(Arrahmah.id) – Pada serial sebelumnya sudah kita bahas tentang sang lakon yang menjadi center of grafity dari seluruh drama seru di Gaza ini. Sang lakon itu adalah si obat pahit yang multi khasiat bernama perang. Suatu adegan saling terkam antara dua komunitas dengan peralatan paling mematikan, dan itu riil bukan settingan.
Perang adalah alat tertinggi yang dikenal umat manusia sepanjang sejarah dalam upaya mengalahkan lawannya. Jika alat di bawahnya masih mengenal aturan main dan wasit, perang dilakukan tanpa aturan main dan wasit. Pemenang akan berhak mendapatkan semua yang dimiliki lawannya, sebaliknya pihak yang kalah akan kehilangan semua yang dimiliki, termasuk nyawa dan kehormatan.
Aturan main yang berlaku dalam perang adalah hukum rimba. Pada zaman dahulu, pihak yang kalah boleh dibunuh semuanya tanpa kecuali. Atau dijadikan budak bagi para pemenang. Wilayahnya menjadi milik pemenang. Etika atau adab sama sekali tak dikenal dalam perang. Doktrinnya simpel; hancurkan dan kuasai.
Kini ternyata hukum rimba masih menjadi aturan main dalam perang. Terbukti Amerika dalam perang dunia ke-2 masih menggunakan hukum rimba, ketika menjatuhkan bom atom ke kota Hiroshima dan Nagasaki. Semua nyawa manusia dibabat habis, tak perlu dibedakan mana wanita dan anak-anak. Pada perang Iraq dan Afghanistan yang belum lama terjadi, Amerika menjatukanh bom merata ke seluruh sasaran. Kebrutalan hukum rimba masih terjadi.
Israel dalam melakukan perang di Gaza juga membabat semua bangunan dan makhluk hidup. Kota menjadi rata dengan tanah. Meski dunia sudah mengenal HAM, tetap saja hukum rimba yang menjadi aturan mainnya. Perang tetaplah perang, zaman dahulu maupun zaman mutakhir aturan mainnya tetap sama – hukum rimba.
Etika hanya aktual di lisan para pengamat. HAM hanya ramai di atas kertas. Humanisme hanya manis dalam retorika. Pelaku perang persetan dengan itu semua. Fokus targetnya adalah menang dan menaklukkan.
Perang Versi Islam
Islam mengizinkan umatnya untuk menggunakan alat bernama perang dalam rangka menaklukkan kekuatan yang mengahalangi pelaksanaan Islam atau zalim terhadap umat Islam. Tapi Islam tidak tunduk kepada hukum rimba sebagai aturan mainnya. Islam menetapkan aturan sendiri yang harus dipatuhi oleh umatnya jika ingin memakai alat bernama perang.
Perang yang diizinkan oleh Islam sama sekali tak ada hubungannya dengan kepuasan membunuh atau menyiksa lawan, seperti yang kini dipertontonkan Israel. Perang versi Islam berfokus pada menghancurkan kekuatan yang ada di tangan lawan, bukan nyawanya.
Wanita, orang sepuh dan anak-anak yang tak ada hubungannya dengan kekuatan lawan, sama sekali tak boleh diganggu sebisa mungkin. Bangunan tempat ibadah juga tak ada hubungannya dengan kekuatan lawan, tak boleh dihancurkan. Pria dewasa yang asyik beribadah di tenpat ibadahnya, juga tak boleh diganggu karena tak ada hubungannya dengan kekuatan lawan. Pohon dan tanaman yang menjadi sumber makanan kelak ketika perang usai, juga tak boleh asal dibabat, karena tak ada hubungannya dengan kekuatan lawan. Paling yang boleh dilakukan adalah memblokade dari sumber makanan, agar melemah dan menyerah.
Islam melarang berzina apalagi memperkosa. Hukum ini berlaku baik saat damai maupun saat perang. Sehingga wanita musuh akan diperlakukan terhormat. Bahkan auratnya sengaja ditutup demi menghindarkan pandangan para pejuang muslim yang berpotensi menyulut syahwatnya. Karena itu, tak mungkin ada wanita musuh yang ditawan muslim mendapat pelecehan seksual dalam bentuk apapun.
