Oleh: Elhakimi
Guru Agama dan Pemerhati Pergerakan Islam
(Arrahmah.com) – Pancasila menjadi polemik sesama anak bangsa. Masing-masing punya sudut pandang, kesimpulan pun menjadi beragam. Setiap orang tak ada yang berhak dianggap superior, karena sesama manusia – apalagi sesama anak bangsa – tak boleh ada tirani sudut pandang. Akal dan kemampuan analisa sama saja meski gelar berbeda.
Tentu saja menjadi polemik, Pancasila produk manusia, dibuat oleh beberapa orang dan harus diterima oleh jutaan orang. Ada yang merasa cocok, ada yang merasa janggal. Jangankan Pancasila yang buatan manusia, Al-Qur’an yang merupakan kalamullah saja menjadi polemik ditengah manusia. Padahal Allah sudah menantang bagi siapa yang menolaknya untuk membuat satu surat saja sebagai tandingan.
Tapi itulah ciri khas manusia. Jika saja mereka diberi kebebasan penuh untuk menilai apapun sesuka hatinya, kekacauan akan terjadi di mana-mana. Sebab tak ada yang bisa dinyatakan salah dan tak ada yang bisa dianggap benar. Semuanya menjadi relatif.
Itulah sebabnya manusia menghajatkan kekuasaan. Untuk menyatukan manusia – dengan paksaan. Kalau bukan karena perlindungan kekuasaan, Pancasila sudah lama dilupakan oleh rakyat Indonesia. Tergilas oleh polemik tak berujung.
Berarti Pancasila dipaksanakan oleh kekuasaan untuk diterima. Tak sampai di situ, Pancasila juga dikontrol pemahamannya oleh kekuasaan. Tidak menerima tafsiran tidak resmi – dari pihak swasta atau pribadi. Meski dari kampus ternama sekalipun.
Rumusan Pancasila dan tafsirannya yang sah hanya yang resmi berasal dari penguasa – pemerintah Indonesia. Sejauh ini Pancasila dipersepsikan oleh penguasa sebagai konsep suci, sakti dan sakral. Pemersatu terbaik dan satu-satunya bagi seluruh anak bangsa, baik muslim maupun non muslim. Jangankan menolak atau menggugat, mengkritisinya saja sudah dianggap makar terhadap keutuhan bangsa.
Tulisan ini akan mencoba membeberkan sudut pandang lain terhadap Pancasila. Bukan dari akal pribadi penulis sebagai manusia sekaligus anak bangsa, tapi sekedar menjabarkan sudut pandang penguasa yang lebih tinggi. Bukan sembarang penguasa, tapi Penguasa langit dan bumi. Agar kita semua menjadi tahu masing-masing sudut pandang, baik dari sisi penguasa Indonesia maupun dari Penguasa jagat raya – Allah SWT.
Penguasa Langit dan Bumi
Allah berhak untuk ikut menilai Pancasila, bukan hanya penguasa Indonesia. Alasannya simpel. Hirarki kekuasaan politik itu berlaku secara universal. Setiap satuan kekuasaan kecil, harus tunduk kepada satuan kekuasaan yang lebih besar di atasnya. Seperti RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi dan ujungnya Pemerintah Pusat.
Masalahnya, hirarki politik tak berhenti sampai Jakarta. Tapi ada Penguasa lebih tinggi dengan teritorial yang amat luas – seluas kosmos. Dialah Allah SWT.
Karenanya, Allah berhak untuk menilai apapun dinamika yang terjadi di tengah kekuasaan-Nya. Termasuk – tentu saja – yang terjadi di Indonesia. Dan tentu saja termasuk penilaian terhadap Pancasila dan seluruh tafsirannya versi penguasa Indonesia. Meski sudah dipagari dengan aura sakral secara ideologi, deretan pasal secara hukum, dan barisan pengawal secara kekuatan.
Dilema justru nantinya terpulang kepada kita – rakyat Indonesia. Jika ternyata penilaian Penguasa Kosmos terhadap Pancasila negatif, sementara Penguasa Indonesia mati-matian mengatakan positif, terus kita mau ambil penilaian siapa? Ketundukan kita akan diberikan kepada siapa, kepada level negara atau level kosmos?
