(Arrahmah.id) – Terdapat tiga ayat di dalam Al-Qur’an yang isinya seragam, yaitu rekomendasi dari Allah kepada Nabi-Nya dan umat Islam agar menggunakan alat bernama perang. Menariknya, ujung dari tiga ayat ini juga seragam, bahwa Allah itu Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Artinya, pilihan menggunakan perang itu merupakan pilihan yang bijaksana.
Ayat pertama:
كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِتَالُ وَهُوَ كُرۡهٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡـٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia lebih baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia lebih buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).
Ayat ini menegaskan bahwa pilihan perang dibanding diplomasi yang lebih nyaman, merupakan pilihan yang didasari ilmu Allah yang teramat luas. Allah tahu pilihan ini memang tidak disukai oleh naluri manusia karena berat, menyakitkan, dan menimbulkan luka atau kematian. Tapi Allah yang menciptakan manusia lebih tahu tentang manusia dibanding manusia sendiri.
Allah Maha Penyayang. Tentu memilihkan sesuatu yang lebih bermanfaat buat hamba-Nya yang loyal kepada-Nya meski tidak disukainya. Seperti orang tua yang sayang anak, menyuruh anaknya belajar keras jangan banyak santai atau bermain, demi masa depan anaknya yang lebih baik. Anak pasti akan merasa berat, tapi orang tua lebih tahu tentang apa yang lebih baik buat anaknya kelak.
Ayat kedua:
وَلَا تَهِنُواْ فِي ٱبۡتِغَآءِ ٱلۡقَوۡمِۖ إِن تَكُونُواْ تَأۡلَمُونَ فَإِنَّهُمۡ يَأۡلَمُونَ كَمَا تَأۡلَمُونَۖ وَتَرۡجُونَ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا يَرۡجُونَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu punya harapan di sisi Allah sementara mereka tidak memiliki harapan itu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 104)
Ayat ini melarang orang beriman untuk lemah semangat dalam mengejar musuh disebabkan khawatir akan kena luka atau kematian. Orang beriman harus berkobar semangatnya, pemberani, teguh, pantang takut dan pantang menyerah dalam menyerang musuh. Meski akan mendapat luka atau mati, toh musuh juga akan menderita luka atau mati. Orang beriman punya harapan pahala dan surga, sedangkan musuh tak ada harapan itu, bahkan neraka menantinya.
Ayat diakhiri dengan kalimat: Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Maksudnya, rekomendasi perang itu dilandasi ilmu Allah yang tak ada batas dan dilandasi pertimbangan yang bijaksana. Bukan asal rekomendasi tanpa data dan tanpa pertimbangan matang. Semuanya sudah dihitung dengan cermat oleh Allah. Karena itu, manusia tak perlu sok tahu dan sok bijak dengan menolak apa yang Allah rekomendasikan.
Ayat ketiga:
قَٰتِلُوهُمۡ يُعَذِّبۡهُمُ ٱللَّهُ بِأَيۡدِيكُمۡ وَيُخۡزِهِمۡ وَيَنصُرۡكُمۡ عَلَيۡهِمۡ وَيَشۡفِ صُدُورَ قَوۡمٖ مُّؤۡمِنِينَ ١٤ وَيُذۡهِبۡ غَيۡظَ قُلُوبِهِمۡۗ وَيَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ١٥
“Perangilah mereka, agar Allah azab mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu, Allah hinakan mereka, Allah menolong kamu terhadap mereka, dan melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan panas hati (dendam) orang-orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 14-15)
Ayat ini memerintahkan perang terhadap mereka yang kafir sekaligus zalim. Ujungnya diakhiri dengan kalimat: Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Lagi-lagi menegaskan bahwa rekomendasi perang merupakan rekomendasi matang dilandasi berbagai pertimbangan sehingga akurat dan bijaksana. Karena itu, manusia hendaknya menerima apa yang Allah pilihkan, bukan sok tahu dan sok bijaksana.
