(Arrahmah.id) – Banyak orang menyangka pertolongan Allah berupa kemenangan buat umat Islam (Gaza) dan kekalahan bagi kaum kafir (“Israel”) itu pasti akan datang dengan cepat dan mudah. Ketika pertolongan itu menurutnya tak kunjung tiba, ia lantas “menyalahkan” Allah. Bahkan ada yang sampai mempertanyakan keberadaan TUHAN yang menurutnya tidak adil membiarkan pembantaian terhadap hamba-hamba-Nya yang taat sementara orang-orang jahat itu justru dengan leluasa berbuat nista.
Pertanyaan kritisnya, kenapa pertolongan Allah lambat datang ke Gaza? Kenapa “Israel” tidak segera dihancurkan oleh Allah demi menghentikan pembantaian di Gaza?
Jika kita mencari sebab, ada satu jawaban yang pasti. Hanya Allah yang tahu. Dia-lah yang punya urusan. Allah melihat adegan itu dengan seksama, bahkan tahu isi hati dan isi kepala semua aktornya. Kita hanya hamba yang lemah tidak tahu apa-apa tentang mengapa dan kapan pertolongan itu akan diturunkan Allah.
Tapi masih ada peluang buat kita untuk mencoba menebak faktor-faktor apa yang kemungkinan menjadi pertimbangan Allah mengapa perang sudah berjalan sekian lama tapi belum juga turun pertolongan-Nya (kemenangan Gaza dan kehancuran “Israel”). Tentu dengan melihat pesan-pesan tersirat yang bisa kita simpulkan dari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits Nabi SAW atau data sejarah. Atau perenungan terhadap hukum alam yang tersaji di depan mata kita.
Namun bisa jadi dengan memperbaiki cara pandang kita. Bisa jadi pertanyaan soal kenapa itu tak terlontar jika cara pandang kita terhadap masalah dirubah. Jadi bukan mencari jawaban soal kenapanya, tapi apakah cara pandang kita terhadap masalah ini sudah benar atau masih perlu dikoreksi.
Allah Tidak Menjanjikan Waktu dan Bentuk Pertolongan
Allah hanya memberi janji pertolongan kepada siapa yang menolong Allah, tapi tidak ada janji bentuknya harus ajaib dan waktunya harus satu bulan atau satu tahun. Bentuk pertolongan bisa jadi sangat natural dan halus sehingga hanya orang yang peka iman yang bisa menyadarinya. Demikian pula waktunya, atau timing-nya, Allah punya pertimbangan sendiri yang paling pas dari segala sisi, tidak ada kaitannya dengan keinginan manusia. Jika menuruti keinginan manusia, maka manusia punya watak tergesa-gesa, bahkan kalau perlu Allah diminta menurunkan pertolongan ketika perjuangan belum lagi dimulai.
Coba renungkan baik-baik ayat di bawah ini:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ ٧ – محمد
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan pijakan kakimu.” (Muhammad/47:7)
Ayat ini hanya menyebut “pasti Allah akan menolongmu” jika kamu menolong Allah. Tak ada janji soal waktu. Juga tak ada janji soal bentuk – harus ajaib dan dramatis.
Jika dilihat secara diksi, kata nashr artinya pertolongan. Bisa berbentuk kemenangan gemilang dan kehancuran musuh, bisa juga pertolongan lain yang tidak sampai berbentuk kemenangan gemilang dan hancurnya musuh. Beda arti antara menolong dengan memenangkan. Belum tentu pertolongan berbentuk kemenangan.
Lalu atas dasar apa kita menyimpulkan Allah membiarkan Muslim Gaza dibantai selama berbulan-bulan, tak juga ditolong oleh Allah? Kita harus rubah cara pandang kita, bahwa Allah pasti menolong umat Islam Gaza, tapi bentuknya seperti apa dan kapan biarkan menjadi rahasia Ilahi. Kita tidak boleh lancang “memaksa” Allah untuk menurunkan pertolongan mengikuti jadwal waktu yang telah kita tentukan dan bentuk yang kita inginkan. Jika demikian, secara tidak langsung kita membalik posisi, kita menjadi Tuhan dan Allah menjadi hamba yang harus nurut dengan keinginan kita. Kita serahkan saja – dengan husnudhan – kepada kebijakan Allah bahwa pilihan waktu dan bentuknya pasti paling indah pada waktunya.