Kombatan musuh yang tertawan tak boleh disiksa demi kepuasan dendam. Kecuali dalam rangka mendapatkan informasi penting sementara yang bersangkutan sengaja bungkam. Salah satu cara agar dia bicara adalah memaksanya bicara. Tapi jika ia lancar memberikan informasi yang diperlukan, Islam melarang untuk menyiksanya. Ia diperlakukan normal sebagai manusia, hanya saja dijaga ketat agar tidak melarikan diri.
Berbeda dengan perang yang dilakukan oleh kaum kafir atau kaum zalim. Mereka sengaja melakukan teror kepada siapapun tanpa pandang bulu, demi terciptanya suasana horor pada musuh sehingga takut untuk melawan. Mereka menjadikan penyiksaan fisik sebagai salah satu faktor untuk melemahkan mental musuh. Atau sebagai pelampiasan dendam seperti yang ditampilkan Israel. Atau mungkin malah menyalurkan hobi menyiksa.
Islam sudah menetapkan aturan yang humanis soal perang sejak 1.500 tahun yang lalu. Zaman ketika hukum rimba masih menjadi aturan main tunggal dalam perang. Kini aturan yang humanis itu menemukan relevansinya ketika umat manusia sudah mengenal HAM dan hukum internasional soal perang. Tatanan modern mengenal istilah penjahat perang, yaitu siapa yang berperang secara barbar tanpa mengindahkan kemanusiaan, seperti yang Israel lakukan saat ini, akan diseret ke pengadilan internasional.
Sementara Barat yang dengan manis menawarkan pendekatan kemanusiaan dalam perang, ternyata hanya retorika. Faktanya nol besar. Kebrutalan penjara Guantanamo, perlakukan terhadap tahanan Iraq, dan kekejian Amerika di Afghanistan menjadi bukti Barat hanya pandai retorika. Ketika kekuatan dan kekuasaan di tangan, semua yang melawan akan dibabat dengan segala cara, bodo amat dengan etika dan kemanusiaan.
Kini watak itu dipraktekkan oleh Israel dengan sempurna kepada penduduk Gaza. Sebelumnya dipraktekkan China kepada penduduk Uighur yang muslim. Lalu dipraktekkan juga oleh India kepada komunitas muslim di sana. Benar sabda Rasul, bahwa kekafiran itu watak yang tunggal, meski merek berbeda-beda. Perang membuka watak asli manusia dan tabir ideologinya.
Pertukaran Tawanan Menyingkap Tabir
Perang menghasilkan kisah keberanian dan kepahlawanan itu sudah biasa. Jepang terkenal dengan keberanian tentaranya saat perang Dunia Kedua karena melakukan aksi kamikaze ke kapal Amerika. Dan pejuang Gaza juga banyak menyuguhkan kisah-kisah heroik itu yang menjadi buah bibir dunia.
Tapi rupanya ada yang lebih menarik dari itu. Yaitu saat gencatan senjata dan pertukaran tahanan. Para pejuang Gaza yang memperlakukan tawanan dengan humanis menjadi kekaguman dunia. Padahal Gaza dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Jika mengikuti dendam hati, pejuang Gaza punya kesempatan melampiaskan dendam itu kepada para tahanan. Mereka bisa puas menyiksa dan mempermalukan orang-orang “Israel” yang ada di tangan mereka.
Tapi justru mereka memperlakukan para tahanan dengan humanis. Dan itu bukan retorika. Tapi suatu fakta yang dirasakan oleh para tawanan itu. Bahkan muncul testimoni tertulis dalam bahasa Ibrani dari seorang ibu “Israel” yang merasa berterima-kasih kepada para pejuang Gaza yang telah memperlakukan dirinya dan anaknya dengan sangat baik. Juga bisa dilihat saat mereka dilepas oleh para pejuang yang mengenakan ikat kepala hijau dan penutup wajah ala Ninja itu. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan kepada para penawannya. Ada ikatan emosional dan respek, bukan trauma dan kebencian.
Berbanding terbalik dengan “Israel”. Mereka memperlakukan tahanan dengan brutal. Seperti mendapat kepuasan batin dengan itu. Tahanan yang dilepas “Israel” menyiratkan wajah dendam dan kebencian. Bahkan setelah melepaskan sejumlah tahanan sebagai imbal balik pertukaran tahanan, “Israel” sengaja menangkap lebih banyak orang Palestina untuk dimasukkan penjara dan mungkin akan disiksa dengan lebih brutal dari sebelumnya.
