(Arrahmah.id) – Perang itu media tarbiyah – pendidikan. Terutama pendidikan batin alias psikologis. Agar batin orang beriman umat Nabi Muhammad SAW baik dan dekat dengan Allah. Bukan batin yang manja, tengil dan arogan, seperti yang kini kita temukan pada “Israel”.
Sebetulnya semua perintah Allah itu mengandung efek tarbiyah. Shalat adalah tarbiyah, agar terhindar dari fahsya’ (kemesuman) dan munkar. Puasa adalah tarbiyah, agar hidup rasa diawasi oleh Allah (muraqabatullah). Lapar, miskin dan kekurangan adalah tarbiyah, agar terasah sifat sabar. Intimidasi dan penyiksaan dari kaum kafir adalah tarbiyah, agar orang beriman tangguh imannya dan kuat tawakkalnya kepada Allah. Baca Al-Qur’an juga tarbiyah. Dzikir juga tarbiyah. Doa juga tarbiyah. Semuanya adalah tarbiyah.
Menjadi Muslim ibarat sedang sekolah. Semua perintah yang ada di dalamnya adalah media pendidikan. Sebagaimana semua larangan adalah media pendidikan. Muslim yang tak mau melaksanakan perintah dan tak mau meninggalkan larangan, ia tak mendapat efek tarbiyahnya. Ia hanya akan begitu-begitu saja, seperti sebelum mengenal Islam.
Perbedaan Dua Sistem Tarbiyah
Kita bisa menyaksikan perbedaan dua sistem tarbiyah yang pernah Allah terapkan. Hasilnya juga bisa kita bandingkan. Pertama, sistem tarbiyah pada bani Israel terutama zaman Nabi Musa as. Kedua, sistem tarbiyah pada umat Nabi Muhammad SAW yang berlaku hingga kini.
Dua umat ini layak dibandingkan karena memiliki kemiripan yang amat dekat. Umat Nabi Musa as – bani Israel – mengalami penindasan keras dari penguasa kuat pada zamannya – Fir’aun. Keadaan mereka sangat miris. Penyiksaan dan pembunuhan mereka hadapi selama bertahun-tahun. Lalu mereka ditolong oleh Allah dengan diberi jalan untuk melintas dengan aman di laut, lalu musuh mereka binasa.
Umat Nabi Muhammad SAW juga demikian. Pada awal dakwah Nabi SAW di Makkah, mereka mendapat banyak intimidasi bahkan pembunuhan. Lalu mereka hijrah ke Madinah. Lalu terjadi perang Badar dan perang-perang berikutnya. Dengan itu Allah tolong mereka, dan musuh berhasil dikalahkan. Hasil akhirnya sama, kemenangan.
Tapi efek tarbiyahnya beda. Kebatinan para pelakunya beda. Bani Israel menjadi kaum yang manja, cengeng, egois, arogan dan bengis. Mirip seperti anak yang mendapat perlakuan manja di masa kecil, besarnya menjadi pribadi egois dan cengeng. Sementara generasi Sahabat menjadi sosok yang mandiri, tangguh, tegar, tapi tetap tawadhu dan respek kepada orang. Mirip anak yang dibesarkan dengan tempaan kerasnya hidup, kelak besar menjadi remaja mandiri dan tangguh.
Tarbiyah Pada Bani Israel
Bani Israel sudah lama diperbudak oleh bangsa Mesir. Mereka terpinggirkan. Keyakinan yang mereka pegang turun temurun mendapat penentangan dari masyarakat Mesir, tentu saja dengan dukungan penguasa – Fir’aun.
Dalam situasi seperti itu, Fir’aun bermimpi kerajaannya akan ditumbangkan oleh salah seorang anak dari Bani Israel. Tentu saja hal ini membuat kebencian dan dendamnya kepada Bani Israel kian membara. Dia putuskan semua anak laki-laki Bani Israel harus dibunuh, yang perempuan boleh hidup. Secara umum mereka mendapat perlakukan makin represif.
