JAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah didukung oleh Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dan LAZISMU meluncurkan buku Fikih Kebencanaan di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Rabu (1/7/2015)
Kehadiran buku ini didasari pada cara pandang manusia terhadap kejadian bencana akan menentukan bentuk penyikapannya. Islam mengajarkan bahwa ketika menghadapi kejadian bencana, letak permasalahannya ada pada bagaimana manusia menghadapi kejadian bencana tersebut, bukan pada kejadiannya sendiri.
Berdasarkan pertimbangan diatas, Muhammadiyah memandang perlunya panduan keagamaan bagi masyarakat luas, khususnya masyarakat Indonesia, yang menghadapi berbagai ancaman seperti gempa bumi, erupsi gunung berapi, tsunami, tanah longsor, banjir dan berbagai bencana alam lainnya, maupun potensi “bencana sosial” sebagai akibat dinamika di masyarakat yang kadangkala mengalami ujian.
Bentuk panduan tersebut berupa “Fikih Kebencanaan”, yang secara resmi dilahirkan melalui Musyawarah Nasional Tarjih ke – 29 di Yogyakarta, Mei 2015, sebagai forum ijtihad kolektif yang dihadiri ulama dan cendekiawan Muhammadiyah dari seluruh Indonesia untuk memutuskan berbagai persoalan keagamaan yang dihadapi oleh masyarakat melalui seperangkat ketentuan Islam yang terklasifikasikan ke dalam nilai dasar (al-qiyam al-asâsiyyah/basic values), prinsip umum (al-ushûl al-kulliyah/general principle) dan peraturan hukum yang bersifat konkrit (al-ahkâm al-far’iyyah/concrete law).
“Pada sebagian masyarakat ada yang cenderung memaknai bencana sebagai bentuk kemarahan dan ketidakadilan Tuhan kepada manusia. Dalam Fikih Kebencanaan ini, Muhammadiyah berpandangan bahwadalam ajaran Islam juga dikenal ada sifat Maha Pengasih dan Penyayang (Rahmân dan Rahîm), sifat Maha Adil (al-‘Adl) dan sifat Maha Bijaksana (al-Hakîm), yang bila dipandang dari sudut pandang kebencanaan dapat dipahami bahwa bencana adalah media untuk muhasabah atau introspeksi diri dan ujian keimanan dari Allah Swt” terang Dr Ustadi Hamzah, MAg, dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Cara pandang tersebut dibangun beranjak dari kajian mendalam dari sepuluh terma terkait bencana yang disebutkan dalam al-Quran dan Hadis yaitu: musîbah, balâ’, fitnah, ‘adzâb, fasâd, halâk, tadmîr, tamzîq, iqâbdan nâzilah”lanjut Ustadi.
Hal ini sejalan dengan cara pandang terkini masyarakat dunia mengenai bencana, dimana bencana dilihat bukan saja terfokus pada terjadinya berbagai peristiwa alam dan sosialnya, namun juga pada seberapa jauh upaya manusia mengenali ancamannya, meningkatkan kapasitasnya, hingga membangun rencana – rencana penanganan tanggap darurat dan pemulihannya agar efektif pelaksanaanya. “Masyarakat dunia dalam kesepakatan Sendai atau SFDRR menyepakati perlunya upaya pendekatan yang lebih luas, dengan pendekatan yang lebih terpusat pada manusia dalam pencegahan risiko bencana. Praktik pengurangan risiko bencana harus berbasis multi-hazard dan multisektor, inklusif dan dapat diakses secara efisien dan efektif” menurut Rahmawati Husein, wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Terkait dengan hal tersebut diatas, menurut Rahmawati, Fikih Kebencanaan ini merupakan panduan keagamaan pertamakali di dunia yang memuat berbagai hal diatas secara komprehensif. “Belum ada panduan sejenis di dunia ini, Fikih Bencara dari Muhammadiyah ini yang pertama kali” tegas Doktor ahli manajemen bencana alumni Texas A&M University ini.