Apa yang ditunjukkan pejuang Gaza merupakan risalah Islam yang sedang dikirimkan kepada dunia. Risalah tentang adab perang, khusunya memperlakukan tawanan. Hal ini mengingatkan episode perang yang baru saja berakhir – perang Afghanistan vs Amerika – saat para pejuang Afghan berhasil mengusir Amerika. Begitu istana berhasil direbut, para pejuang Afghan mengumumkan pengampunan umum bagi siapa saja yang sebelumnya menjadi antek penjajah. Padahal kesempatan untuk melampiaskan dendam terbuka lebar. Para pejuang Afghan telah menunjukkan risalah Islam yang agung, dalam bab perlakuan terhadap orang-orang yang pernah menyakiti, meniru apa yang dilakukan Nabi SAW setelah berhasil menaklukkan Makkah.
Dalam pandanagan Islam, tawanan itu tak ada hubungannya dengan menghancurkan kekuatan musuh. Mereka sudah dilucuti, tangannya sudah diborgol, sudah tidak punya kesempatan memegang senjata. Dalam kondisi begini, menyiksa mereka hanyalah melampiaskan dendam. Padahal perang bukan untuk melampiaskan hobi menyiksa dan membunuh, tapi menghancurkan kekuatan yang ada di tangan musuh, bukan nyawa atau fisiknya.
Doktrin perang versi Islam yang dibingkai adab dan etika yang tinggi itu alhamdulillah dipraktekkan dengan sangat baik oleh dua komunitas yang mewakili umat Islam hari ini. Pertama, oleh pejuang Afghan yang saat ini sudah menikmati kemenangan setelah 40 tahun berperang. Kedua, oleh pejuang Gaza yang saat ini masih dalam perjalanan perang yang mungkin masih panjang melawan Israel.
Andai saja Allah belum taqdirkan Gaza menang, bahkan semua pejuangnya diwafatkan oleh Allah dan seluruh bangunannya dihancurkan oleh “Israel”, risalah Islam tentang perlakuan terhadap tawanan perang telah dikirim ke seluruh dunia. Sebuah investasi mahal untuk meraih dukungan opini dunia. Dan pada gilirannya, akan membuat banyak hati condong kepada Islam. Maksudnya, mungkin saja Gaza kalah secara militer, tapi telah memenangkan perang moralitas di panggung opini dunia.
Bukan Kekhasan Bangsa
Ketangguhan, keberanian, kesabaran, dan keteguhan pejuang Gaza yang dikombinasi dengan kelembutan hati, kasih sayang dan etika yang tinggi, bukan merupakan kekhasan genetik – karena mereka orang Palestina, bumi para Nabi. Sama halnya dengan pejuang Afghan, bukan karena mereka bangsa Afghanistan yang terkenal tangguh.
Tapi ini semua merupakan hasil didikan (tarbiyah) ajaran Islam. Mereka dibentuk oleh nilai-nilai spiritual Islam. Ini yang membuat output generasinya sama. Sikap yang keluar dari mereka sama. Perang Diponegoro melawan penjajah Belanda menjadi bukti. Mereka orang Jawa, tapi dipoles oleh tarbiyah Islam menjadi pemberani, sabar, tangguh sekaligus berakhlaq mulia sehingga berhasil membuat Belanda kalang kabut selama lima tahun.
Dalam hal melahirkan generasi militan Komunisme juga bisa. Komunisme bisa menghasilkan generasi tangguh dan pemberani. Tapi yang membedakan dengan Islam, Komunisme tak akan melahirkan generasi yang berakhlaq dan berperikemanusiaan. Lihat horor yang mereka ciptakan selama pemberontakan PKI di Indonesia. Lihat horor yang diciptakan Uni Sovyet dalam meraih misinya. Lihat horor yang dibuat China kepada rakyatnya sendiri. Lihat horor yang dibuat Korea Utara.
