Oleh: Rehan Rafay Jamil
Oberlin, OH- Sementara Jenderal Pervez Musharraf mengakhiri tahun ketujuhnya sebagai Presiden Pakistan, berlangsung perdebatan panas tentang berapa lama ia dapat bertahan di puncak kekuasaan. Pada bulan Oktober 1999, ia menggulingkan pemerintahan sipil Nawaz Sharif, yang membuatnya sebagai penguasa militer keempat dalam sejarah singkat negara tersebut sekaligus melanjutkan pola peralihan kekuasaan di Pakistan yang selalu bergantian antara penguasa militer dan sipil.
Partai-partai oposisi utama Pakistan berpendapat bahwa Presiden yang merangkap Panglima Angkatan Bersenjata itu bertentangan dengan konstitusi bagi. Pada 2005, Musharraf mengingkari janjinya untuk mundur dari kedudukan sebagai kepala Angkatan Bersenjata dan menegaskan bahwa ia tetap akan menjabat keduanya.
Bagi para pendukung Musharraf, ia dianggap penyelamat negeri, orang yang mencegah Pakistan menjadi sebuah negara yang gagal dan mungkin, seperti yang baru belakangan diketahui, dari pemboman oleh AS. Memang, Musharraf, yang membanggakan dirinya sebagai ahli “berjalan di atas tali”, telah membuat perubahan dramatis dalam kebijakan luar negeri Pakistan, menyusul serangan terhadap gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada 11/9.
Sejak 11/9, Pakistan muncul sebagai negara garda depan yang tak dapat diabaikan dalam “Perang Melawan Teror” ala pemerintah Bush. Ia memutuskan hubungan lamanya dengan Taliban di Afghanistan, yang melicinkan jalan bagi Aliansi Utara dukungan AS merebut kekuasaan di Kabul. Pemerintah Pakistan juga telah memberikan dukungan militer dan intelijen pada AS, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan bersama-sama AS melaksanakan sebuah operasi militer kontroversial untuk mencari Osama Bin Laden dan para anggota Al Qaeda lainnya di wilayah suku asli Pakistan yang berbatasan dengan Afghanistan, dan telah menyebabkan kematian warga sipil yang tidak diketahui jumlahnya.
Ketika Musharraf mulai berkuasa, Pakistan – menyatakan diri sebagai negara nuklir sejak 1998 – sedang berada di ambang kepailitan. Dewasa ini berkat bantuan keuangan AS dan kepemimpinan yang cakap dari mantan bankir internasional yang menjadi Perdana Menteri, Shaukat Aziz, Pakistan memiliki cadangan mata uang asing sebesar 11 miliar dolar. Ibu kota perdagangan, Karachi, yang memiliki salah satu bursa efek berkinerja terbaik di Asia tahun lalu, merupakan simbol dari pengaruh yang baru diperoleh ini, selain semakin meningkatnya jumlah kelas menengah baru (KMB) dan orang kaya baru (OKB) di kota tersebut.
Sebagai perbandingan dengan negara-negara tetangganya di Timur Tengah hingga ke barat, sebelumnya Pakistan takpernah menjadi sebuah negara polisi, bahkan pada masa-dipimpin oleh golongan militer. Di bawah pemerintahan Musharraf, media elektronik Pakistan mengalami ledakan yang belum pernah terjadi, belasan saluran baru bermunculan, banyak di antaranya yang menyiarkan berbagai pendapat dan perdebatan yang mengkritisi pemerintah secara terbuka.
Presiden Musharraf sering membenarkan kekuasaannya dengan mengatakan bahwa ia sedang melicinkan jalan bagi “demokrasi sejati” di Pakistan. Sayangnya, ia bukan pemimpin militer pertama yang memiliki niat mulia tersebut. Kenyataannya, di bawah kekuasaannya, banyak lembaga sipil yang kritis terhadap pembentukan kembali demokrasi di negara tersebut justru dirongrong. Dewasa ini, para pemimpin dari dua partai politik utama Pakistan, Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif, berada dalam pengasingan. Parlemen terbagi antara sebuah faksi politik yang loyal kepada Presiden dan partai-partai oposisi utama, yang semakin lama semakin padu dalam memperjuangkan tujuan mereka: mengakhiri kekuasaan Musharraf dan mengembalikan kekuasaan sipil sepenuhnya di negara tersebut. Presiden telah berjanji untuk melaksanakan pemilihan umum nasional pada 2007, tetapi banyak kalangan skeptis berpendapat bahwa selama pemerintah Amerika terus mempercayai Musharraf, semua itu tak lebih omong kosong.