Lahir Musa as. Allah taqdirkan lolos dari pembunuhan, dan justru diasuh oleh Fir’aun sendiri. Tumbuh dewasa menjadi lelaki kuat. Memang secara fisik lebih gagah dan besar dibanding orang lain. Karenanya, pernah memukul orang sampai tewas, dan yang dipukul orang pribumi Mesir. Tentu saja membuat posisi Musa as tidak aman.
Musa as lari ke Madyan. Sekitar 10 tahun di sana. Lalu diangkat menjadi Nabi. Lalu diperintah untuk kembali ke Mesir, untuk melaksanakan misi Allah yaitu menyelamatkan Bani Israel dari kekejaman Fir’aun sekaligus menumbangkannya.
Allah bekali Musa as dengan dua mukjizat yang sungguh ajaib. Tongkat yang multi fungsi dan cahaya yang keluar dari tangannya. Tongkat kelak dilempar menjadi ular, dan kalahlah tim ahli sihir yang dikerahkan Fir’aun.
Intimidasi makin menjadi. Bani Israel mengeluhkan hal ini. Kata mereka, sebelum Musa as datang mereka sudah diintimidasi, dan sesudah Musa as datang sama saja, bahkan menjadi-jadi. Musa menjawab, biang masalah berarti bukan saya, tapi musuh kalian yaitu Fir’aun, semoga Allah hancurkan musuh kalian itu. (lihat surat Al-A’raf: 129).
Musa as membawa pengikutnya lari dari Mesir. Mentok di laut. Fir’aun dan pasukannya sudah kelihatan di belakang. Pengikut Musa as panik. Tapi Musa as menenangkan, “Allah bersamaku, dan pasti akan memberi jalan keluar”. Allah perintahkan Musa as memukulkan tongkat mukjizat itu ke laut. Terbelah jadi jalan. Semuanya segera lari meintasinya hingga mencapai daratan seberang dengan aman.
Fir’aun dan pasukannya menyusul, ikut menyeberang dengan percaya diri. Sampai di tengah air laut kembali menutup, semuanya tenggelam dan mati. Tamat riwayat si Tiran dan Musa as menang dengan gemilang, dielu-elukan pengikutnya.
Setelah di seberang, mereka haus dan minta air kepada Musa as. Tongkat mukjizat dipukulkan ke batu, keluarlah 12 mata air, masing-masing untuk satu kelompok suku. Lapar minta makan, turunlah untuk mereka Manna dan Salwa – makanan lezat yang berasal dari langit.
Mereka bosan dengan itu, minta makanan lain. Mereka diperintah memasuki Yerusalem – tentu dengan menaklukkan penduduknya. Mereka menolak. Malah minta Musa as dengan Allah untuk menaklukkannya berdua. Jika sudah ditaklukkan, barulah mereka mau memasukinya.
Sifat manja, egois dan tengil mulai keluar. Mereka selalu minta dimanjakan oleh Allah dan diperlakukan istimewa. Mereka terus-menerus merasa sebagai kelompok pilihan. Bebas mekakukan apa saja, toh Allah akan selalu bela. Ini yang ada pada kebatinan mereka.
Sebetulnya jika kita renungkan, Allah memperlakukan mereka sedemikian istimewa ada alasannya:
Pertama, mereka terbukti setia dan teguh mewarisi keyakinan dan millah yang diajarkan leluhur mereka yaitu Ibrahim as. Meski mereka mendapat intimidasi dari bangsa Mesir, tapi mereka teguh memegang prinsip, tidak menukarnya menjadi syirik seperti yang dipeluk bangsa Mesir kala itu. Karenanya Bani Israel layak mendapat apresiasi istimewa dari Allah.
Kedua, mereka sekian lama mendapat perlakuan kejam tapi tetap sabar. Ini juga membuat mereka layak mendapat imbalan yang layak dari Allah untuk kesabaran mereka itu.
