Boleh tidaknya jilbab dikenakan di sekolah-sekolah sedang menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat Irlandia. Perdebatan ini dipicu oleh permintaan seorang kepala sekolah kepada departemen pendidikan Irlandia akan membuat peraturan resmi untuk semua sekolah di negeri itu.
Pro kontra masalah jilbab ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika tidak dibesar-besarkan oleh media setempat. Yang ikut merasakan dampaknya adalah keluarga Liam Egam, karena pro kontra ini berawal ketika anak perempuannya bernama Shukaina Egam ingin mengenakan jilbab ke sekolah.
Keinginan Sukhaina berjilbab tidak mengalami kendala, setelah pihak manajemen sekolah Gorey Community School in Wexford, dekat Dublin mengizinkan Sukhaina mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, seperti kebanyakan sekolah menengah di Irlandia pada saat itu yang membolehkan siswi muslimahnya berjilbab asalkan warnanya sesuai dengan seragam sekolah.
Namun, kepala sekolah Sukhaina malah mempertanyakan tentang izin berjilbab itu ke Departemen Pendidikan dan meminta departemen pendidikan membuat aturan resmi yang berlaku di seluruh sekolah di Irlandia. Departemen Pendidikan Irlandia menyatakan masalah jilbab diserahkan pada kebijakan sekolah masing-masing.
Tapi media massa nasional terus mengekspos masalah jilbab ini. Akibatnya, menurut Liam Egam, sejumlah sekolah melarang jilbab. Sebuah sekolah di Dublin bahkan menyatakan bahwa jilbab merupakan pelanggaran terhadap “etos-etos Katolik” yang menjadi ciri khas negara Irlandia.
Juru bicara kementerian integrasi Irlandia mengaku sudah melakukan konsultasi dengan sekolah-sekolah dan kelompok-kelompok yang berkepentingan di negeri itu terkait masalah ini dan berjanji akan memberikan pernyataan resmi dalam waktu dekat ini.
“Mereka sudah menghasilkan sebuah konsensus dalam masalah jilbab ini. Pernyataan resmi akan dikeluarkan dalam waktu dekat, ” ujarnya.
Liam Egam yang masuk Islam pada usia 28 tahun menyatakan, masalah jilbab ini bukan masalah imigran. “Tapi ini adalah masalah kebebasan untuk menjalankan ibadah agama. Orang-orang mengatakan, kami harus berasimilasi, tapi saya adalah orang asli Wexford, saya lahir di sini sebagai orang Irlandia dan Muslim. Nampaknya kita akan mengikuti Prancis di mana tidak ada toleransi, ” tukas Egam.
Isteri Egam yang kelahiran Inggris menyatakan, ia merasa diancam oleh pemerintah negaranya sendiri, seolah-olah keluarga Egam adalah orang asing yang hidup di Irlandia.
Egam dan isterinya membantu pembentukan kelompok Kampanye Jilbab Irlandia, kelompok yang akan melakukan lobi agar Muslimah di Irlandia bebas mengenakan jilbab di mana saja. “Kami ingin Irlandia mengizinkan, melindungi jilbab sehingga jilbab menjadi bagian dari seragam sekolah, tentu saja setelah berkonsultasi dulu dengan pihak orangtua siswa, ” kata kelompok itu.
Perdebatan jilbab makin panas setelah tokoh-tokoh partai oposisi ikut bersuara. Ruairi Quinn, juru bicara Partai Buruh di Irlandia pada The Independent mengatakan, jika seseorang ingin masuk ke dalam masyarakat Barat yang berbasis pada agama Kristen dan sekularisme, maka orang yang bersangkutan harus mengikuti aturan yang berlaku di negeri itu.
Ia tidak setuju siswi-siswi di sekolah publik, mengenakan jilbab. “Jilbab adalah manifestasi dari keyakinan agama yang tidak bisa diterima. Saya yakin, di sekolah-sekolah umum selayaknya tidak ada siswi yang berjilbab, ” tukasnya. (Hanin Mazaya/Eramuslim))