(Arrahmah.id) – Ribuan tahun yang lalu Bani Israil saat berseteru melawan rezim Firaun berada di jalan yang benar, bagaimana dengan perseteruan bani Israil pada zaman sekarang melawan umat Muhammad SAW? Apakah statusnya masih sama atau telah berpindah jalur sehingga berada di jalan yang salah ?
Jika mengacu kepada nama, tetap bernama “Israel”. Bedanya dulu bernama Bani Israel sekarang menjadi negara “Israel”. Tapi aslinya sama, keturunan Israel atau bangsa Israel dan beragama Yahudi.
Kesamaan ini yang membuat penilaian orang terhadap entitas “Israel” masa kini rawan bias. “Israel” akan tetap dianggap baik, sama dengan sejarah masa lalu mereka yang harum. Padahal perbuatannya telah berubah. Dahulu mereka terzalimi, kini menjadi biang kerok kezaliman dan segala rupa kejahatan.
“Israel” Membuka Topengnya Sendiri
Untungnya “Israel” masa kini telah membuka topengnya sendiri. Perang rupanya membuat manusia keluar karakter aslinya. Tidak lagi bisa menjaga pencitraannya sebagaimana saat damai. Perang membuat orang kehilangan kendali diri, seperti orang yang sedang berada di puncak emosi.
“Israel” membuat sendiri rangkaian kejahatan sehingga menjadi sebab yang diterima akal untuk dibenci umat manusia dan diazab Allah. Ini merupakan sunnatullah yang akan selalu terjadi pada suatu negeri sebelum ditenggelamkan Allah dalam kekalahan atau azab setelah sebelumnya menikmati puncak kejayaan.
Perhatikan pesan tersirat ayat ini:
وَإِذَآ أَرَدۡنَآ أَن نُّهۡلِكَ قَرۡيَةً أَمَرۡنَا مُتۡرَفِيهَا فَفَسَقُواْ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيۡهَا ٱلۡقَوۡلُ فَدَمَّرۡنَٰهَا تَدۡمِيرٗا ١٦ – الإسراء
“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan para tokohnya (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kefasikan (pelanggaran dan kejahatan) di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya.” (Al-Isra’/17:16)
Pola ini akan selalu berulang setiapkali Allah hendak membinasakan suatu kaum. Hanya bedanya, jika sebelum zaman Nabi Muhammad SAW pembinasaan itu melalui banjir, gempa dan sejenisnya, maka pada zaman Nabi Muhammad SAW pembinasaan itu lebih berupa kekalahan menghadapi tentara Allah berwujud pejuang Islam. Tapi pakemnya tetap sama. Ada kejahatan yang menjadi alasan sah bagi Allah untuk membuatnya kalah dan binasa.
Bagi orang yang sedang dalam puncak emosi, akan menjadi kepuasan tersendiri jika bisa membalas musuhnya sebrutal mungkin. Tapi justru ini menjadi momen keasliannya keluar. Puas tapi terjerumus ke jurang. Itulah yang terjadi dengan “Israel”. Mereka merasa bebas membunuh, menyiksa, memperkosa, melaparkan, menghancurkan tempat ibadah, sekolah, rumah sakit, membunuh wartawan, tenaga medis dan relawan. Perang seolah memberi otoritas buat “Israel” untuk menjalankan hukum rimba. Seolah tak ada Allah yang melihatnya dan tak ada umat manusia yang menyaksikannya.
Dalam bahasa ayat, mereka melakukan kefasikan. Fasik adalah melakukan pelanggaran dengan tidak lagi merasa bersalah, bahkan pamer dengan bangga. Beda dengan maksiat, masih merasa bersalah dan sembunyi-sembunyi. Dan itulah yang dilakukan “Israel”, menabrak hukum internasional dengan tanpa rasa bersalah, bahkan bersikap tengil seolah menantang. Sedangkan menabrak hukum Allah, itu memang sudah karakternya dari dulu, tak perlu dibahas lagi.