Allah pernah menjanjikan kepada umat Islam melalui lisan Rasul-Nya bahwa umat Islam pasti menaklukkan Konstantinopel (Istanbul). Ternyata janji itu baru terbukti 7 abad kemudian pada masa Sultan Muhammad Al-Fatih (tahun 1453 M) setelah sebelumnya dari generasi ke generasi selalu mencoba menaklukkannya tapi selalu gagal.
Soal bentuk juga demikian. Jika memang benar ada janji pertolongan itu, mengapa ada Nabi yang dibiarkan terbunuh oleh kaum kafir? Mengapa tidak ditolong, seperti Allah menolong Nabi Isa as yang diangkat ke langit secara ajaib?
Ketahuilah, keteguhan seorang Nabi atau pejuang, ketika dalam posisi terancam, tidak menjual misinya demi mendapat hidup adalah bentuk lain dari pertolongan Allah. Memang tubuhnya mati, tapi ruhnya menang.
Contoh terbaik adalah kisah Ashabul Ukhdud. Pemuda yang disebut Ghulam itu dengan sengaja membocorkan kepada raja tentang bagaimana cara membunuh dirinya. Sebelumnya sang raja sudah dua kali memerintahkan anak buahnya untuk mengeksekusi Ghulam tapi selalu gagal. Namun Ghulam minta syarat, pembunuhan terhadap dirinya harus dilakukan di hadapan penonton yang ramai, bukan diam-diam di tempat sepi.
Ghulam dipanah oleh raja di hadapan penonton ramai. Ghulam mati, tapi penonton spontan berikrar: Aku beriman terhadap Tuhannya Ghulam – Allah. Artinya, jasad Ghulam terbunuh, secara fisik kalah, tapi secara aqidah menang. Ini juga bentuk lain pertolongan Allah terhadap pejuang-Nya. Allah sutradaranya, manusia hanya pemeran. Jika Allah menginginkan bentuk pertolongannya seperti itu, lalu apa hak pemeran untuk ikut campur dalam menentukan bentuknya?
Allah punya pertimbangan sendiri untuk menurunkan pertolongan dalam bentuk apa. Allah Maha Bijaksana. Serahkan saja soal ini kepada Allah, kita tak usah intervensi karena kita bukan Tuhan dan tidak bijaksana.
Maknanya, kita wajib meyakini janji Allah ini. Siapa yang menolong Allah pasti akan ditolong Allah. Tanpa perlu “memaksa” Allah untuk menolong kita sesuati target waktu yang kita canangkan dan secara ajaib (dramatis) seperti yang kita imajinasikan.
Hal yang sama terjadi pada janji Allah untuk mengabulkan doa. Siapa yang berdoa kepada Allah niscaya dikabulkan oleh Allah. Tanpa keterangan kapan waktunya. Kita saja yang kadang “memaksa” Allah untuk megabulkan sesuai target waktu yang kita inginkan. Ketika target waktu itu terlewati, dengan enteng menyimpulkan bahwa Allah tidak mengabulkan doanya.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدۡعُونِيٓ أَسۡتَجِبۡ لَكُمۡۚ
“Rabb-mu berfirman: Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan untukmu.” (QS. Ghafir: 60)
Ayat ini hanya menyebutkan janji Allah bahwa siapa yang berdoa kepada Allah pasti akan dikabulkan oleh Allah. Hal yang tidak termasuk dalam janji-Nya adalah kapan waktunya dan bentuk terkabulnya seperti apa. Karena itu, kita tak boleh “memaksa” Allah untuk mengabulkan doa kita sesuai waktu yang kita canangkan dan dalam bentuk yang kita imajinasikan. Tapi yang benar, biarkan Allah yang atur sesuai prinsip Maha Bijaksana-nya dan prinsip Maha Penyayang-nya kepada kita. Sebab belum tentu terkabulnya doa sesuai dengan jadwal waktu dan bentuk yang kita inginkan akan menjadi kebaikan buat kita. Bisa jadi malah menjadi sebab munculnya rasa sombong dan durhaka kepada Allah.