Mirip dilema saat kita terjebak dalam perbedaan kebijakan antar pemangku kekuasaan dengan jenjang yang berbeda. Kebijakan RT mengharuskan rumah warga dicat warna biru, sementara kebijakan kelurahan mengharuskan warna merah, terus kita akan ikut kebijakan siapa? Mengikuti kebijakan RT akan dimarahi oleh kelurahan. Ikut kebijakan kelurahan, akan dimarahi RT.
Tapi jika kasus ini dibawa ke pengadilan, diadili dengan akal sehat dan nilai universal, pasti yang dimenangkan adalah kebijakan kelurahan. Sebab bagaimanapun RT berada di bawah hegemoni kelurahan, tak boleh mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan satuan kekuasaan lebih besar di atasnya.
Tulisan ini mencoba membahas bagaimana pandangan Allah sebagai penguasa politik tertinggi tingkat kosmos terhadap kebijakan yang diberlakukan oleh penguasa lebih kecil di bawahnya – pemerintah Indonesia. Bukan untuk mencari-cari masalah dan keributan, tapi ingin mendudukkan masalah dengan adil.
Sebab dalam konsep Demokrasi – sistem yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia – jika kita berbicara hak, hanya tentang hak rakyat yang notabene garis vertikal ke bawah. Tidak ada pembicaraan tentang hak Allah sebagai penguasa kosmos yang notabene garis vertikel ke atas.
Demokrasi bagus sebagai konsep untuk melindungi hak rakyat, tapi nihil dalam melindungi hak Allah. Demokrasi hanya peduli garis ke bawah, tapi menolak dicampuri oleh garis ke atas. Dengan demikian lahir ketidak-adilan sistemik di balik Demokrasi, yaitu tidak adil kepada Allah sebagai Penguasa di atas Indonesia yang harus dipenuhi hak-Nya.
Ketika hukum dan kendali politik Allah tidak diberi ruang oleh Demokrasi, oke-lah itu fakta yang sudah kadung terjadi. Meski hati kita sebagai mukmin merasa tersakiti dengan fakta itu. Namun kenyataannya kita belum bisa mengembalikan hak Allah tersebut, setidaknya dalam waktu dekat.
Tapi jangan pula pandangan Allah dikebiri. Allah tidak diberi ruang untuk menilai. Terhadap apa yang terjadi di tengah pemerintah Indonesia. Baik dalam soal ideologi, kebijakan politik, kebijakan ekonomi dan sebagainya.
Maka tulisan ini setidaknya diniatkan untuk memberi ruang bagi Allah untuk menilai. Upaya mengembalikan salah satu hak Allah – menjadi rujukan penilaian baik-buruk dan salah-benar. Setidaknya bagi mukmin, yang menjadi penduduk mayoritas di negeri ini.
Dengan menjabarkan pandangan Allah terhadap Pancasila, kita menjadi tahu bagaimana penilaian Allah terhadap Pancasila. Untuk dijadikan acuan tunggal penilaian kita. Lalu sebagai mukmin harus melakukan apa. Bersikap bagaimana. Dan seterusnya.
Agar jangan sampai seluruh hak Allah mati di negeri ini. Hak kontrol politik telah mati, padahal Allah penguasa politik tertinggi. Hak rumusan hukum-Nya dijadikan hukum positif bagi rakyat telah mati, padahal Allah legislator tertinggi. Hak kebijakan ekonomi-Nya yang anti riba telah mati, padahal Allah yang memberi rizki tapi manusia menolak aturan soal rizki. Hak ketuhanan-Nya telah mati, sebab Allah tak lagi dijadikan satu-satunya Tuhan, hanya diposisikan sebagai salah satu Tuhan, padahal hanya Allah Tuhan hakiki sementara yang lain tuhan hoax.
