(Arrahmah.com) – Kemiskinan yang menimpa masyarakat Aceh telah mendorong banyak warga Aceh terlibat kasus perdagangan manusia (human trafficking) dalam tiga tahun terakhir ini. Terlebih lapangan kerja yang tersedia sangat minim. Persoalan ini tidak terlepas dari minimnya perhatian dari Pemerintah Aceh dalam menanggulanginya. Rata-rata kasus trafficking menimpa kaum perempuan di pelosok desa.
Gaya hidup hedonis melanda Aceh
Gaya hidup hedonis yang telah menyerang masyarakat Aceh memicu tumbuhnya sikap pragmatisme untuk mendapatkan pekerjaan secara instan. Sikap hidup hedonis menuntut pemenuhan kebutuhan yang semakin meningkat dengan menginginkan penghasilan yang lebih banyak.
Angka trafficking di Aceh pada tahun 2012 hanya 7 kasus, meningkat pada tahun 2013 menjadi 13 kasus dan terus meningkat medio Januari-Oktober 2014 sebanyak 22 kasus.
Selain kemiskinan dan gaya hidup hedonis yang membuat masyarakat Aceh terjebak dalam kasus trafficking, juga dipengaruhi oleh kurangnya ilmu pengetahuan tentang apa itu trafficking. Sehingga masyarakat yang sedang membutuhkan pekerjaan itu tidak memilah-milah jenis pekerjaan yang ditawarkan oleh pelaku trafficking itu. Para pelaku trafficking mengiming-imingi korban dengan pekerjaan yang menawarkan gaji tinggi, kemudian setelah terbujuk, korban dibawa ke Malaysia dan Singapura untuk dijadikan pelacur.
Perilaku hedonis ini merupakan imbas dari penerapan sistem kapitalistik yang diterapkan negeri ini. Bagaimanapun, Aceh adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kapitalistik. NKRI yang kapitalis-demokrasi lah yang melanggengkan kemiskinan, memfasilitasi gaya hidup hedonis hingga banyak orang termasuk perempuan Aceh rela melakukan apa saja –menjadi pelaku atau germo pelacuran- demi memenuhi standar gaya hidupnya.
Perda Syariah di Aceh
Aceh, sebagaimana yang kita tahu, telah menerapkan perda Syariah. Namun kalangan liberal dan anti Islam menyerang Islam pada sebagian realitas penerapan Syariah di Aceh. Meski Aceh dikenal dengan kereligiusannya, namun Aceh ternyata mengalami banyak masalah -misalnya kemiskinan, trafficking, pelanggaran HAM, dll- yang kemudian menjadi delik serangan kalangan liberal dan anti Islam. Apalagi orang-orang yang bergerak di lembaga HAM, mereka menyerang Islam dari sisi Islam hak-hak perempuan Aceh.
Padahal harusnya proporsional ketika melihat realitas. Meski Aceh terkenal dengan penerapan Perda Syariahnya, namun harus dipahami bahwa penerapan Syariah yang diberlakukan di Aceh hanyalah sebagian dari hukum Islam itu sendiri (penerapan Islam secara parsial). Artinya, Aceh tidaklah secara kaffah (menyeluruh/totalitas) dalam penerapan hukum-hukum Islam. Maka sangatlah wajar ketika muncul persoalan-persoalan yang menambah beban Pemda dan maayarakat Aceh.
Kontroversi panjang tentang penerapan perda Syariah di Aceh memang selalu seksi, apalagi kontroversi ini dibumbui dengan isu pelanggaran HAM terhadap perempuan. Mata media tidak pernah berkedip mengawasi dan memberitakan bagaimana pelaksanaan perda syariah di Aceh selalu merugikan dan mengancam hak-hak perempuan. Image Aceh sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam terus dicar-cari titik kelemahannya.
Terapkan Islam kaffah
Islam akan menyelesaikan berbagai problematika kehidupan (kemiskinan, kebodohan, pendidikan, kesehatan, dll) ketika diterapkan secara totalitas oleh negara. Penerapan Islam secara parsial hanya menambah panjang deret masalah yang dihadapi umat Islam. Belum lagi tudingan negatif yang dialamatkan kepada Islam ketika penerapan Islam secara parsial tadi banyak melahirkan permasalahan.
Maka, menjadi kebutuhan yang sangat urgent, Islam diterapkan secara kaffah oleh negara, sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini akan terselesaikan secara tuntas. Selain memang menjadi kewajiban kaum muslimin untuk menerapakan Islam secara totalitas.
Kita harus menyadari bahwa segala persoalan yang menimpa bangsa ini adalah akibat dari dijauhkannya Islam dari pengaturan kehidupan oleh negara. Pangkal segala kerusakan bangsa ini adalah penerapan sistem kapitalisme-demokrasi. Harus ada perubahan fundamental untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik, yaitu perubahan sistem. Sistem kapitalisme-demokrasi harus segera dicampakkan dan diganti dengan sistem Islam.
Perubahan yang harus kita lakukan adalah sebagaimana yang Rasulullah lakukan. Rasulullah memiliki visi yang jelas atas dasar keimanan, yaitu bagaimana agar Islam bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu Rasulullah SAW melakukan dua hal penting berupa penyadaran maayarakat tentang Islam dan mencari dukungan (an-Nushrah) dari Ahlul Quwwah berupa pemimpin-pemimpin kabilah. Rasulullah mengajak mereka masuk Islam dan meminta mereka memberikan dukungan kepada kekuasaan Islam. Pada akhirnya masyarakat Madinah siap dan rela diatur oleh Islam karena upaya yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabat. Sementara Ahlul Quwwah (para pemimpin kabilah dari Aus dan Khazraj) dengan ikhlas dan tanpa syarat menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah SAW dengan mengangkatnya sebagai kepala negara. Inilah yang menjadi kunci perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW meskipun bersifat inqilabiyah/revolusioner (mendasar dan menyeluruh), namun nyaris tanpa pertumpahan darah. Inilah yang harus kita tiru. Wa Allahu ‘alam.
Penulis: Lilis Holisah, Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten. (arrahmah.com)