(Arrahmah.id) – Mujahidin Hamas di Gaza memilih jalan perang dalam melakukan perlawanan terhadap “Israel”. Beda dengan sikap resmi pemerintahan Palestina yang memilih mazhab diplomasi. Apapun ulah “Israel” selalu dihadapi dengan diplomasi. Tulisan ini akan menunjukkan bukti bahwa pilihan Hamas lebih sesuai dengan arahan Al-Qur’an.
Al-Qur’an tidak melarang jalan diplomasi. Nabi Muhammad SAW pernah menggunakan diplomasi yaitu saat melakukan perjanjian Hudaibiyah pada tahun 6 H. Isinya, gencatan senjata selama 10 tahun antara Nabi Muhammad SAW dan sekutunya (blok Madinah) melawan Quraisy dan sekutunya (blok Makkah), yang seharusnya baru akan berakhir pada tahun 16 H. Suku Bani Bakar bergabung dengan blok Makkah, sementara suku Bani Khuza’ah bergabung dengan blok Madinah, yang secara otomatis ikut terikat dengan klausul perjanjian.
Pada tahun 8 H Bani Bakar terlibat konflik bersenjata melawan Bani Khuza’ah padahal keduanya terikat perjanjian damai. Dalam kasus ini, Quraisy ternyata ikut turun membantu Bani Bakar. Itu artinya Quraisy melanggar perjanjian damai, meski tidak secara langsung menyerang Madinah, tapi sekutunya.
Merespon ulah Makkah tersebut, Al-Qur’an turun dengan perintah tegas untuk menghadapi mereka dengan perang. Bukan diplomasi. Sebab kelompok yang sengaja melanggar perjanjian tidak bisa ditagih untuk perjanjian baru. Pasti akan mempermainkan perjanian. Obat yang cocok adalah perang.
Solusi Al-Qur’an juga bersesuaian dengan logika. Quraisy adalah pihak yang sejak awal melakukan kezaliman, pengusiran dan peperangan melawan kubu Madinah. Kurang apa data kezaliman mereka semasa Nabi SAW masih di Makkah. Lalu ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah, disusul perang Badar pada tahun 2 H. Berikutnya perang Uhud dan perang Ahzab. Maknanya, hubungan antara Makkah dan Madinah adalah “sedang dalam situasi perang”.
Karena itu, perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H merupakan jeda perang untuk 10 tahun ke depan. Nah, jika salah satu pihak melanggar perjanjian, artinya hubungan perang kembali terjadi. Kembali ke situasi awal. Dengan demikian perintah Al-Qur’an agar Madinah mengobarkan perang sebagai tanggapan atas pelanggaran perjanjian gencatan senjata oleh Makkah bukan karena Islam suka perang. Tapi sebagai upaya menjaga harga diri sambil memberikan jera kepada musuh.
Jika Makkah justru diundang lagi dalam perjanjian baru, mereka akan menganggap Madinah lemah dan mudah dipermainkan. Dengan tanggapan tegas berupa perang, Makkah akan paham bahwa Madinah tidak bisa diremehkan. Makkah akan ciut nyali.
Berikut ayat yang turun saat itu yang memerintahkan perang terhadap Makkah:
أَلَا تُقَٰتِلُونَ قَوۡمٗا نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ وَهَمُّواْ بِإِخۡرَاجِ ٱلرَّسُولِ وَهُم بَدَءُوكُمۡ أَوَّلَ مَرَّةٍۚ أَتَخۡشَوۡنَهُمۡۚ فَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَوۡهُ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ١٣ قَٰتِلُوهُمۡ يُعَذِّبۡهُمُ ٱللَّهُ بِأَيۡدِيكُمۡ وَيُخۡزِهِمۡ وَيَنصُرۡكُمۡ عَلَيۡهِمۡ وَيَشۡفِ صُدُورَ قَوۡمٖ مُّؤۡمِنِينَ ١٤ وَيُذۡهِبۡ غَيۡظَ قُلُوبِهِمۡۗ وَيَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَىٰ مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ١٥– التوبة
13. Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (perjanjiannya), bersikeras mengusir Rasul dan yang duluan memerangi kamu? Apakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang beriman.
14. Perangilah mereka, agar Allah azab mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu, Allah hinakan mereka, Allah menolong kamu terhadap mereka, dan melegakan hati orang-orang yang beriman.
15. Dan menghilangkan panas hati (dendam) orang-orang mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 13-15)
KEMIRIPAN “ISRAEL” DENGAN MAKKAH
Ayat di atas menjelaskan bahwa alasan Allah memerintahkan Madinah untuk melancarkan perang kembali kepada Makkah ada tiga:
Pertama, karena Makkah melanggar perjanjian gencatan senjata dengan membantu mitranya – Bani Bakar dalam melawan Bani Khuza’ah – mitra Madinah dalam konflik bersenjata. Jika Makkah menghormati perjanjian, seharusnya diam saja tak ikut campur.