Ketika semua hak itu telah mati, jangan pula hak penilaian-Nya menjadi rujukan tunggal ikut mati, padahal hanya Allah Yang Maha Tahu, selain-Nya hanya sok tahu. Hanya karena tak ada hamba-Nya yang bersedia membeberkan pandangan Allah terhadap semua persoalan – termasuk tentang Pancasila – secara apa adanya sesuai wahyu-Nya. Semoga Allah berkenan menerima upaya sederhana ini sebagai hal yang diridhai-Nya. Amin.
Era monarki absolut telah berakhir. Pada mayoritas kerajaan di dunia. Tersisa beberapa, itupun gelar resminya bukan raja, seperti Kim Jong Un di Korea Utara. Tidak ada lagi raja yang benar-benar memegang kekuasaan secara absolut, seperti zaman Firaun. Raja-raja modern tak lebih sebagai simbol pemersatu bangsa. Kekuasaan dipegang oleh perdana menteri. Tinggal Arab Saudi yang masih bergelar raja dan memegang kekuasaan secara absolut.
Kini kekuasaan cenderung terbagi, tak lagi terpusat pada sosok raja. Pada era seperti ini, sistem yang lebih berkuasa, bukan manusia. Baik sistem politik, sistem hukum maupun sistem ekonomi. Dalam konteks lokal, rangkaian sistem itu adalah Demokrasi Pancasila, UUD 45 dan ekonomi Liberal.
Begitu dominan pengaruh sistem. Karenanya, menjadi relevan untuk dibahas. Dianalisa. Didudukkan perkaranya. Sesuai dengan pandangan Penguasa Jagat Raya.
Al-Qur’an lebih dominan membahas sosok Firaun. Bukan sistemnya. Sebab Firaun seorang raja absolut, di tangannya terkumpul seluruh kewenangan. Ucapannya menjadi pasal-pasal hukum. Pernyataannya menjadi vonis mati atau penjara. Komandonya menggerakkan tentara. Seluruh jengkal tanah Mesir miliknya. Pemberiannya adalah kebaikannya. Begitu tinggi dan absolut kekuasaannya, hingga saat ia mentahbiskan dirinya sebagai Rabb (Tuhan) di hadapan rakyat Mesir, tak ada lisan yang berani menyanggah.
Presiden di Indonesia, sebagai pemangku urusan Eksekutif, hanyalah hamba sistem. Ia tak punya kuasa untuk bertindak di luar sistem. Demikian pula anggota DPR – pemangku bidang Legislatif. Juga hakim, jaksa, polisi dan seluruh pelaku Yudikatif. Sistem yang menjadi real king. Bukan manusia.
Meski pejabat bisa memanfaatkan sistem untuk kepentingan pribadinya, tapi itu bukan perkara mudah. Jika tidak hati-hati dan bernasib baik, bisa jadi ia yang akan terjungkal dari posisinya. Rakyat akan menggunakan sistem untuk menggoyangnya. Lalu posisinya itu diisi orang baru yang lebih setia pada sistem.
Firaun mengumpulkan seluruh kejahatan pada dirinya sendiri. Ia mengklaim sebagai Rabb tertinggi, memandingi Allah. Ia merampas hak membuat konstitusi dari Allah. Ia menjadi hakim tertinggi yang dengan sesuka hatinya menjatuhkan vonis yang berdampak pada hidup atau matinya manusia, menandingi Allah. Ia komandan tertinggi tentara, yang bisa dengan mudah menggerakkan mereka untuk melakukan kezaliman atas nama Firaun, menandingi Allah sebagai Pemerintah (baca: pembuat perintah).
Sementara pada zaman modern, seorang Presiden atau kepala negara, bukanlah sosok yang menghimpun seluruh kesalahan itu. Ia hanya agen. Ia hanya pion. Ia hanya pelaksana tugas. Ia hanya boneka. Atas nama sebuah sistem utuh dalam mengatur tata negara yang kompleks. Meski ia juga tak bisa serta merta cuci tangan dengan berdalih hanya seorang boneka. Sebab kelak di akhirat azab tidak ditimpakan kepada sistem, tapi kepada manusia yang menjalankan sistem. Hisab berlaku kepada manusia, bukan terhadap sistem.
