(Arrahmah.id) – Nasionalisme itu akan tampak baik jika dilihat secara mikro (lokal). Misalnya Indonesia. Nasionalisme membuat seluruh penduduk Indonesia bersaudara dalam satu ikataan kebangsaan. Satu bangsa. Satu bahasa. Satu tanah air. Keragaman keyakinan tidak muncul sebagai masalah yang kemudian melahirkan saling tikam. Agama hanya dianggap perkara privat masing-masing pemeluknya, sama sekali tak mempengaruhi kerukunan sesama anak bangsa. Maknanya, nasionalisme dianggap sebagai solusi mujarab untuk mengatasi berbagai perbedaan internal.
Namun jika dilihat secara makro (global), Nasionalisme akan menjadi ruang gelap fanatisme kebangsaan dalam bersaing dengan bangsa lain. Persaingan ini menjadi pertaruhan harga diri. Pada gilirannya akan melahirkan konflik keras. Konflik hanya akan berakhir jika salah satu dapat dikalahkan, atau datang bangsa lain yang akan menaklukkan keduanya karena sudah sama-sama lemah.
Apa yang terjadi di Gaza menjadi cermin paling nyata dari kejahatan nasionalisme. Saat “Israel” berniat melanjutkan penghancuran ke kota Rafah yang menjadi kantong pelarian terakhir bagi penduduk Gaza, Mesir justru memperkokoh dan meninggikan tembok pembatasnya dengan Rafah. Tujuannya agar tidak ada satupun penduduk Gaza yang menyeberang ke wilayah Mesir. Sebab masuknya penduduk Gaza sebagai pengungsi akan membebani ekonomi dan mengganggu stabilitas Mesir. Inilah bukti konkrit penguasa Mesir yang notabene Muslim bertindak lebih didasari aqidah nasionalisme ketimbang menolong saudara seiman.
Mesir melihat konflik antara Palestina dengan “Israel” sebagai masalah internal kedua entitas yang sama-sama memperebutkan satu wilayah yang sama. Seperti negara-negara ASEAN dalam melihat konflik di Myanmar antara rezim melawan etnis Rohingya. Pada dasarnya negara-negara ASEAN tak mau dijadikan tujuan pengungsian, meski ada kesamaan agama, karena melihatnya sebagai konflik internal satu negara.
Meski ada tujuan lain yang juga disasar Mesir, yaitu mencegah “Israel” seenaknya mengusir penduduk Gaza ke Mesir, setelah itu “Israel” menikmati tanah-tanah yang ditinggal penduduknya tersebut. Mesir tidak mau sengsara karena kemasukan pengungsi dalam jumlah besar, sementara “Israel” menikmati tanah gratis yang ditinggalkan.
Tapi masalahnya tujuan itu terlalu mahal, karena harus membiarkan jutaan Muslim Gaza mati kelaparan di Gaza. Mesir menolak menerima pengungsi yang notabene saudara seiman, demi mengamankan tanah airnya sendiri. Ini menjadi prioritas nomer satu. Kedua, dalam rangka tidak dikibuli “Israel”. Sementara keislaman penduduk Gaza tak punya makna apa-apa dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan para penguasa Mesir.
Beda sekali jika dibandingkan zaman khilafah. Ikatan persaudaraan Islam benar-benar menjadi faktor dominan dalam pengambilan kebijakan politik oleh para khalifah. Inilah alasan utama mengapa Barat (yang dikendalikan Yahudi) punya agenda memecah bekas wilayah kekuasaan khilafah Turki Usmani menjadi banyak negara yang masing-masing merdeka agar bertindak dengan logika nasionalisme masing-masing, tak lagi bertindak dengan logika persaudaraan Islam.
Islam Perintahkan Solidarits Islam
Allah Maha Tahu bahwa umat Islam akan mengalami kesengsaraan jika tidak punya solidaritas Islam. Pasti akan terjadi saudara seiman diumpankan kepada musuh demi kenyamanan diri sendiri. Persis yang terjadi dengan Gaza, diumpankan agar menghadapi musuh sendirian sedangkan saudara-saudara yang mengelilinginya hanya menonton sambil mengamankan diri. Untuk sebuah kepantasan persaudaraan, tetap dibantu makanan, minuman dan obat-obatan. Tapi bantuan yang berbau campur tangan politik, harus dihitung seribu kali apa manfaat dan madharatnya buat dirinya sendiri.
Karena itu, Allah sangat tekankan agar solidaritas Islam ini diamalkan dengan sepenuh hati. Pengamalannya dijadikan sebagai inti keimanan, karenanya jika hilang akan dianggap hilang iman. Ia juga dijadikan sebagai indikator kemunafikan, yaitu ketika orang memberikan solidaritasnya kepada kafir dan memusuhi Muslim.
بَشِّرِ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ بِأَنَّ لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمًا ١٣٨ ٱلَّذِينَ يَتَّخِذُونَ ٱلۡكَٰفِرِينَ أَوۡلِيَآءَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۚ أَيَبۡتَغُونَ عِندَهُمُ ٱلۡعِزَّةَ فَإِنَّ ٱلۡعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعٗا ١٣٩
138. “Berilah ‘kabar gembira’ kepada orang-orang munafik bahwa bagi mereka azab yang sangat pedih. 139. (Yaitu) mereka yang menjunjung solidaritas dengan orang-orang kafir (di saat yang sama) mengabaikan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kejayaan di sisi orang kafir itu? (Ketahuilah) sesungguhnya semua kejayaan itu milik Allah.” (An-Nisa’/4:138-139)
Solidaritas iman merupakan inti iman. Ketika salah dalam menunaikan solidaritas iman, yang seharusnya kepada sesama mukmin tapi malah diberikan kepada kafir, keimanannya gugur dan gelar yang baru adalah munafiq. Gara-gara solidaritas antara munafiq dengan kafir inilah yang menyebabkan kelak mereka akan dikumpulkan di neraka Jahannam bersama-sama.
إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا ١٤٠ – النساء
“Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan Munafiqin dan Kafirin di neraka Jahannam bersama-sama.” (QS. An-Nisa: 140)
Sepenting itu solidaritas atas dasar iman. “Israel” sebagai entitas kafir seharusnya dijauhi, dimusuhi dan diperangi bersama. Tapi karena dijegal oleh aqidah Nasionalisme, solidaritas itu gagal ditunaikan. Mesir misalnya, mencitrakan diri netral tak mau ikut campur urusan dalam negeri “Israel”. Masalahnya, sikap netral di saat kondisi menuntut ditunaikannya solidaritas iman, akan dianggap memberi jalan bebas hambatan buat “Israel” untuk berbuat keji sesukanya kepada saudara seiman.
Kemenangan Cepat Mungkin Untungkan Nasionalisme
Andai Allah beri kemenangan Gaza dengan cepat dan ajaib, tanpa bantuan Mesir dan negara-negara Muslim di sekelilingnya, maka negara-negara nasionalis itu akan mendapat pembenaran atas sikapnya. Memang dari awal mereka berharap Allah langsung yang bantu, bukan mereka, sehingga tak perlu ikut berlumuran darah.
Lambatnya kemenangan Gaza bisa jadi karena faktor ini, salah satunya. Sebab Allah tidak mau lagi turun membantu, sementara saudara seiman hanya duduk manis jadi penonton. Era seperti itu sudah berlalu, berganti menjadi era baru pada zaman Nabi Muhammad SAW. Terakhir mekanisme bantuan Allah secara langsung dan manusianya duduk menonton adalah peristiwa Gajah pada tahun kelahiran Nabi SAW. Saat itu penduduk Mekah hanya menonton dari bukit, sementara Allah “sibuk” menghancurkan pasukan Abrahah melalui burung Ababil.
Allah tidak ingin mengulang itu. SOP turunnya bantuan sudah berubah. Allah tidak mau Mesir dan teman-temannya hanya menonton, sementara Allah justru “sibuk” menghancurkan pasukan “Israel”. Allah maunya dibalik. Mesir dan teman-temannya yang sibuk melawan “Israel”, Allah hanya menonton, tapi nanti jika perlu bantuan Allah siap membantu. Selama belum terjadi seperti ini, mungkin kita harus bersabar menunggu lebih lama dengan was-was apa yang akan terjadi dengan Gaza.
Antara Nasionalisme dan Umatisme
Konsep umat mengandung makna solidaritas berdasarkan kesamaan keyakinan, dengan mengabaikan teritorial. Sebaliknya, nasionalisme mengandung makna solidaritas berdasarkan kesamaan teritorial dengan mengabaikan keyakinan.
Dua konsep solidaritas ini seperti dua daun timbangan. Manakala nasionalisme naik, umatisme turun. Sebaliknya, ketika umatisme naik, nasionalisme turun.
Sejak runtuhnya khilafah Islam di Turki tahun 1924, umatisme yang memayungi umat Islam ikut runtuh. Umat Islam kemudian hidup di bawah payung nasionalisme masing-masing. Karenanya umat Islam harus berjuang sendiri-sendiri sesuai lingkup nasionalisme masing-masing, tak bisa lagi berharap banyak akan dibantu oleh saudara seiman yang berada di payung nasionalisme yang lain. Tali penghubung bernama iman diputus oleh garis batas nasionalisme.
Inilah yang terjadi dengan Gaza. Mereka berperang melawan “Israel” yang begitu kuat di saat nasionalisme telah lama memutus tali-tali persaudaraan Islam. “Israel” berhasil mengorkestrasi negara-negara Barat sehingga kompak menyokongnya secara politik dan militer, sementara Gaza sejauh ini belum berhasil mengorkestrasi dukungan teman-temannya sesama Muslim. Mereka masih asyik bersolek dengan nasionalisme masing-masing.
Dengan peta pertarungan seperti ini, atas dasar apa kita berharap kemenangan Gaza berlangsung cepat? Sementara suplai senjata dan tenaga yang dihimpun “Israel” masih terus berlanjut. Apakah kita menunggu keajaiban seperti ajaibnya kekalahan Abrahah melalui burung Ababil? Ingat, SOP seperti itu sudah berganti menjadi pertolongan halus dan natural, melekat bersama usaha manusiawi yang maksimal.
Jika kita paham kaidah ini, kita menjadi paham mengapa kemenangan Gaza belum juga tiba. Mungkin Allah masih menunggu kesadaran para penguasa Arab untuk kembali menegakkan solidaritas Islam dan meninggalkan nasionalisme. Allah menunggu persatuan umat Islam, sebab kemenangan Gaza hakekatnya kemenangan umat Islam. Semakin solid bersatu, semakin cepat Allah turunkan pertolongan-Nya. Wallahul-musta’an.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – 3 Syawal 1445 H / 12042024 M