Durasi perang yang panjang membuat semua borok “Israel” yang selama ini tertutupi oleh pencitraan di media, terbuka satu demi satu. Mata dunia terbuka, melihat semua kekejian “Israel” dengan telanjang.
Wajah Asli Kaum Mujrimin Harus Tampak Jelas
Mujrim dalam bahasa Arab artinya pelaku kriminal atau pelaku kejahatan. Baik kejahatan kepada diri sendiri, kepada sesama maupun kepada Allah. Pelanggar hukum secara umum disebut Mujrim, baik hukum Allah maupun hukum universal manusia. Pelanggar hukum alam juga Mujrim, seperti hukum alam hubungan seksual jantan dengan betina, tapi kaum LGBT maunya jantan dengan jantan.
Kaum Mujrimin dalam Al-Qur’an bisa bergelar musyrikin, kafirin, munafiqin, ahlul kitab, yahudi, nasrani, munafiqin, zalimin dan fasiqin. Gelar Mujrimin tersemat atas dasar perilaku, bukan asal usul kebangsaannya. Maknanya, si Mujrim bisa orang Arab, bisa “Israel”, bisa Indonesia dan siapa saja.
Jalan kaum Mujrimin harus tampak jelas, sebagaimana jalan kaum Mukminin. Jelasnya jalan kaum Mujrimin agar dijauhi umat manusia. Jelasnya jalam kaum Mukminin agar disukai umat manusia. Kedua jalan itu harus jelas perbedaannya, jangan ada yang abu-abu agar umat manusia bisa memilih dengan tepat. Hal ini berkaitan dengan terminal akhir di akhirat kelak yang hanya ada dua, surga atau neraka. Tidak ada pilihan lain.
Karena itu Allah SWT memberi keterangan begini:
وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ وَلِتَسۡتَبِينَ سَبِيلُ ٱلۡمُجۡرِمِينَ ٥٥ – الأنعام
“Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an secara terperinci (agar terlihat jelas jalan kebenaran) dan agar terlihat jelas (pula) jalan para mujrimin (pendurhaka dan penjahat).” (Al-An’am/6:55)
Ayat ini menerangkan, jalan kaum Mujrimin tidak boleh tampak abu-abu atau samar-samar di mata manusia. Tapi harus jelas, nyata dan gamblang. Secara hekekat memang ada kejahatan itu, dan secara opini juga tampak sebagai kejahatan. Bukan aslinya kejahatan tapi tampak sebagai kebaikan.
Karena itu, perlu diturunkan ayat untuk menjelaskannya, jangan dibiarkan manusia menilai sendiri. Sebab jika itu terjadi, setiap kepala punya cara pandang yang berbeda. Pepatah mengatakan, sejahat-jahatnya orang pasti punya pendukung, dan sebaik-baiknya orang pasti punya musuh.
Ketika Allah SWT menurunkan banjir besar pada zaman Nuh as. maka ribuan tahun kemudian Al-Qur’an menjelaskan duduk perkaranya, bahwa jalan Nuh as benar sementara kaum yang menentangnya salah. Maknanya Allah tidak salah menghukum kaum Nabi Nuh as karena mereka memang pelaku kejahatan – kaum Mujrimin. Dan kejahatan mereka juga dilakukan terbuka, diketahui oleh semua orang.
Ketika terjadi perseteruan keras antara Bani Israil yang dipimpin Musa as melawan rezim Firaun, yang berakhir ditenggelamkannya Firaun dan bala tentaranya sementara bani Israil diselamatkan dengan dramatis, ratusan tahun kemudian Al-Qur’an memberikan review bahwa jalan Firaun salah dan jalan Musa as benar. Maknanya Allah tak salah dalam menghukum rezim Firaun. Kejahatan mereka juga dilakukan terbuka, semua orang tahu. Sehingga semuanya paham bahwa mereka memang layak dihukum oleh Allah.
Penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an ini demi memastikan jalan kaum Mujrimin masa lalu jelas dan terang di mata manusia masa kini. Agar tak ada orang yang menulis sejarah banjir zaman Nuh as dan perseteruan Firaun vs Musa as sebagai konflik biasa. Tapi harus dilihat sebagai perseteruan antara kaum Mujrimin lawan kaum Mukminin, untuk diambil pelajarannya: Kaum Mujrimin dibenci dan dijauhi sementara kaum Mukminin dicintai dan diikuti.
Jelas Dalam Pandangan Allah Belum Tentu Jelas Dalam Pandangan Manusia
Wajah asli kaum Mujrimin sejatinya amat jelas dalam pandangan Allah. Sebab Allah Maha Tahu, bahkan sampai isi hati paling tersembunyi Allah tahu. Namun dalam pandangan manusia, belum tentu akan tampak jelas.
Ada banyak sebab yang mungkin wajah kaum Mujrimin tak tampak jelas di mata manusia.
Pertama, bisa jadi karena kejahatannya tak terekspos sehingga informasinya tak sampai kepada orang-orang. Atau sebetulnya terekspos tapi yang bersangkutan tak membaca atau mendengarnya. Bisa karena lokasinya jauh, atau ada kesibukan tinggi sehingga tak sempat baca. Maknanya, sebabnya hanya bersifat teknis.
Kedua, bisa jadi karena informasinya sengaja ditutup oleh pihak tertentu. Atau informasinya dipalsukan. Atau dibuatkan plot agar kejahatan berubah menjadi kepahlawanan. Atau modus-modus serupa. Maknanya, tidak jelasnya wajah kaum Mujrimin disengaja oleh pihak tertentu, demi menjaga pencitraan. Berarti, penyebabnya bukan teknis, tapi politis.
Ketiga, bisa jadi karena orang yang menerima informasi tak mempercayai informasi yang diterima. Ia terbutakan oleh fanatisme terhadap kaum Mujrimin tersebut. Misalnya orang Nasrani cenderung susah percaya terhadap informasi tentang kejahatan “Israel”, sebab dalam kitab suci mereka Bani Israel itu pahlawan yang harum. Maknanya, sebabnya bersifat psikologis dari sisi penerima informasi.
Seperti kasus “Israel” dalam memnghancurkan Gaza dan melakukan genosida. Orang Barat cenderung tetap membenarkan tindakan “Israel” karena korbannya Muslim Gaza yang dari awal mereka memang benci Muslim. Tapi ketika relawan kemanusiaan dari Barat menjadi korban pembunuhan secara sengaja oleh “Israel”, barulah mereka percaya “Israel” jahat alias Mujrim.
Ini menjadi bukti, bahwa di mata umat Islam dunia “Israel” itu Mujrimin sejak dulu. Sementara di mata Barat, mereka baru sadar “Israel” itu Mujrimin setelah 6 bulan peperangan. Maknanya, berlarutnya perang di Gaza bisa jadi bagian dari rencana Allah untuk membuat jalan kaum Mujrimin tampak nyata tak ada bias.
Allah Perlu Argumen yang Cukup Sebelum Menghukum
Allah bisa saja menghukum kaum Mujrimin di dunia berdasarkan data kejahatan yang Allah ketahui. Tapi masalahnya, hukuman itu hanya punya satu dimensi, yaitu menghukum yang bersangkutan. Orang lain tak bisa mengambil pelajaran karena hukuman itu berdasarkan data kejahatan yang bersifat tersembunyi yang hanya diketahui oleh pelaku dan Allah SWT.
Azab di dunia itu pada dasarnya bukan azab seutuhnya, tapi hanya “uang muka” untuk balasan sempurna di akhirat kelak. Oleh karena itu, tujuan azab lebih bersifat simbolik agar umat manusia melihat dan mengambil pelajaran darinya. Sementara azab yang hakiki dan seutuhnya akan datang kelak di yaumul akhir.