Maka urutan mengurai masalahnya menjadi sebagai berikut:
Pertama,
lihat sistemnya. Kita “minta” Allah untuk menilai. Benar atau salah. Baik atau buruk. Tentu saja melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena tidak mungkin Allah akan berbicara langsung kepada kita tentang penilaian-Nya itu.
Mengapa harus pandangan Allah? Tidakkah kita punya akal sehat – seperti istilah yang biasa digunakan Rocky Gerung – untuk menilai sendiri?
Sistem tata negara yang ada itu buatan akal manusia. “Akal sehat” juga tak lebih produk akal manusia. Produk akal manusia tak bisa dinilai hanya dengan produk akal manusia. Jeruk makan jeruk. Sebab nanti akan lahir tirani akal terhadap akal lain.
Mesti ada pandangan dari luar akal manusia. Jika itu dari jin, makin tidak jelas. Sosoknya saja tak tampak, bagaimana dengan hasil pikirannya. Malaikat? Kita juga tak punya alat untuk berkomunikasi dengan malaikat untuk mengetahui hasil analisisnya. Apalagi pandangan hewan, yang secara strata jauh di bawah manusia.
Tak ada pilihan, pandangan di luar akal manusia adalah pandangan Allah. Ada dokumen firman-Nya. Al-Qur’an. Tinggal diurai maksudnya. Lalu digunakan untuk menilai sistem tata negara yang ada.
Pandangan Allah dijamin adil, karena Allah Maha Adil. Pandangan Allah dijamin bijaksana, sebab Allah Maha Bijaksana. Pandangan Allah dijamin relevan dengan perubahan zaman, sebab Allah Pencipta dan Pemelihara alam semesta, sehingga sangat tahu seluk-beluk kehidupan manusia lintas zaman.
Pandangan Allah menjadi solusi atas problematika tirani akal terhadap akal. Setiap orang tak ada yang merasa dijajah oleh orang lain. Sebab yang “menjajah” adalah Pencipta Langit dan Bumi. Penengah yang adil. Tidak berpihak kepada bangsa tertentu, ras tertentu, atau bahasa tertentu. Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
Pandangan Allah adalah pandangan yang legal. Sebab Allah adalah Penguasa politik tertinggi alam semesta. Allah berhak menyatakan sah atau tidak sah atas apapun yang terjadi di bawah kekuasaan-Nya. Seluruh penguasa kecil pada teritorial kecil di bumi mutlak wajib tunduk pada Penguasa tertinggi di atasnya.
Setelah penilaian Allah terhadap sistem keluar, kita menjadi tahu apakah sistem tersebut legal atau ilegal. Jika dinyatakan legal dan benar oleh Allah, kita ambil dan kita praktekkan. Jika dinyatakan ilegal, kita buang dan kita lupakan. Tidak usah bersedih atau meratapi, toh buku sejarah pasti masih akan mencatatnya. Lumayan, untuk mengenang jejaknya. Segera move-on untuk mempraktekkan sistem baru yang diridhai Allah.
Kedua,
memperbaiki manusianya. Langkah ini diletakkan sebagai urutan kedua karena memang manusia hanya menjadi boneka sistem.
Sistem yang dinilai legal dan benar oleh Allah, yaitu sistem yang diturunkan Allah dari langit dalam bentu wahyu, hanya berjalan baik jika manusianya punya iman di hati. Inti iman adalah yakin bahwa sistem yang dikehendaki Allah itu pasti baik buat manusia, dan melahirkan keadilan sempurna. Adil buat Allah, adil buat manusia, adil buat hewan, dan adil untuk seluruh makhluk.
Selain iman, manusianya harus punya karakter istiqamah dalam menjalankan sistem. Berjalannya waktu, kadang sistem yang ideal itu mengalami distorsi sedikit demi sedikit. Lama-lama sistem menjadi asing bagi manusia, lalu ditinggalkan. Pada gilirannya, mengadopsi sistem lain yang dinyatakan ilegal oleh Allah.