Jangan-jangan terhadap Gaza kita juga punya perilaku yang sama. “Memaksa” Allah untuk menurunkan pertolongan sesuai target waktu yang telah kita canangkan dan bentuknya harus ajaib seperti yang kita inginkan. Ketika perang berlangsung selama enam bulan, belum juga ada tanda-tanda kemenangan, sementara jumlah korban terus bertambah, lalu dengan itu kita lantas mempertanyakan, kalau memang Tuhan itu ada mengapa tak segera menolong Gaza? Mengapa Allah “tega” membiarkan penderitaan hamba-hamba-Nya yang shalih itu? Sampai kapan? Nunggu punah terbantai?
Maknanya, akan lebih baik jika kita lebih peka mengendus pertolongan Allah yang mengalir halus dan tampak sangat natural daripada menunggu yang ajaib dan dramatis – jika tak muncul lalu menyimpulkan pertolongan Allah terlambat. Jika yang natural itu kita masukkan dalam kategori pertolongan Allah, sungguh pertolongan sudah turun sejak awal pecahnya perang pada 7 Oktober yang lalu. Ketika Allah takdirkan pasukan “Israel” lengah pada tanggal itu sehingga terlambat mengendus serangan mendadak ke tanah yang mereka kuasai, lalu berhasil menawan ratusan orang dibawa masuk ke Gaza, bukankah itu pertolongan Allah? Apa jadinya jika Allah taqdirkan kebalikannya, pasukan “Israel” berbaris dan siap menghadang pergerakan pasukan dari Gaza itu?
Orang yang tidak peka dengan pertolongan Allah pasti mengabaikan itu sebagai pertolongan Allah. Sebab terjadi secara halus seolah hanya hasil usaha manusiawi bukan campur tangan ilahi. Tidak dramatis seperti terbelahnya laut saat Allah menolong Musa as dan pengikutnya.
Allah Tidak Menjanjikan Pertolongan, Bukan Kemenangan
Penggunaan kata nashr tak selalu bermakna kemenangan gemilang buat hamba-Nya dan kekalahan telak buat musuh-Nya. Bisa jadi pertolongan pada tingkat yang belum sampai kemenangan puncak, tapi pertolongan pada anak tangga di bawah yang masih jauh dari puncak kemenangan.
Perhatikan penggunaan kata nashr dalam ayat di bawah ini:
إِلَّا تَنصُرُوهُ فَقَدۡ نَصَرَهُ ٱللَّهُ إِذۡ أَخۡرَجَهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ثَانِيَ ٱثۡنَيۡنِ إِذۡ هُمَا فِي ٱلۡغَارِ إِذۡ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحۡزَنۡ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَاۖ فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَيۡهِ وَأَيَّدَهُۥ بِجُنُودٖ لَّمۡ تَرَوۡهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلسُّفۡلَىٰۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِيَ ٱلۡعُلۡيَاۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٤٠
“Jika kamu (wahai umat Islam) tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah), sedangkan dia salah satu dari dua orang (Nabi dan Abu Bakar), ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan Dia menjadikan narasi orang-orang kafir itu paling rendah. (Sebaliknya,) narasi Allah menjadi paling tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (At-Taubah/9:40)
Ayat ini bercerita tentang kisah perjalanan Nabi SAW berdua dengan Abu Bakar ra tatkala hijrah ke Madinah. Saat itu Makkah mengumumkan sayembara siapa yang bisa menangkap hidup atau mati Nabi Muhammad SAW, akan diberi hadiah yang sangat besar. Maknanya, nyawa Nabi SAW terancam. Ketika perjalanan itu lancar dan akhirnya selamat sampai ke Madinah, disebut sebagai pertolongan Allah. Padahal masih jauh dari kemenangan gemilang bagi Nabi SAW dan kekalahan tragis musuh Islam.
Berarti yang Allah janjikan dan pasti janji-Nya akan ditepati adalah pertolongan alias bantuan alias dukungan. Belum tentu bentuknya puncak kemenangan seperti kemenangan gemilang dalam perang Badar. Bisa jadi pertolongan-pertolongan kecil atau kemudahan-kemudahan kecil yang Allah berikan, itupun tersamar di balik perencanaan manusiawi.