Ketiga, kebenaran perlu mendapat pembelaan ajaib agar menjadi bukti di mata manusia lalu mereka akan berpihak kepada kebenaran bahkan mengikutinya. Seperti pada zaman Nuh as, kebenaran diselamatkan dengan ajaib dan kebatilan dihancurkan dengan dramatis, sehingga menjadi dalil yang hidup bagi manusia pada zamannya dan zaman sesudahnya.
Keempat, menjadi pesan yang sangat kuat bagi para Tiran sesudah Fir’aun bahwa di atas mereka ada Allah yang tak segan akan menghancurkan mereka jika tetap dalam kezalimannya. Dan jika datang peringatan dari utusan Allah tapi malah ditentang keras, pasti akan Allah hancurkan singgasananya.
Kelima, pemegang kebenaran yaitu Bani Israel perlu diberi bukti ajaib dan dramatis untuk makin menguatkan pelukan mereka terhadap agama tauhid ini. Allah tunjukkan bahwa mereka benar-benar dibela, tak pernah ditinggalkan, meski terlebih dahulu diuji dengan intimidasi yang panjang. Begitu banyak dan istimewa dukungan itu, hingga seolah memanjakan.
Maksudnya, pilihan Allah untuk menyelamatkan Bani Israel secara dramatis dan menghancurkan Fir’aun, lalu memberikan berbagai kenikmatan dan kemudahan yang sungguh ajaib itu, adalah pilihan yang tepat sesuai kebutuhan zaman pada saat itu, sebagaimana penjelasan poin-poin di atas. Tapi kemudian Bani Israel keliru memahami pesan itu. Mereka menganggapnya sebagai keberpihakan istimewa atau memanjakan. Mereka merasa sebagai “anak tersayang” Allah yang akan selalu dimanja dan dibela, sementara bangsa lain harus mengabdi untuk mereka.
Allah tidak salah dalam memberi pembelaan dan pertolongan kepada kaum yang tertindas sekaligus mengusung kebenaran (tauhid), yaitu Bani Israel. Tapi yang salah Bani Israel yang keliru menangkap pesan. Orang Indonesia menyebutnya GR alias gede rasa.
Hal paling dramatis yang akan membekas kuat di benak Bani Israel adalah saat mereka diselamatkan melalui laut yang terbelah itu, sambil bisa menyaksikan dengan puas musuh yang selama ini menzalimi mereka megap-megap di laut lalu mati. Mereka tak perlu berlumuran darah menghancurkan musuh. Tak perlu terkena luka atau mati. Semuanya dilakukan oleh Allah dengan taqdirnya, menggunakan tentara Allah bernama air laut. Bukan dengan menggunakan tangan Bani Israel sendiri. Dengan kata lain, tidak ditarbiyah dengan perang.
Agaknya peristiwa ini yang memicu mereka untuk menolak berperang menaklukkan penguasa Yerussalem saat mereka diperintah oleh Allah untuk memasukinya. Mereka terlanjur manja, tidak mau berdarah, kena luka apalagi sampai mati. Mereka maunya ditolong dengan ajaib, mengulang peristiwa di laut itu. Jawaban mereka sangat jelas menggambarkan psikologi mereka yang manja:
قَالُواْ يَٰمُوسَىٰٓ إِنَّا لَن نَّدۡخُلَهَآ أَبَدٗا مَّا دَامُواْ فِيهَا فَٱذۡهَبۡ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَٰتِلَآ إِنَّا هَٰهُنَا قَٰعِدُونَ ٢٤
Mereka berkata: “Hai Musa, kami sama sekali tidak akan memasukinya selamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”. (QS. Al-Maidah: 24)
Mereka tidak pernah mendapat tarbiyah perang. Mereka ditarbiyah dengan “melihat hasil secara ajaib sambil rebahan”. Atau pilihan diksi ayat di atas – duduk-duduk santai – : “kami hanya duduk sambil menanti (berita kemenangan itu)”. Duduk dan rebahan sama saja substansinya. Kalau di negeri kita, duduk sambil ngupi dan makan gorengan !