Tentu banyak karakteristik lain yang perlu dimiliki oleh manusia pelaksana sistem. Baik secara aqidah, ubudiyah, muamalah maupun akhlak. Intinya, sistem yang baik dan benar harus dijalankan oleh manusia yang baik dan benar. Tidak bisa hanya memperbaiki salah satunya.
Ketiga,
menghilangkan biang kerok yang menghalangi lahirnya sistem yang diridhai Allah. Yaitu kekuatan militer dan politik yang memiliki daya paksa di hadapan seluruh negara lemah lain di dunia.
Kekuatan ini begitu besarnya, menguasai seluruh jengkal bumi, karenanya menempati level kekuasaan nomor dua di bawah kekuasaan Allah yang meliputi seluruh langit dan bumi. Tapi berada di atas kekuatan negara-negara kecil yang ada di dunia. Posisi itu bisa dianggap sebagai biang kerok. Sebab ia punya kapasitas untuk menghalangi keinginan negara-negara kecil untuk tunduk langsung kepada Penguasa Langit dan Bumi. Hak Allah sebagai Penguasa tertinggi, dirampas olehnya. Allah disingkirkan dari percaturan politik di muka bumi, hanya diberi kewenangan di langit.
Ciri khas kekuasaan modern adalah lahirnya hegemoni tunggal yang mencakup seluruh jengkal bumi. Permukaan bumi yang terdiri dari lima benua, ternyata dikendalikan oleh penguasa tunggal. Siapa lagi kalau bukan Amerika.
Firaun meski berkuasa secara absolut, tapi hanya pada wilayah Mesir yang kecil. Romawi dan Persia meski menjadi imperium raksasa, tapi kekuasaannya saat itu tidak menjangkau seluruh jengkal bumi. Masih ada China, Jepang, benua Amerika, Australia dan lain-lain yang berada di luar jangkauan keduanya.
Penguasa tunggal yang memegang hegemoni dunia saat ini adalah Amerika Serikat. Bukti konkritnya, AS mencengkeram dunia dengan meletakkan pangkalan militer di titik-titik strategis dunia. AS tidak lagi menjajah secara konvensional seperti Belanda yang menempatkan tentaranya di negara yang dijajah –Indonesia – atau Jepang yang menjajah kita secara langsung.
Penjajahan yang dilakukan AS terhadap Indonesia tidak perlu menempatkan tentaranya secara langsung, tapi cukup dengan menempatkan pangkalan militer yang menjepit Indonesia. Sebelah utara di Subic Filipina, sebelah selatan di Darwin Australia.
Apa maknanya? Indonesia yang mayoritas diisi umat Islam itu tak bisa leluasa mengadopsi sistem tata negara sesuai selera secara merdeka, tapi harus mempertimbangkan “ridha” Amerika sebagai penguasa di atasnya. Padahal apa yang diridhai Amerika pasti bertolak-belakang dengan ridha Allah, sebab warna ideologi Amerika adalah kufur kepada Allah. Mustahil Amerika justru mendorong umat Islam Indonesia untuk menegakkan sistem Islam yang murni seperti zaman Nabi saw.
Mustahil negara yang punya power mengendalikan dunia, membiarkan “anak singa” lahir di tengah wilayah jangkauan kekuasaannya. Pastilah anak singa itu dijinakkan agar menjadi kambing yang penurut.
Amerika paham, bahwa pada zaman modern, sistem itu lebih menentukan dibanding manusia. Karenanya Amerika punya kepentingan untuk memastikan seluruh negara yang berada di bawah hegemoninya untuk mengadopsi sistem yang selaras dengan Amerika. Setiap negara boleh memberi nama sistem itu sesuai bahasa lokal, sepanjang substansinya selaras dengan kepentingan Amerika.
Itulah yang terjadi pada tahun 1945 saat para tokoh merumuskan dasar negara yang akan menjadi pondasi seluruh tata negara. Substansi yang ingin dipastikan Amerika ada dua; Liberalisme dan Nasionalisme. Liberalisme berguna untuk membentengi umat Islam dari fanatisme terhadap Islam, agar tidak berlanjut menjadi tuntutan menerapkan Islam sebagai sistem tunggal. Sementara Nasionalisme berguna untuk menghalangi umat Islam dari rasa dan solidaritas satu umat menjadi rasa dan solidaritas satu bangsa. Dengan itu kekuatan umat Islam terpecah dan larut dalam persatuan atas dasar bangsa.
