagamaan dari mayoritas mazhab atau paham dengan mudah dikonotasikan pada radikalisme agama.
Lebih keliru lagi manakala ada semacam otoritas tertentu yang diberikan atau digunakan oleh golongan keagamaan tertentu untuk melabeli pihak lain yang berbeda dengannya sebagai radikal dan radikalisme Islam. Apalagi jika label radikalisme Islam itu harus selalu ada demi melestarikan proyek deradikalisme. Tudingan radikal dan radikalisme Islam menjadi sangat murah-meriah, bergantung pada pihak yang dominan dan berkepentingan dalam politik keagamaan.
Selain itu, dalam kenyataan, radikalisme agama pun berlaku umum untuk semua agama atau lebih tepatnya pada semua umat beragama. Radikalisme atau dalam idiom lain fundamentalisme yang melahirkan kekerasan atas nama agama dalam kajian para ahli juga dilakukan oleh pemeluk agama pada umumnya selain Islam, seperti Kristen-Katolik, Hindu, Buddha, dan lainnya seperti temuan Richard T Antoun (2003), Juergensmeyer (2000), Amstrong (2000), dan studi empirik lainnya.
Artinya, ketika membahas radikalisme agama tidak dapat sembarangan ditujukan kepada agama dan umat beragama tertentu, juga dengan sudut pandang tertentu. Radikalisme Islam pun manakala dikaitkan dengan sejumlah kasus mutakhir dalam kenyataannya mengandung banyak muatan kepentingan dan bersifat kompleks (Youssef M Choueiri, 1990; Hassan Hanafi, 1989).
Perlu dipahami pula kecenderungan radikal dalam beragama maupun sikap hidup lainnya sering terjadi karena berbenturan dengan kelompok lain yang sama radikal. Tariq Ali memperkenalkan istilah ”benturan antar-fundamentalisme”, yang melibatkan kelompok keagamaan yang menunjukkan sikap “religious fundamentalism” (fundamentalisme keagamaan) dengan sikap yang sama radikalnya di seberang lain yang disebutnya “imperial fundamentalism” (fundamentalisme penjajah), yang satu seperti diwakili sosok Osama bin Laden dan lainnya Goerge W Bush (Tariq Ali, 2003: xi). Lahirnya radikalisme agama berhadapan dengan radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan radikalisme lainnya.
Artinya, jangan pernah mereduksi pandangan tentang radikalisme, lebih-lebih dengan satu sudut pandang dan hanya ditujukan kepada pihak tertentu. Ketika terdapat radikalisme agama dan melibatkan umat beragama, selalu perlu pertanyaan lebih mendasar.
Mengapa sikap dan tindakan radikal keagamaan seperti itu terjadi dalam kehidupan umat beragama, padahal agama mengajarkan perdamaian dan kebajikan? Bagaimana dengan radikalisme di luar keagamaan yang sama radikalnya, termasuk radikal atas nama nasionalisme dan ideologi lain yang memproduksi ekstremitas, intoleransi, dan bahkan kekerasan verbal maupun fisik.
Posisi kaum moderat yang objektif sangatlah tegas. Jauhi radikalisme dalam bentuk apa pun yang membawa pada paham serbaabsolut, lebih-lebih mengandung ekstremisme, intoleransi, dan kekerasan. Namun, jangan ambigu dan melakukan politisasi dalam mengonstruksi radikalisme sehingga label dan konsep radikalisme hanya diperuntukkan bagi golongan tertentu sembari menegasikan radikalisme lainnya.
Paradoks pandangan yang berstandar ganda dan politis seperti itu hanya akan melahirkan sesat pikir, kebijakan, dan tindakan yang rawan penyimpangan dalam menyikapi radikalisme. Akhirnya jatuh pada pemikiran yang apriori, bagaikan kata pepatah klasik, “masuk ke mulut dimuntahkan, tiba di perut dikempiskan!”
Sumber: Muhammadiyah.or.id
(ameera/arrahmah.com)