Sisi Bijaksana Perang
Pilihan perang memang pilihan yang akurat dan bijaksana. Bisa kita analisa sisi bijaksana perang sebagai berikut:
Pertama, sisi sumber perintah. Bahwa yang memerintah adalah Allah yang memang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Allah yang ciptakan manusia pasti tahu dengan akurat apa titik kelemahan dan kelebihan manusia. Allah juga Maha Tahu tentang analisa untung rugi penggunaan perang. Jika memang merugikan, tak mungkin Allah perintahkan.
Allah tahu hasil yang diinginkan baik oleh Allah maupun hamba-Nya tak akan bisa diraih tanpa perang. Misalnya, perang akan membuka jalan bagi Allah untuk mengazab kaum kafir dan zalim, suatu hasil yang tak bisa dicapai dengan diplomasi. Perang juga membuka jalan bagi Allah untuk menghinakan kaum kafir dan zalim dalam kehidupan dunia, suatu hasil yang tak akan tercapai dengan diplomasi. Sebagaiamana perang juga menjadi alat bagi Allah untuk menurunkan pertolongan-Nya agar kaum beriman menang dan kaum kafir kalah. Diplomasi tak bisa memastikan hasil itu.
Kedua, sisi pelaku. Bahwa yang akan melaksanakan perang adalah hamba-hamba yang beriman kepada Allah. Perang memberi dampak positif bagi pelaku karena berada dalam situasi genting sehingga hatinya akan dengan tulus memohon pertolongan kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, lisannya selalu berdzikir, dan yakin dengan janji Allah.
Allah menilai manusia lebih pada sisi batinnya dibanding lahirnya. Allah suka apabila hamba-Nya memiliki batin yang sangat dekat dengan-Nya. Apalagi jika ia terkena luka, ia justru beristighfar minta ampun kepada Allah, hatinya ridha dengan taqdir tersebut, dan selalu husnu dhan kepada Allah. Dengan perang, Allah bisa memilah mana hamba-Nya yang loyal dan berani bertaruh nyawa demi Allah dan mana hamba yang hanya bermain pencitraan.
Ketiga, sisi obyek. Pihak yang diperangi adalah kaum kafir dan zalim. Biasanya mereka akan mengandalkan kekuatan untuk menjaga bangunan kekafiran dan menebar kezaliman. Kekuatan memicu kesombongan, penindasan, keserakahan, kebrutalan dan segala tindakan seenak jidatnya sendiri.
Diplomasi dengan orang-orang yang sudah mabok kekuatan dan kekuasaan hanya melahirkan pasal-pasal yang menghinakan. Mereka terbiasa tak menghargai perjanjian selagi masih merasa kuat dan berkuasa. Mau ratusan kali diplomasi sekalipun, hasilnya seperti lingkaran setan yang tak berujung.
Namun jika mereka dihadapi dengan perang hasilnya akan beda. Memang perang tak menjamin kemenangan 100%. Peluang menang dan kalah sama. Tapi setidaknya, lebih baik dibanding diplomasi, yang tak punya sama sekali peluang menang. Hasilnya selalu 100% kalah. Pihak kuat akan mendikte bunyi pasal-pasal.
Perang akan memberi perimbangan; kita luka mereka juga luka, kita ada yang mati mereka juga ada yang mati. Ketika mereka sampai pada titik lelah berperang, diplomasi akan bisa ditulis bersama secara lebih berimbang. Sebab diplomasi hanyalah NARASI DI ATAS KERTAS untuk REALITA DI LAPANGAN. Seperti rangkaian kata yang disusun wartawan lalu dituangkan di lembaran berita untuk menggambarkan kejadian nyata yang ia lihat di lapangan.
Oleh sebab itu, cara yang bijak dalam mencapai hasil adalah ciptakan dulu realita sesuai yang kita inginkan, barulah dituangkan dalam lembar diplomasi. Dengan kata lain, perang dulu, baru diplomasi menyusul. Jangan diplomasi berulang sampai bosan tapi tak pernah perang. Sebab diplomasi hanyalah alat untuk mengikat hasil yang menjadi realita di lapangan.