Amerika melihat Pancasila memenuhi dua poin tersebut. Bahkan melebihi ekspektasi. Maka tak ada alasan bagi Amerika untuk mengusiknya.
Negara-negara Timur Tengah yang mayoritas muslim, masih memuat klausul dalam dasar negaranya bahwa syariat Islam menjadi sumber utama konstitusi. Tapi tidak membatasi sumber lain. Itu saja Amerika sudah legowo menerima, asal syariat Islam tidak dijadikan acuan tunggal dengan membatasi sumber lain. Pancasila bahkan tak ada sama sekali klausul memberi keistimewaan apapun terhadap Islam sebagai agama mayoritas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dosis Liberalisme yang dikandung Pancasila lebih tinggi dibanding negara-negara Timur Tengah, untuk tidak mengatakan paling maksimal. Bahkan jika dibanding Malaysia, yang masih menyatakan Islam agama resmi negara.
Maka lahirnya Pancasila dan UUD 45 merupakan titik kompromi yang paling ideal untuk melestarikan kepentingan AS dan Barat secara umum sebagai penguasa dunia, kepentingan umat Islam yang dihargai agamanya meski tidak ada pengistimewaan, dan kepentingan pemeluk agama lain.
Jika Amerika memberangus Islam, akan buang-buang energi. Malah kontra produktif terhadap misi hegemoni yang diusungnya. Sebaliknya jika umat Islam memaksanakan sistem Islam yang murni juga tidak mampu karena kalah kuat dibanding AS. Akhirnya lahirlah sistem kompromi, dengan substansi Liberalisme dalam bingkai Nasionalisme tersebut.
Kesimpulannya, Pancasila itu dirumuskan oleh para tokoh umat Islam tapi di ruang kekalahan dari negara-negara Barat yang notabene kafir. Maka menjadi naif jika ada yang mengklaim Pancasila itu adalah produk yang sempurna dan ideal bagi umat Islam. Bahkan ada yang mengatakan dengan istilah final dan harga mati. Orang yang mengatakannya pasti tak mengerti arti izzah dalam Islam.
Pancasila dan Sunnah Kauniyah Kekuasaan
Masalah hegemoni AS kerap luput dari para pengamat saat melihat Pancasila. Mereka umumnya hanya meletakkan Pancasila sebagai warisan luhur dari para leluhur umat Islam. Pancasila adalah hadiah terbaik dari umat Islam untuk bangsa Indonesia. Umat Islam mengalah demi persatuan Indonesia.
Narasi ini tidak akurat. Pancasila adalah sistem yang dilahirkan di zaman darurat. Saat para tokoh Islam yang terlibat dalam penyusunannya sadar bahwa ada kekuatan di atas mereka yang harus dipertimbangkan “ridha”nya – Amerika.
Melihat Pancasila tidak bisa hanya melihat kata per kata, atau sila per sila seolah ia teks netral tanpa pengaruh situasi dan kondisi pada zaman perumusannya. Juga tidak bisa jika mengabaikan sunnah kauniyah kekuasaan yang berlaku sepanjang zaman. Berikut ini beberapa yang harus dijadikan pertimbangan dalam menilai Pancasila:
1. Indonesia belum merdeka saat Pancasila dirumuskan.
Indonesia pada awalnya dijajah Belanda. Konon selama 350 tahun. Lalu Jepang datang pada pada 1942, mengusir Belanda. Tanah jajahannya otomatis menjadi warisan Jepang. Lalu datang Amerika, Jepang dihajar bom atom di Nagasaki dan Hiroshima tahun 1945. Jepang menyerah. Dampaknya, Jepang terpaksa menarik seluruh tentaranya dari tanah jajahan, termasuk Indonesia.
