Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Islam Ideologis
Seratus hari telah berlalu pasca-badai Al-Aqsha, warga Palestina terus-menerus berada dalam suasana duka dan kengerian yang tiada terperi. Seratus hari sudah pula kekejaman penjajahan dan genosida kian jauh dari perikemanusiaan, dilakukan entitas Yahudi dengan nafsunya mengangkangi Palestina yang sebelumnya berdaulat. Nyatanya tidak ada indikasi penjajahan berakhir. Dunia pun tak bisa berbuat banyak dengan setiap inci kezaliman yang ditorehkan Israel di Gaza.
Tribunpriangan.com (14/01/2024) melansir hingga hari ke-100 genosida di Gaza telah menewaskan 23.843 warga Palestina dan sedikitnya 60.317 lainnya terluka. Serangkaian protes atas kezaliman yang tampak secara telanjang di setiap penjuru dunia terus disuarakan. Bahkan PBB pun mengakui betapa pendudukan di Gaza telah menodai kemanusiaan ketika hampir hari ke-100 Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu masih sesumbar bahwa ia tengah menggandakan sumpahnya dalam mengalahkan Hamas.
Aksi Biadab
Sungguh kebiadaban yang dilakukan entitas Yahudi terhadap Palestina demikian telanjang tampak oleh mata dunia. Siapapun yang membawa nuraninya tidak akan berbeda memaknainya.
Kekejian mereka diperlihatkan dengan membabi-butanya serangan demi serangan yang diarahkan pada ruang-ruang publik di Gaza. Mulai dari wilayah pengungsian, rumah sakit, hingga sekolah. Target serangan pun tak hanya ditujukan pada sesama militer yang menyandang senjata, melainkan kepada warga sipil bahkan perempuan, anak-anak, hingga tim medis dan jurnalis. Padahal mereka adalah golongan yang bahkan dalam hukum internasional pun terlarang untuk dijadikan target serangan dalam peperangan.
Organisasi internasional Wartawan Tanpa Batas (Reportes Sans Frontieres/RSF) bahkan sudah melaporkan aduan atas kejahatan perang Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Hal itu berupa terjadinya kejahatan terhadap para jurnalis. (Republika, 10/1/2024)
Meski demikian, Yahudi Israel masih demikian picik ketika terus berlindung di balik alasan bahwa serangan biadab mereka dalam rangka mempertahankan diri dari serangan Hamas pada 7 Oktober lalu. Padahal semua mata dunia jelas melihat sejarah konflik Israel Palestina adalah penjajahan yang sudah berlaku sejak puluhan tahun lalu. Terkhusus Jalur Gaza, telah lama menjadi penjara terbuka bagi warganya, dikarenakan blokade tanpa nurani dengan memerangkap mereka di antara Mesir, Israel, dan Laut Mediterania.
Terdapat bukti lain betapa entitas Yahudi menjadikan Gaza sebagai zona pembantaian dan genosida tak pernah henti sedari puluhan tahun lalu. CNN mengabarkan dari laporan UNRWA pada Agustus 2023, bahwa setidaknya selama satu setengah dekade terakhir Gaza mengalami kondisi sosial ekonomi yang kian memburuk. Dan itu disebabkan isolasi yang diberlakukan militer Israel. Masyarakat Gaza pun telah lama hidup dalam kemiskinan, ditindas, tidak diberikan akses pada kebutuhan vital seperti air bersih, bahkan minyak dan gas yang beberapa waktu belakangan diketahui mengalir dalam perut bumi Gaza. Maka sekali lagi diungkapkan betapa kebohongan besar, jika kebiadaban Israel hari ini adalah sebagai aksi perlawanan atas serangan 7 Oktober. Nyatanya warga Gaza dalam hal ini Hamas ketika itu dalam posisi sedang menuntut keadilan karena masyarakat muslim di sana telah lama dizalimi dan dijajah oleh Yahudi Israel.
Palestina Butuh Tentara Kaum Muslimin
Beragam upaya pun telah dilakukan oleh masyarakat dunia, tak terkecuali umat Islam. Demo protes atas kekejaman penjajahan Israel menggema di setiap penjuru dunia. Umat Islam di berbagai negara pun tak henti melakukan beragam upaya. Mulai dari pengiriman bantuan logistik makanan dan obat-obatan, boikot atas produk-produk yang disinyalir mendukung gerakan zionisme Yahudi, bahkan pasukan julid fisabilillah yang demikian fenomenal beberapa waktu lalu menjadi bukti betapa umat tak rida saudara sesama muslim mereka dibantai demikian kejinya oleh kaum Yahudi.
Namun betapa disayangkan, negeri-negeri muslim khususnya para penguasanya tidak ada satu pun yang berusaha menurunkan detasemen militernya untuk mengusir penjajah Yahudi. Padahal sungguh kejahatan militer sudah semestinya diselesaikan dengan penerjunan aksi militer juga. Dimana tentunya hal demikian hanya bisa dilakukan oleh institusi negara berdaulat, terkhusus negeri-negeri muslim. Itu karena Palestina bukan sekadar butuh kecaman dan perjanjian-perjanjian untuk penghentian perang dari para penguasa negeri muslim. Palestina juga butuh bantuan militer.
Sekat Nasionalisme
Betapa disayangkan, sekat nasionalisme telah mengerangkeng kehendak dari penguasa negeri muslim untuk memberangkatkan tentaranya membantu Palestina. Karena Nasionalisme adalah paham yang mengotak-kotakkan tiap negara dengan batas yang sangat kecil agar hanya memikirkan nasib masing-masing tanpa perlu repot menolong bangsa lain.
Apabila dirunut dalam sejarah, betapa sekat nasionalisme ini mulai menjerat benak umat muslim sejak institusi negara penerap syariat Islam kafah dihancurkan. Tepatnya tahun 1924, institusi resmi berupa kesatuan negeri muslim seluruh dunia digantikan menjadi negara-negara bangsa yang dimerdekakan oleh para penjajah.
Terlebih di saat paham kapitalisme yang membawa misi penjajahan baik fisik terlebih ekonomi, budaya, dan lainnya terus merangsek ke setiap celah negeri muslim. Benak umat pun kian tercekoki oleh beragam pemikiran kufur yang kian melemahkan umat. Dengan asas sekularisme, pemikiran umat kian teracuni bahwa agama tak semestinya dibawa dalam ranah berkehidupan. Maka ketika agama menyeru persatuan umat untuk mengusir setiap bentuk penjajahan di segenap jengkal tanah negeri muslim, umat sungguh tak berdaya menyambutnya.
Butuh Pergerakan Umat
Kekuatan umat sebenarnya ada pada ajarannya yang menyeluruh. Ketika ajaran Islam dianut dan diberlakukan secara sempurna niscaya akan diraih kemuliaan dan kemerdekaan hakiki. Dan kesempurnaan pemberlakuan Islam hanya bisa diterapkan oleh institusi yang diwariskan oleh Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yakni Khilafah.
Di saat umat disakiti, tanah dan hartanya dirampas, keberadaan mereka diusir, maka seorang khalifah akan menjadi tameng bagi umat. Tameng dalam membela umat, untuk mengenyahkan penjajah. Sebagaimana salah satu sabda Nabi saw.,
“Sesungguhnya Al-Imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih, dll.)
Maka jika dalam sistem kapitalisme sekuler, dengan sekat nasionalismenya para penguasa muslim mandul dalam menerjunkan angkatan militernya, tidak demikian dengan khalifah. Sungguh Palestina butuh militer dari institusi Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Wallahua’lam bissawab.