Bagi kebanyakan rakyat Pakistan, keadaan sekarang membawa perasaan déjà vu dari era 80-an, ketika pemerintah Partai Republik Amerika Serikat lainnya bersekutu dengan seorang penguasa militer di Pakistan. Hal tersebut tejadi pada masa-masa akhir Perang Dingin ketika Presiden Ronald Reagan dengan tak mengacuhkan rendahnya persyaratan demokrasi pemerintahan Jenderal Zia-Ul-Haq sebagai balasan atas dukungannya bagi usaha-usaha AS mengusir Soviet dari Afghanistan. Dukungan bagi jihad bersenjata dan fundamentalisme Islam pada masa itu merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan AS dalam peperangan melawan “kekaisaran jahat tak bertuhan”, demikian Reagan menyebut Uni Soviet–sebuah kebijakan yang kembali menghantui AS. Dewasa ini, Presiden Musharraf oleh banyak kalangan di Barat dipandang sebagai pertahanan satu-satunya dan terbaik dalam melawan ekstremisme Islam di Pakistan, rasa takut yang oleh para pengecamnya di Pakistan dianggap sebagai berlebih-lebihan demi mempertahankan kekuasaannya.
Mendukung Musharraf merupakan pilihan yang mudah, tetapi tentu bukan satu-satunya. Dalam jangka panjang, AS berkepentingan untuk mendukung demokrasi, mengembalikan kekuasaan sipil ke Pakistan, dan mendorong Musharraf melakukan reformasi. Kerja sama AS dengan militer Pakistan dalam mencari Al Qaeda tak boleh mengorbankan demokrasi di Pakistan. Pemerintah AS seharusnya menegaskan bahwa ia akan memberdayakan pemerintahan sipil di Pakistan dan kelangsungan bantuan luar negeri dan militer akan bergantung pada reformasi demokrasi di negara tersebut.
Masalah Pakistan merupakan sebuah gambaran dari pertentangan lebih luas dari kebijakan luar negeri Amerika di dunia Muslim. Di satu sisi AS berusaha memperjuangkan tujuan demokrasi dan hak-hak asasi manusia di seluruh dunia, di sisi lain, ia terus-menerus bersekutu dengan pemerintah otoritarian di dunia Muslim. Kemunafikan AS dalam kebijakan luar negerinya inilah yang membuat banyak kalangan di dunia Muslim naik pitam. Dewasa ini, para pengecam Musharraf secara berkala mencerca dirinya sebagai boneka Amerika di wilayah tersebut, sebuah pandangan yang hanya semakin memperkuat gagasan bahwa AS tidak bersungguh-sungguh dengan komitmennya memajukan demokrasi di wilayah tersebut.
Bagi sebagian besar rakyat Pakistan, pilihan antara kekuasaan militer dan pemerintahan sipil yang korup di masa lalu sama-sama mengkhawatirkan. Namun yang pasti adalah masa depan salah satu negara terpenting dunia Muslim ini tidak dapat dibiarkan bergantung di tangan satu orang. Pemilihan yang bebas dan adil pada tahun 2007 adalah satu bagian yang seharusnya melengkapi alih kekuasaan mutlak dari tangan militer ke sipil di negara tersebut. Memulihkan kembali kembali lembaga-lembaga politik Pakistan yang telah hancur dan mengakhiri perebutan kekuasaan yang kompleks antara kepemimpinan sipil dan militer merupakan tantangan di masa depan, sebuah tantangan yang lebih besar.
* Rehan Rafay Jamil adalah mahasiswa tingkat akhir di jurusan Politik & Sejarah, Oberlin College.
Artikel ini disebarluaskan oleh Common Ground News Service (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.
Sumber: Common Ground News Service (CGNews), 14 November 2006, www.commongroundnews.org