Pertanyaan yang jarang dipikirkan orang, siapa pewaris tanah jajahan itu? Jika mengacu pada pakem yang berlaku secara global, siapa yang berhasil mengusir penjajah ia berhak mewarisi tanah jajahannya, tentu Amerika secara otomatis menjadi pewarisnya. Meski Amerika tidak mengusir langsung dari tanah Indonesia, tapi secara tidak langsung mengusirnya. Sebuah pakem kehidupan yang sederhana. Seorang preman yang berhasil mengkudeta sang kepala preman, ia akan mewarisi wilayah kekuasaannya dan mewarisi para preman yang sebelumnya menjadi anak buahnya. Begitulah hukum rimba kekuasaan.
Artinya, secara substansi Indonesia masih dalam status terjajah, meski secara diplomatik disebut merdeka. Kemerdekaan Indonesia sejatinya kemerdekaan semu, karena masih harus tunduk pada tatanan global yang dipimpin Amerika dengan payung hukum bernama PBB. Keberadaan hak veto menjadi bukti lain bahwa ada kekuatan super yang mengendalikan negara-negara lemah di dunia.
Kalau seandainya Amerika mau, seluruh tanah Indonesia berhak ia klaim sebagai jajahannya. Sebab ia yang punya kemampuan mengusir penjajah sebelumnya. Tapi Amerika tidak memilih itu. Amerika memilih cara lain untuk mewarisi tanah jajahan itu.
Amerika punya cara baru dalam menjajah. Ia tidak menempatkan tentara Amerika di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan Belanda dan Jepang. Cara itu tidak efisien karena Amerika menguasai seluruh permukaan bumi, terlalu berat jika harus melakukan cara Belanda dan Jepang.
Amerika memilih memberi kemerdekaan secara politik-diplomatik kepada negara-negara tersebut. Tapi secara militer masih mencengkeramnya, dengan cara menempatkan pangkalan militer di titik-titik strategis di muka bumi. Inilah yang kerap dilupakan para pengamat, terkecoh dengan cara penjajahan baru. Lupa bahwa sejatinya sampai saat ini Indonesia masih menjadi jajahan Amerika, meski tidak kasat mata.
2. Tidak ada makan siang gratis.
Ada quote yang populer di Barat; tak ada makan siang gratis. Amerika berdarah-darah dalam perang melawan Jepang, masuk akalkah jika memberikan kemerdekaan secara gratis kepada Indonesia?
Harus diakui bahwa kemerdekaan yang diperoleh Indonesia bukan hasil perjuangan murni warga pribumi. Tapi hadiah Amerika. Minimal secara substansi.
Peran besar bangsa Indonesia dalam kemerdekaan bukan saat mengusir Jepang, tapi saat menahan kembalinya Belanda setelah melihat Jepang kalah. Terjadi perjuangan mempertahankan kemerdekaan, seperti pertempuran 10 Nopember di Surabaya dan lain-lain.
Jadi kemerdekaan Indonesia adalah kombinasi hadiah Amerika dan perjuangan pribumi dalam mempertahankannya.
Pancasila dirumuskan pada fase menikmati kemerdekaan sebagai hadiah Amerika. Sebelum Belanda datang lagi. Pastilah Amerika ikut memberi warna terhadap kelahiran Pancasila. Sebuah hukum alam atau sunnah kauniyah yang bisa dimengerti dengan mudah. Karenanya wajar jika Pancasila kental warna Amerikanya, yakni Liberalisme.
3. Hasil perjuangan mengikuti cara atau jalan perjuangan. Akibat mengikuti sebab.
Pancasila bisa dianggap sebagai hasil perjuangan. Atau buah perjuangan. Pancasila adalah sistem yang digunakan untuk mengikat kemerdekaan yang diperoleh agar tidak kembali ambyar.
Sebagai hasil, ia dipengaruhi usaha. Sebagai akibat ia dipengaruhi sebab. Nabi Muhammad saw bersama para Sahabat menempuh jalan perjuangan dengan visi Islam yang murni. Mereka berdarah-darah dalam melakukannya. Bangsa Quraisy berhasil mereka taklukkan dengan tenaga mereka sendiri – tentu setelah pertolongan Allah – bukan hasil penaklukan orang lain. Karenanya, sistem yang kemudian digunakan untuk mengikat kemerdekaan negara baru adalah Islam murni.