Mereka maunya yang turun berperang adalah pahlawan mereka yaitu Musa as dengan dibantu Allah SWT. Mereka menganggap Musa as seorang superman yang pasti mampu menaklukkan musuh sendirian dengan mukjizatnya, tanpa perlu dibantu banyak orang. Cukup berdua saja, Nabi Musa as dan Tuhannya. Apalagi mungkin saat itu tongkat Nabi Musa as masih ada, mereka merasa cukup mengandalkan tongkat ajaib itu. “Ngapain capek-capek berperang, tongkat diayunkan saja musuh bisa kalah”, batin mereka – mungkin.
Sifat manja, dan selalu minta dibela dan dilayani oleh Allah ini membekas kuat pada kebatinan Bani Israel sejak era Nabi Musa as. Diwariskan sifat itu kepada generasi penerus. Kisah-kisah heroik itu diceritakan kepada anak keturunannya sebagai kisah “anak emas” Allah yang pasti akan selalu dibela Allah jika berkonflik dengan bangsa lain, baik dalam posisi terzalimi atau menzalimi.
Tentu saja suatu kaum dengan kebatinan yang sudah rusak parah seperti ini tidak bisa lagi diandalkan untuk membawa agama tauhid untuk menerangi dunia. Generasi manja tak bisa dibebani dengan tanggungjawab yang berat dan penuh risiko ini. Harus ada generasi baru yang ditarbiyah dengan cara berbeda. Itulah umatnya Nabi Muhammad SAW.
Tarbiyah Pada Umat Muhammad SAW
Generasi baru dengan lokasi baru yang Allah pilih untuk membawa amanat Tauhid adalah generasi Sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menemani Nabi Muhammad SAW. Mereka hidup di Jazirah Arab yang keras. Lalu ditarbiyah dengan perang yang juga keras. Mereka terbiasa berjuang untuk menang, bukan manja hanya mendalkan bantuan pihak lain.
Generasi ini mengawali kisahnya dengan mendakwahkan Tauhid kepada kaum Quraisy yang berpaham syirik. Tentu saja mendapat perlawanan keras. Tokoh-tokoh Quraisy menggunakan berbagai macam intimidasi untuk membendung pertumbuhan pemeluk Tauhid.
Puncak dari intimidasi itu ketika mereka menutup rapat ruang gerak Nabi dan para Sahabat di Makkah. Kaum Quraisy bahkan mengepung rumah Nabi SAW untuk membunuhnya. Inilah yang menjadi pemicu hijrahnya Nabi SAW ke Madinah.
Setelah di Madinah, perseteruan terus berlanjut. Perang pertama meletus, di Badar. Lalu Uhud yang tak jauh dari Madinah. Puncaknya perang Ahzab, ketika Quraisy dengan melibatkan sekutunya ingin menghabisi Nabi SAW dari Madinah agar Islam punah.
Momen kekalahan total Quraisy adalah pada peristiwa Fathu Makkah – penaklukan Makkah tahun 8 H. Kota yang dulu menjadi basis syirik bisa dirubah 100% menjadi basis Tauhid. Sebuah kemenangan gemilang dan heroik, tak kalah heroiknya dengan kemenangan Bani Israel dari Fir’aun.
Kemenangan generasi Sahabat terhadap kaum Musyrik didapat melalui perang. Menggunakan tangan manusia, bukan burung Ababil atau air laut. Tangan itu memegang pedang, tombak, panah tameng dan segala rupa peralatan perang. Tubuh mereka merasakan luka, bahkan ada yang mati karenanya. Lelah, haus, lapar, rasa takut, situasi genting dan semuanya.
Para Sahabat harus berpayah-payah. Berkeringat. Serius penuh konsentrasi. Sebab jika tidak, bukannya mengalahkan musuh, malah musuh yang akan mengalahkannya. Karena itu dalam Islam disebut dengan jihad, yang secara etimologi berarti mengerahkan segenap kemampuan dan sumber daya (dalam rangka mengalahkan musuh).