Buat apa Allah ceritakan azab-Nya untuk kaum nabi Nuh as yang menentang dakwah kalau bukan untuk peringatan orang sesudahnya agar mengambil pelajaran, tak mengulangi kebodohan yang sama. Andaikan azab di dunia itu bersifat seutuhnya, tentu tak perlu diceritakan, toh yang dihukum sudah mati.
أَوَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَيَنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۚ كَانُوٓاْ أَشَدَّ مِنۡهُمۡ قُوَّةٗ وَأَثَارُواْ ٱلۡأَرۡضَ وَعَمَرُوهَآ أَكۡثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَآءَتۡهُمۡ رُسُلُهُم بِٱلۡبَيِّنَٰتِۖ فَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيَظۡلِمَهُمۡ وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ ٩ – الروم
“Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Para rasul telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Allah sama sekali tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi dirinya sendiri.” (Ar-Rum/30:9)
Maksud ayat ini, manusia disuruh melihat bagaimana Allah hancurkan kaum Mujrimin masa lalu padahal jauh lebih kuat dibanding manusia sekarang. Ini menjadi bukti, bahwa hukuman Allah di dunia lebih dimaksudkan sebagai pelajaran, bukan balasan utuh untuk pelanggarannya. Sebab versi utuh akan tiba masanya, yaitu kelak di akhirat.
Karena dimaksudkan untuk pelajaran buat orang lain atau orang sesudahnya, kejahatan yang dilakukan harus terbuka dan diketahui semua orang. Sehingga orang langsung paham bahwa hukuman yang turun adalah untuk kesalahan yang ia saksikan. Tegaknya argumen adalah argumen Allah di mata manusia. Kalau argumen untuk diri-Nya sendiri, tak perlu kejahatan harus terbuka karena Allah Maha Tahu.
Dengan begitu Allah tidak dituduh zalim oleh manusia. Sebab semua orang tahu bahwa azab Allah itu memang layak diberikan kepada kaum Mujrimin tersebut. Karenanya ujung ayat diakhiri dengan kalimat “Allah sama sekali tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi dirinya sendiri”.
Tegaknya argumen ini sangat penting bagi Allah. Karena Allah ingin manusia mengenal-Nya. Dan kenalnya itu dengan opini yang lurus, bukan opini yang rusak. Allah tidak mau hanya dikenal manusia sebagai Pencipta. Tapi Allah ingin juga dikenal sifat-Nya seperti Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Penyayang, Maha Perkasa, tapi juga Maha Keras Siksa-Nya, Maha Halus Perencanaan-Nya dan seterusnya.
Lambatnya kemenangan Muslim Gaza dan panjangnya waktu yang Allah berikan kepada “Israel” untuk bebas berbuat nista, boleh jadi bagian dari skenario pencapaian agenda ini. Allah ingin manusia melihat bukti lebih banyak kejahatan “Israel” agar kelak ketika Allah hancurkan mereka (melalui tangan hamba-Nya), manusia sedunia menyorakinya bukan meratapinya. Manusia tak ada yang menuduh Allah zalim terhadap “Israel”, tapi semuanya mengatakan Allah Adil dan Bijaksana. Andaikan Allah tidak kalahkan “Israel”, manusia justru menuduh Allah tidak Bijaksana.
Karena itu, lambat atau cepatnya kemenangan Mukminin di Gaza itu bukan kita yang atur. Tapi semuanya kehendak Allah untuk tercapainya agenda Allah. Tugas kita hanya berusaha dan berdoa. Toh nestapa panjang yang mereka derita bukan tanda kebencian Allah kepada mereka, tapi justru bukti cinta. Sebagaimana hadits Nabi SAW yang artinya: “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan memberikan ujian kepada mereka”. Jadi dalam pandangan Mukmin, ujian itu tanda cinta bukan sebaliknya. Semoga Muslim Gaza lulus menghadapi ujian yang amat berat ini. Wallahul-musta’an.
والله أعلم بالصواب
@elhakimi – 2 Syawal 1445 H / 11042024 M