Poin ini mirip dengan “Israel”. Sudah tak terhitung perjanjian damai atau gencatan senjata antara “Israel” dengan Palestina. Tapi bagi “Israel”, itu hanya tulisan di atsa kertas yang tidak ada makna dan konseksensi apa-apa. Tetap saja “Israel” dengan pongah membuldoser kampung warga Palestina, mengusir penduduknya lalu membangun perumahan baru untuk tempat tinggal warga “Israel”. Tanah itu kemudian masuk dalam peta baru “Israel”. Sejak tahun 1948 pola ini terus terulang.
Bukan hanya itu, “Israel” juga dengan tanpa beban menembak, menangkap dan melakukan berbagai bentuk kekerasan tanpa merasa terikat perjanjian. Bahkan tanpa merasa malu kepada publik dunia ketika yang menjadi korban orang-orang lemah seperti anak-anak dan wanita.
Kedua, Makkah selalu berupaya mengusir Rasulullah SAW, baik ketika masih di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Ketika mereka melakukan perang Uhud yang tak jauh dari Madinah, dan Ahzab yang malah di dalam kota Madinah, tentu ini bermakna upaya serius untuk mencerabut Nabi SAW dari Jazirah Arab.
Dalam kasus “Israel”, mereka terus menerus berupaya mengusir umat Islam Palestina dari kampung halamannya, atau dari Palestina. Poinnya adalah pengusiran. Zaman Makkah yang diusir Nabi SAW, kini yang diusir adalah orang beriman. Sama saja.
Ketiga, Makkah lebih dulu memulai dalam menyiksa, membunuh, mengusir dan memerangi. Termasuk dalam membantu Bani Bakar. Sementara Madinah tak ada rencana untuk membantu mitranya – Bani Khuza’ah.
Karena mereka duluan yang memulai, maka berlaku quote Betawi: Loe jual gue beli ! Artinya, ketika datang musuh menantang, maka kewajiban Madinah meladeni. Mereka memancing perang, maka dijawab dengan perang.
Pada kasus “Israel”, jelas terang benderang “Israel” yang memulai. Tahun 1948 mereka datang dari Eropa untuk menjajah Palestina. Dan setelah berulang kali dilakukan perjanjian, selalu “Israel” yang duluan melanggar perjanjian itu. Sudah cukup bagi umat Islam untuk berdiplomasi. Sudah tiba waktunya untuk menghadapinya dengan jantan – perang.
Paparan ini menghasilkan kesimpulan, “Israel” telah mengumpulkan semua sebab untuk diperangi, sebagaimana sebab yang dikumpulkan oleh Makkah. Persis. Bahkan “Israel” lebih parah dibanding Makkah. Lebih lama pula. Makkah hanya berbuat durjana sekitar 13 tahun, sementara “Israel” sudah 75 tahun. Karenanya, sudah tidak bisa lagi ditunda untuk diberi pelajaran keras bernama perang.
JALAN PERANG, JALAN MUKMIN
Setelah ayat mengutarakan tiga sebab yang membuat Makkah dan kini “Israel” memenuhi syarat untuk diperangi, ayat memberikan semacam agitasi atau “provokasi” agar kaum beriman mau mengambil jalan perang.
“Apakah kamu takut kepada mereka?”. Kalimat ini seperti kalimat yang digunakan untuk memancing keberanian anak kecil untuk memegang telinga temannya, lalu menjewernya, lalu dua anak kecil itu saling baku hantam. Selain bermakna, rasa takut tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menunda perang.
Namun yang tak kalah penting, kalimat tersebut bisa juga dimaknai sebagai pesan tersirat. “Lakukan usaha semaksimal yang kamu bisa berupa persiapan fisik, dana dan senjata agar kamu bisa mengimbangi merekan lalu hilang rasa takutmu kepada mereka”. Setelah hilang rasa takut, kamu akan dengan percaya diri memerangi mereka.
Agaknya Mujahidin Gaza benar-benar melaksanakan pesan tersirat ayat ini. Mereka mempersiapkan terowongan, memproduksi senjata – makin hari makin canggih – lalu menimbun makanan dan minuman, sebagai persiapan untuk perang panjang melawan “Israel”. Agar rasa takut bisa dihilangkan. Tak ketinggalan melatih para pemuda yang shalih untuk siap perang. Lalu tibalah hari H itu, tanggal 7 Oktober, yang bertajuk Thufanul Aqsha.
