JENIN (Arrahmah.id) — Gejala perpecahan bangsa Palestina mulai muncul. Hal ini terlihat dari dampak sosial pascaserangan militer Israel ke Kamp Jenin beberapa hari lalu.
Pascaserangan, Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas memutuskan untuk datang ke kamp itu. Namun kunjungannya ditanggapi dengan unjuk rasa ribuan warga Kamp Jenin yang frustasi.
Beberapa terlihat memandang Abbas dengan kecewa, sementara yang lain bertanya di mana pasukan Presiden ketika Israel menyerbu kamp, menewaskan 12 orang, melukai dan menangkap ratusan lainnya. Padahal, seperti dilansir BBC (17/7/2023), pengerahan bersenjata besar-besaran dapat dilakukan ketika mengamankan kunjungan Abbas.
Menurut sejumlah warga, pada hari pertama dan paling mematikan dari invasi Israel ke Jenin, media Israel menyebutkan, 1.000 tentara Israel ikut serta dalam operasi militer tersebut. Namun, tidak ada satu pun tentara Palestina yang melindungi mereka. Tentara yang dibutuhkan justru lebih banyak diterjukan untuk mengamankan lawatan singkat Abbas ke Jenin.
Media Middle East Monitor menuliskan kunjungan Abbas ke Kamp Jenin semata-mata dilakukan untuk meyakinkan Israel bahwa otoritasnya siap untuk mengamankan wilayah itu. Pihaknya bahkan bersedia untuk berbenturan dengan warga Palestina yang menolak untuk mengikuti aturan yang ditetapkan Israel.
“Akan ada satu Otoritas dan satu pasukan keamanan. Siapa pun yang berusaha merusak persatuan dan keamanannya akan menghadapi konsekuensinya,” tambah Abbas saat mengunjungi kamp itu pada 12 Juli lalu.
Abbas tahu, orang Palestina langsung membenci dia dan otoritasnya. Beberapa hari sebelumnya, Wakil Ketua partai Fatah Mahmoud Aloul, diusir dari Jenin oleh massa yang marah.
Meski begitu, Abbas tetap melakukan kunjungan ke kamp itu. Semua ini terjadi melalui pengaturan logistik dengan militer Israel.
Netanyahu ingin Otoritas Palestina (PA) bertahan hanya karena ia tidak ingin pemerintah dan militer Israel bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan warga Palestina di Tepi Barat dan keamanan para pemukim Yahudi di wilayah itu. Ini merupakan cara mensukseskan Kesepakatan Oslo, di mana Tel Aviv memberi kekuatan bagi Palestina untuk memuluskan upaya pendudukannya.
Meski begitu, posisi PA saat ini dilihat sebagai penghalang dalam menghadapi persatuan penuh di tengah warga Palestina. Sementara Israel meningkatkan operasi mematikannya di Jenin dan Nablus, polisi PA justru ikut menangkap aktivis Palestina, membuat marah Kelompok Perlawanan di Tepi Barat dan Gaza.
Selain itu, PA juga diguncang isu politik faksi dan korupsi. Ini kemudian menambah rasa ketidakpercayaan warga Palestina dalam menghadapi pendudukan Israel di wilayahnya.
Jika ini terus berlanjut, perang saudara di Tepi Barat adalah kemungkinan nyata, terutama karena calon penerus Abbas sama-sama tidak dipercaya. Orang-orang ini juga berada di Jenin, berdiri bahu-membahu di belakang Abbas saat ia mendapatkan sambutan kekecewaan.
Kali ini, orang Palestina sepertinya tidak akan mendengarkan Abbas. Untuk Kelompok Perlawanan, taruhannya terlalu tinggi untuk mundur sekarang sementara bagi PA, kehilangan Tepi Barat berarti kehilangan miliaran dolar bantuan keuangan Barat.
Dengan situasi ini, konflik antara Kelompok Perlawanan dengan PA sangat mungkin untuk terjadi. Bila terjadi, konflik keduanya akan sangat merugikan rakyat Palestina.
“Namun, bagi Tel Aviv, ini sama-sama menguntungkan. Inilah mengapa Netanyahu sangat ingin membantu Abbas mempertahankan pekerjaannya, setidaknya cukup lama untuk memastikan bahwa transisi pasca-Abbas berjalan dengan efisien,” tulis jurnalis senior Palestina, Dr Ramzy Baroud. (hanoum/arrahmah.id)