Kesimpulannya, perang adalah alat yang efektif untuk menghentikan kaum kafir dan zalim, seperti Israel itu. Mereka tak pernah mau mengindahkan diplomasi. Dengan demikian, rekomendasi Allah agar orang beriman memakai perang sebagai cara meraih hasil, merupakan rekomendasi yang bijaksana dan melalui perhitungan matang.
Keempat, sisi cara. Perang itu cara yang bijaksana, jika dibanding membunuh. Perang itu bukan untuk mencabut nyawa manusia, tapi sekedar mencerabut kekuatan yang ada di tangannya. Jika tangannya bersikeras tak mau melepaskan kekuatan itu, terpaksa dibunuh.
Beda dengan pembunuhan. Sejak berangkat niatnya mencabut nyawa. Orang zaman sekarang menyebutnya dengan kejahatan kemanusiaan. Sedangkan perang, asal dilakukan dengan adab dan akhlaq Islam, tidak bisa digolongkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebaliknya perang yang berakhlaq justru akan didukung dan diapresiasi oleh manusia sedunia. Sebab perang dikobarkan untuk menghentikan kezaliman dan memotong kaki tangannya, bukan untuk mengalahkan kezaliman demi membangun kezaliman lebih besar.
Perang yang Allah perintahkan adalah perang yang bijaksana, sebab dipandu akhlaq Islam. Kita menjadi saksi, perang yang dipraktekkan oleh Mujahidin Gaza dipandu oleh akhlaq Islam. Jika ada kekurangan sana sini, itu wajar, karena bagaimanapun mereka manusia biasa yang tak terpelihara dari sifat emosi, kesalahan dan dosa.
Sebaliknya perang yang dipraktekkan oleh “Israel” adalah perang yang durjana. Tempat ibadah yang tak bersalah sengaja dihancurkan. Rumah sakit sengaja dirusak. Warga sipil sengaja dibunuh sebagai pelampiasan nafsu angkara murka. Karena itu, publik dunia mulai tahu perbedaannya, siapa yang layak dibela dan siapa yang layak dimusuhi.
Karena itu, jangan terkecoh narasi “Israel” dan teman-temannya, yang mengajak kita untuk melihat perang dari segi gambar-gambar kengerian yang dihasilkan. Lalu perang secara otomatis adalah terorisme. Lalu terorisme otomatis adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Maka Mujahidin Gaza adalah teroris yang jahat.
Tapi mari kita alihkan pandangan kita pada hasil dan caranya. Perang akan memberi hasil yang efektif dalam memotong tangan-tangan zalim, dibanding diplomasi. Caranya juga harus dibedakan, jika dilakukan dengan akhlaq Islam maka perang adalah baik, tapi jika dilakukan dengan pembantaian keji dan perusakan apa saja, maka perang adalah kejahatan.
Sebagai sebuah alat, perang itu netral, seperti halnya pedang atau senapan. Tak ada hukum fiqh yang melekat pada pedang atau senapan. Tergantung bagaimana alat itu digunakan. Jika digunakan untuk membasmi kejahatan, pedang dan senapan itu menjadi alat yang baik. Tapi jika digunakan untuk membunuh orang beriman atau orang yang tak berdosa, maka pedang dan senapan itu menjadi alat yang buruk.
Allah perintahkan orang beriman untuk memakai alat bernama perang bukan karena Allah cinta pada perangnya itu sendiri. Bukan berarti Allah suka melihat pertumpahan darah. Tapi Allah suka melihat hasilnya. Allah suka dengan kebatinan orang beriman ketika berada dalam kegentingan perang, karena membuat mereka sangat dekat dengan Allah.
Allah suka dengan caranya yang dipandu dengan akhlaq Islam, karenanya bisa menjadi teladan yang bisa dicontoh oleh umat manusia sejagat. Apalagi di era sekarang, narasi dan gambarnya dengan mudah hadir di depan layar setiap orang. Karena itu, jalan perang yang ditempuh orang beriman adalah jalan bijaksana, bukan jalan orang yang haus darah. Wallahul-musta’an.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – (15/11/2023)
(Rafa/arrahmah.id)