Para Sahabat bukan duduk manis di luar gelanggang perang lalu menonton drama bertumbangannya musuh dengan hati puas. Tidak. Mereka berada di gelanggang itu. Mereka pemerannya, tidak memakai pemeran pengganti. Kadang berhasil membunuh atau melukai musuh, tapi kadang musuh yang berhasil melukai atau membunuh. Mereka benar-benar ada di dalam gemuruh perang itu, sebagai pelaku bukan penonton.
Inilah yang membuat generasi Sahabat berbeda dengan generasi Bani Israel pada zaman Nabi Musa as. Bani Israel ditarbiyah sebagai penonton bukan pelaku, meski sebelumnya merasakan intimidasi juga. Sementara generasi Sahabat ditarbiyah sebagai pelaku bukan penonton.
Hasilnya berbeda. Bani Israel menjadi generasi manja, maunya ditolong, tak mau usaha sendiri. Sementara generasi Sahabat menjadi generasi tangguh yang siap usaha sendiri sampai maksimal, barulah Allah akan menolong.
Apalagi jika kita melihat pertolongan Allah kepada generasi Sahabat. Tidak ada yang terlalu ajaib mirip sulap, seperti pada Bani Israel. Misalnya, kemenangan dalam perang Badar. Jumlah pasukan Nabi SAW 313 orang, sementara musuh 1.000 orang lebih. Memang tidak imbang, tapi tidak terlalu dramatis dan ajaib. Masih satu berbanding tiga. Bukan satu berbanding 1.000.
Mengundang pertolongan Allah itu sangat sulit dan berat. Ada sedikit saja syarat pertolongan dilanggar, Allah tidak menolong. Misalnya dalam perang Uhud. Ada beberapa orang yang melanggar perintah Nabi SAW karena tergoda melihat ghanimah, maka kontan pertolongan ditarik. Mereka berubah menjadi bulan-bulanan musuh.
Generasi Sahabat akan dengan serius mempersiapkan diri seolah tak ada pertolongan Allah. Mereka juga memenuhi seluruh syarat pertolongan dengan ketat, utamanya sabar dan taqwa. Setelah semuanya siap, bismillah menghadapi musuh. Mereka tidak bisa memastikan pertolongan Allah, tapi hanya meminta pertolongan Allah. Akan diturunkan pertolongan itu atau ditunda semuanya terserah kepada Allah, karena Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Kesimpulannya, faktor kunci yang menjadi pembeda adalah perang. Bani Israel tidak ditarbiyah dengan perang, tapi pertolongan ajaib tanpa perang. Sementara generasi umat Muhammad SAW ditarbiyah dengan perang. Kalau tidak mau perang, sampai kapanpun tidak akan ditolong oleh Allah dengan cara ajaib. Mau gak mau harus bangkit melawan, gak bisa mengandalkan doa sambil rebahan.
Generasi yang datang kemudian semuanya menjadikan generasi Sahabat sebagai role model. Generasi tangguh yang pantang berjiwa lemah dan cengeng. Kini copy-an generasi Sahabat itu kita temukan pada generasi Mujahidin Gaza. Tanah mereka kecil, dibelenggu dari segala penjuru, saudara seiman terdekat tidak serius membantu, musuh begitu kuat dan kejam, tapi mereka tidak mengeluh, mengumpat saudara atau menyerah lunglai tak bertenaga. Tidak. Mereka justru bangkit melawan, menegakkan kepala dan mengobarkan perang melawan raksasa.
Keharusan memakai perang sebagai alat mengalahkan musuh yang berlaku pada era Nabi Muhammad saw membuat mereka tertarbiyah menjadi generasi tangguh. Berdikari. Bukan generasi yang selalu mengiba agar pihak lain menolong sementara dirinya sendiri hanya akan jadi penonton. Perang Gaza semoga menjadi tarbiyah baru, bukan hanya untuk para pelaku tapi juga buat semua generasi muda Muslim di seluruh dunia. Amien.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – (21/11/2023)
(Rafa/arrahmah.id)