Setelah kalimat “provokatif” di atas, disusul kalimat berikutnya yang tak kalah menohok: “padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang beriman.”. Ya benar, bagi mukmin Allah lebih berhak ditakuti ketimbang musuh sehebat apapun.
Artinya, jika dibalik alur kalimatnya maka akan menjadi begini: “Mukmin itu hanya takut kepada Allah, tak takut kepada musuh – kaum kafir. Karena tidak takut kepada musuh, maka berani memerangi musuh. Karena berani memerangi musuh, maka tidak mau memakai jalan diplomasi untuk memberi jera musuh”. Ketika hajat yang dibutuhkan adalah perang bukan diplomasi.
Ujung dari rangkaian kalimat ini, jalan orang beriman yang benar imannya dengan dibuktikan hanya takut kepada Allah pasti mengambil metode perang sebagai cara melawan musuh. Diplomasi adalah cara yang diambil orang yang tidak terbukti imannya, karena lebih takut kepada musuh dibanding kepada Allah. Maksudnya, saatnya memakai cara perang tapi justru mengabaikannya dan menggunakan cara yang lebih nyaman yaitu diplomasi.
ISLAM TIDAK MELARANG DIPLOMASI
Diplomasi – yang biasanya tertuang dalam pasal-pasal perjanjian – tidak dilarang oleh Islam. Tapi Islam memberi arahan, kapan boleh berdiplomasi dan kapan harus menyikapi musuh dengan perang.
Nabi SAW pernah memakai diplomasi, yaitu perjanjian Hudaibiyah di atas. Juga Piagam Madinah, yang berisi pasal-pasal yang mengikat suku-suku Yahudi yang tinggal di sekitar Madinah untuk bersekutu satu ikatan dalam konteks jika ada musuh dari luar yang hendak menyerang Madinah. Piagam Madinah ini dilakukan Nabi SAW sebagai strategi untuk meredam Yahudi agar tidak membuka front permusuhan kepada Nabi SAW. Sebab jika itu terjadi, konsentrasi Nabi SAW akan pecah, di satu sisi menghadapi Makkah yang jauh, tapi juga harus menghadapi Yahudi yang dekat.
Maknanya, diplomasi dan perang sama-sama dibutuhkan. Kapan saatnya lebih efektif dan efisien meraih hasil dengan diplomasi, maka diplomasi adalah pilihan yang lebih bijak. Kapan saatnya lebih efektif dan efisien menggunakan perang, maka perang adalah pilihan yang lebih bijak. Bukan kaku, maunya hanya perang, anti diplomasi. Atau hanya mau diplomasi, anti perang.
Terhadap Israel yang punya tiga sebab untuk diperangi, maka lebih bijak menghadapinya dengan perang. Bukan dengan diplomasi dari satu meja perundingan ke meja lain. Atau dari satu hotel ke hotel lain.
Bisa dikatakan, “diplomasi adalah perang dalam bentuk yang santun”. Sebaliknya, “perang adalah diplomasi dalam bentuk yang keras”. Itu saja bedanya.
Diplomasi akan diremehkan jika umat Islam tidak punya kekuatan perang yang ditakuti musuh. Sebab diplomasi itu tak lebih “ungkapan kalimat di atas kertas” atas “realita kekuatan di lapangan”. Untuk lebih memahami teori ini, anggaplah terjadi perundingan antara Indonesia lawan Amerika. Pasti Indonesia dalam posisi lemah, karena tidak punya fakta lapangan yeng membuat Amerika takut lalu tercermin dalam pasal-pasal. Beda misalnya yang melakukan perundingan adalah Rusia melawan Amerika. Klausul yang disepakati akan cenderung imbang karena keduanya punya kekuatan seimbang.
Presiden Palestina sebagai pimpinan Palestina berulang kali melakukan perjanjian melawan “Israel”. Tapi isi perjanjian itu selalu dalam posisi kalah, karena sang Presiden tak punya kekuatan yang bisa membuat kepalanya tegak di hadapan “Israel”. Ketika dilanggar “Israel”, solusinya hanya duduk lagi dalam perjanjian baru. Begitu seterusnya, hingga datang Hamas yang mengambil solusi lain, yaitu perang.
Perang adalah obat yang pas untuk “Israel” saat ini dibanding diplomasi. Jika pun Mujahidin belum ditaqdirkan oleh Allah untuk mengalahkan “Israel” pada babak perang kali ini, generasi sesudahnya wajib melanjutkannya. Pilihan obat ini sudah benar, jangan lagi ragu. Obat ini harus diracik dengan lebih mujarab oleh generasi penerus hingga “Israel” binasa dan kezalimannya bisa dihentikan. Wallahul-must’an.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – (14/11/2023)
(Rafa/arrahmah.id)