Berbeda dengan Pancasila. Ia lahir di tengah kemerdekaan yang merupakan hadiah Amerika. Meski ada peran para mujahidin, tapi itu dulu zaman Belanda, seperti perang Diponegoro dan lain-lain. Karena itu, hasil perjuangannya tidak bisa diwarnai secara murni dengan warna Islam, sebab kemerdekaan yang dihasilkan bukan hasil usaha umat Islam sendiri. Sebuah sunnatullah kehidupan yang layak direnungkan.
Sunnah kauniyah ini bisa digunakan untuk mengetahui perbedaan kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dengan kemerdekaan Taliban di Afghanistan entah kapan, jika Allah mengizinkan. Mujahidin yang tergabung dalam Taliban, sejak awal memilih garis perjuangan Islam yang murni. Mereka berdarah-darah melawan kekuatan super power dunia. Jika saja Amerika hengkang dari sana, insyaallah sistem pengikat kemerdekaannya adalah Islam murni. Hengkangnya Amerika murni karena perjuangan mujahidin, bukan hadiah dari negara lain yang mengalahkan Amerika. Sesuai hukum sebab akibat yang berlaku secara universal, maka sistemnya bisa dibuat murni Islam.
Seandainya saat itu Quraisy dikalahkan Romawi, lalu Romawi menghadiahkan kepada Nabi, tentu sistemnya mengikuti keinginan Romawi. Sebuah sunnatullah kehidupan yang wajar.
Maka menjadi wajar pula bahwa Amerika ikut menentukan warna sistem pemerintahan Indonesia setelah merdeka. Sebab kemerdekaan itu hakekatnya adalah hadiah mereka kepada bangsa Indonesia – yang mayoritasnya muslim.
Karena itu, pandangan kita terhadap Pancasila adalah pandangan yang adil dan pertengahan. Bahwa Pancasila bukan sistem ideal buat umat Islam, apalagi disebut final dan harga mati. Sebab Pancasila dibuat di tengah hegemoni Amerika, tidak sepenuhnya dibuat dalam hegemoni Allah.
Tapi itu bukan kesalahan para leluhur kita, para tokoh umat Islam yang terlibat menyusunnya. Itu buah situasi dan kondisi, yang menjadi niscaya akan lahir sistem seperti itu. Tidak boleh menyalahkan para tokoh tersebut karena dianggap lebih mengikuti kepentingan Amerika dibanding kepentingan Allah.
Juga bukan sebagai prestasi suci tanpa cacat dari para tokoh Islam tersebut. Sebab bagaimanapun Pancasila bukan sistem yang murni Islam, tapi juga bukan sistem yang memberangus Islam secara total.
Pancasila sebagai sebuah pencapaian, ia menempati posisi di anak tangga nomor dua dari tiga anak tangga. Anak tangga paling bawah adalah Islam dan umat Islam terjajah secara total, seperti di Rohingya dan Uighur. Anak tangga nomor dua adalah Islam dan umat Islam punya kemerdekaan untuk menjalankan agamanya, tapi posisinya sejajar bersama pemeluk agama lain. Sebagai konsekwensinya, hukum pidana Islam tak bisa dilaksanakan. Sementara anak tangga ketiga, adalah saat Islam dan umat Islam memiliki kemerdekaan penuh untuk menjalankan seluruh aspek ajaran Islam tanpa gangguan siapapun. Seperti hasil yang diperoleh Nabi saw di akhir perjuangannya.
Karena itu, Pancasila layak dijaga agar tidak kembali turun menjadi level satu. Tapi juga jangan dikultuskan karena Pancasila bagaimanapun bukan sistem ideal bagi umat Islam. Masih ada PR melekat pada umat Islam untuk naik ke level tiga, sebagaimana pencapaian Nabi saw dan para Sahabat, sebab kita adalah umatnya dan pengikutnya yang harus selalu meneladaninya.
والله أعلم بالصواب
(*/arrahmah.com)