Jika kita menilik kisah perjalanan hijrah Nabi SAW tersebut, perencanaan manusiawinya sangat menonjol. Seolah Nabi SAW tak mengandalkan pertolongan Allah. Nabi SAW awalnya berjalan menuju arah kebalikan dari arah ke Madinah, demi mengecoh pencarian Quraisy. Nabi SAW bahkan menyewa tukang pandu jalan yang masih musyrik untuk memandunya agar sampai Madinah melalui jalan yang tidak biasa. Padahal kalau mau Nabi SAW bisa saja mengandalkan ilham dari Allah, Nabi SAW tinggal berdoa. Tapi Nabi SAW tidak melakukannya karena sadar bahwa pertolongan Allah itu pasti akan datang tapi tidak bisa “dipaksa” datang, semuanya tergantung kehendak Allah. Pertolongan itu bersifat mengiringi usaha manusiawi, bukan ajaib tanpa usaha manusiawi.
Pertolongan Allah itu kadang berupa kemenangan final, tapi kadang berupa pertolongan kecil di dalam proses panjang menuju kemenangan puncak. Karena itu dapat disimpulkan bahwa Allah tidak menjanjikan kemenangan final, tapi pertolongan umum yang bentuknya bisa banyak kemungkinan.
Coba renungkan ayat di bawah ini:
فَإِمَّا نَذۡهَبَنَّ بِكَ فَإِنَّا مِنۡهُم مُّنتَقِمُونَ ٤١ أَوۡ نُرِيَنَّكَ ٱلَّذِي وَعَدۡنَٰهُمۡ فَإِنَّا عَلَيۡهِم مُّقۡتَدِرُونَ ٤٢ فَٱسۡتَمۡسِكۡ بِٱلَّذِيٓ أُوحِيَ إِلَيۡكَۖ إِنَّكَ عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ٤٣ – الزخرف
41. Maka, sungguh jika Kami benar-benar mewafatkanmu (sebelum engkau mencapai kemenangan), sesungguhnya kepada mereka Kami akan (tetap) memberikan balasan.
42. Atau, Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari apa yang Kami janjikan kepada mereka (berupa kekalahan di dunia). Sesungguhnya Kami Maha Berkuasa atas mereka.
43. Maka, berpegang teguhlah pada (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya engkau berada di jalan yang lurus. (Az-Zukhruf/43:41-43)
Ayat ini menerangkan bahwa boleh jadi Nabi Muhammad SAW akan ditakdirkan wafat oleh Allah (karena kalah dari kaum kafir) sebelum misi yang diemban selesai. Atau kebalikannya, Allah perlihatkan kekalahan kaum kafir saat Nabi SAW masih hidup, yang bermakna misi tuntas dan kaum kafir kalah. Nabi SAW diminta oleh Allah untuk tidak memikirkan kalah atau menang. Toh seandainya kalah, Allah akan tetap membalaskan kejahatan kaum kafir di akhirat nanti. Kalau menang, alhamdulillah, berarti kaum kafir mendapat dua kali kehinaan, saat di dunia dan kelak di akhirat.
Tapi yang harus menjadi fokus pikiran Nabi SAW adalah memastikan jalan yang ditempuh itu lurus. Jangan sampai demi menghindari kematian di jalan perjuangan lalu jalan lurus dinegosiasikan dengan musuh lalu menjadi bengkok. Fokuslah menjaga jalanmu tetap lurus, meski kematian menjadi harganya. Karena hakekatnya itu bukan kekalahan, tapi kemenangan. Menang karena tidak menyerah di hadapan kaum kafir, meski secara fisik mati terbunuh. Allah justru puji hal itu.
Ketika para pejuang dan umat Islam di Gaza tetap melawan dengan gagah meski puluhan ribu jiwa telah menjadi korban, ini kemenangan dalam pandangan Allah. Toh kelak di akhirat Israel akan kalah juga ketika mereka tak bisa lari dari azab Allah. Jadi tak perlu risau kalah atau menang, fokuskan pada apa yang menjadi kewajiban kita untuk Gaza. Kapan dan bagaimana kemenangan biarlah Allah yang atur. Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Percayalah !
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – 25 Ramadhan 1445 H / 04042024 M