Batuan kemanusiaan bukan sekedar sumbangan darurat
Fikih Kebencanaan juga memberikan pandangan dan panduan mengenai bagaimana bantuan kemanusiaan untuk korban bencana bukan sekedar sumbangan karena belas kasihan semata, namun ditegaskan bahwa batuan untuk korban bencana adalah sebuah penunaian kewajiban keagamaan sebagai bentuk upaya pemenuhan hak manusia bagi korban.
Berdasarkan Al Qur’an Surat al-Dzariyat ayat 19, ditafsirkan bahwa ada hak-hak yang harus ditunaikan oleh orang yang mampu untuk orang lain yang tidak mampu. Dengan tercakupnya korban bencana dalam satu makna di dalam ayat tersebut sebagai bagian dari al-mahrûm, maka korban bencana dipandang memiliki hak untuk menerima bantuan yang menjadi tanggungjawab pihak lain terhadap mereka.
“Karena merupakan hak, maka bantuan kepada korban bencana harus memenuhi standar kelayakan minimal. Ini sama halnya dengan menunaikan zakat yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat ditunaikan” terang Muhammad Rofiq, Lc. MA. dari Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
“Oleh karena itu, bantuan bencana tidak dapat diberikan ala kadarnya atau secara asal-asal, tetapi harus berdasarkan suatu kerangka minimal yang ditetapkan. Bagian ini secara lebih rinci diterangkan pada satu bab sendiri” lanjut ulama muda alumni Universitas Al Azhar, Kairo ini.
Sejalan dengan Rofiq diatas, Arif Nur Kholis, sekretaris MDMC menyatakan bahwa Fikih Kebencanaan dari Muhammadiyah ini juga memandang bahwa sesungguhnya pemenuhan hak-hak korban tidak saja dilakukan pada masa tanggap darurat bencana atau masa pemulihan.
“Fikih Kebencanaan Muhammadiyah ini juga memandang bahwa masyarakat yang berpotensi menjadi korban bencana karena ancaman dan kerentanan yang melekat pada dirinya juga wajib mendapatkan bantuan, tanpa harus menunggu benar-benar menjadi korban bencana. Karena sesungguhnya mereka menjadi rentan karena tidak terpenuhi hak-haknya, seperti pengetahuan mengenai ancaman bencananya, kerentanan dirinya, hingga hak untuk memiliki kapasitas dalam merencanakan kondisi terburuk yang mungkin terjadi” terang Arif yang saat ini sedang banyak mendampingi kegiatan mitigasi di beberapa Rumah Sakit Muhammadiyah ini.
Dalam proses pemenuhan hak-hak di atas, harus dipastikan bahwa akses bantuan benar-benar sesuai, layak dan memenuhi standar-standar yang berlaku. Berlakulah di sini prinsip ajaran Islam bahwa bantuan harus memiliki semangat pemberdayaan sebagai dakwah untuk “menghidupkan”.
“Selain itu, harus ditekankan bahwa baik yang memberi pertolongan maupun yang ditolong, memiliki posisi sejajar. Oleh karena itu, bantuan tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik maupun agama dan lebih-lebih menjadi alat kebijakan luar negeri pemerintah” tambah Rahmawati Husein yang baru-baru ini juga menjadi Liason Officer tim Bantuan Kemanusiaan Republik Indonesia untuk Gempa Nepal.
Lahirnya Fikih Kebencanaan ini secara historis dan praksis sejalan dengan komitmen Persyarikatan Muhammadiyah yang telah membangun tradisi penanggulangan bencana sejak Erupsi Gunung Kelud tahun 1918 melalui konsep Penolong Kesengsaraan Oemoen (PKO)-nya. Kegiatan tersebut berlandaskan sistem etiika bantuan kemanusiaan yang terinspirasi dari Al-Quran, surat Al Maun yang terbangun bahkan sejak Muhammadiyah belum resmi berdiri secara kelembagaan. Pasca Muktamar Muhammadiyah 2010 dilahirkan lembaga Penanggulangan Bencana yang dikenal juga dengan sebutan “Muhammadiyah Disaster Management Centre.” (azmuttaqin/*/arrahmah.com)