Para pejuang Gaza diasuh oleh pergerakan bernama Hamas – Harakah Muqawamah Islamiyah. Sebuah gerakan perlawanan dengan mengadopsi ideologi Islam dan nafas Islam, sebagai koreksi atas PLO – Palestinian Liberation Organization yang berideologi nasionalisme dan bernafas kebangsaan. Mereka dididik menjadi muslim yang utuh. Aqidahnya Islam. Jalan hidupnya Islam. Akhlaqnya Islam. Dan ketika berperang, menggunakan spirit Islam – hidup mulia atau mati syahid.
Karena itu, celupan warna Islam pada diri mereka tercermin dalam perang yang mereka lakoni. Mereka tak perlu memakai jurus pencitraan dalam memperlakukan tawanan, sebab ia akan keluar secara otomatis.
Sebaliknya bagi “Israel”, meski komandannya meminta dilakukan jurus pencitraan dalam memperlakukan tahanan, itu tak akan terjadi. Hati yang busuk akan selalu tergoda untuk menyiksa dan membunuh sebagai obat kecanduan. Kekafiran hanya akan menebar teror dan horor.
Kemenangan Perang Moral
Dalam perang moralitas, “Israel” dan orang-orang kafir dengan merek apapun – Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Komunis dll – tak akan bisa mengalahkan generasi Islam dari bangsa manapun – Palestina, Arab, Afghan, Turki, Afrika dan Indonesia. Akhlaq perang hanya ada dalam ajaran Islam dan secara fakta dipraktekkan umat Islam sepanjang sejarah.
Kecuali jika Islamnya dirusak, seperti Islam versi Syiah dan Islam versi tiran meski mereknya masih Ahlussunnah. Mereka bukan generasi yang orisinil tercelup oleh Islam yang murni. Bagi mereka, Islam hanya identitas. Tapi saat terjadi perang dan memperlakukan tawanan, sifat aslinya akan keluar. Mereka menjadi manusia buas, sadis dan bengis dalam memperlakukan tahanan seperti manusia yang tak kenal Islam.
Perang akan membuka tabir manusia. Akan nampak siapa orang yang tercelup dengan Islam, siapa yang hanya mengambil Islam sebagai identitas dan siapa yang sama sekali tak kenal Islam – seperti hewan buas. Pada akhirnya, perang hanya akan menghadapkan dua kubu: Satu kubu yang tercelup Islam (mukminun), melawan kubu lain gabungan orang yang tak mengenal Islam (kafirun) dan orang yang hanya mengambil Islam hanya sebagai identitas (munafiqun).
Dunia tidak akan bahagia jika dipimpin oleh kubu kafirun atau munafiqun. Tapi akan bahagia jika dipimpin oleh mukminun, sebab hanya mereka yang terbukti paling mampu mengendalikan diri dengan akhlaq, kasih sayang dan kemanusiaan saat melakoni perang atau saat memegang kekuasaan. Jika dalam situasi perang saja mampu mengendalikan diri, apalagi di masa damai.
Inilah terjemahan rahmat Islam untuk seluruh manusia – Islam rahmatan lil ‘alamin. Yaitu ketika Islam berkuasa dan mampu menebar teror dan horor tapi justru menebar kasih sayang dan kemanusiaan. Berbeda dengan ideologi kafir, jika memegang senjata dan kekuasaan, pasti digunakan untuk menebar teror dan horor kepada umat manusia. Amerika, “Israel”, Rusia, China, India, Inggris, Belanda, Jepang dan yang serupa menjadi bukti. Pejuang Gaza memberi bantahan telak kepada dunia bahwa sejatinya yang teroris adalah “Israel”, Amerika dan teman-temannya.
Bagi Islam, menang secara militer itu baru menang bagi orangnya. Tapi jika menang secara akhlaq itu menang Islamnya. Padahal perang untuk disebut fie sabilillah – di jalan Allah – itu harus membawa misi: litakuna kalimatallahi hiyal ulya (menjadikan kalimat Allah tertinggi). Kalimat (narasi) Allah adalah Islam secara umum. Intinya, kalimat la ilaha illa Allah. Kalimat turunannya adalah akhlaq – salah satunya. Kemenangan akhlaq Islam dalam perang merupakan kemenangan Islam, kalimat Allah menjadi tertinggi. Berarti sudah benar para pejuang Gaza menjunjung tinggi akhlaq Islam dalam berperang, meski kondisi mereka sangat sulit dan memprihatinkan. Semoga Allah beri kemenangan.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – (29/11/2023)
(Rafa/arrahmah.id)