ALEPPO (Arrahmah.id) – Komite Palang Merah Internasional (ICRC) telah memperingatkan bahwa Suriah akan menghadapi wabah penyakit berbahaya sebagai akibat dari gempa dahsyat yang melanda negara itu dan negara tetangga Turki, pada 6 Februari.
Jagan Chapagain, Sekretaris Jenderal ICRC, mengatakan ribuan pengungsi Suriah berisiko terkena sejumlah penyakit jika mereka tetap kehilangan tempat tinggal dan tinggal di akomodasi darurat.
Chapagain berbicara setelah kunjungan ke Aleppo, yang merupakan salah satu kota terparah di negara itu, menyusul gempa berkekuatan 7,8 SR pekan lalu.
Aleppo telah menderita serangan udara dan pengepungan selama bertahun-tahun di bawah rezim Asad.
Setidaknya sepertiga bangunannya rusak atau hancur akibat perang saudara, menurut laporan Bank Dunia pada 2017.
Sekretaris Jenderal mengatakan bahwa korban gempa Suriah masih hidup “dalam kondisi yang sangat mendasar di ruang sekolah yang sangat dingin”, dalam sebuah wawancara dengan The Associated Press, menambahkan bahwa solusi permanen diperlukan untuk keluarga di tempat penampungan sementara tanpa pemanasan yang memadai.
Dia juga memperingatkan bahwa penduduk Aleppo dapat rentan terhadap wabah kolera lainnya, karena dampak gempa terhadap akses perumahan, air bersih dan bahan bakar, di antara kebutuhan dasar lainnya.
Kota terbesar kedua di Suriah itu mengalami wabah penyakit besar pada akhir 2022, menewaskan puluhan orang dan menginfeksi ratusan lainnya. Saat itu, koordinator kemanusiaan PBB di Suriah mengatakan penyebaran penyakit itu dapat “mengancam seluruh wilayah”.
Kolera umumnya tertular dari makanan atau air yang terkontaminasi dan menyebar di daerah permukiman yang tidak memiliki jaringan saluran pembuangan yang memadai.
Pada 2019, ribuan pengungsi Suriah di Idlib terjangkit Leishmaniasis, penyakit tropis yang disebarkan oleh gigitan lalat pasir yang dapat menyebabkan tukak kulit dan pembesaran hati dan limpa, di antara gejala berbahaya lainnya.
Kondisi tidak sehat dan bantuan kemanusiaan yang tidak memadai juga mengakibatkan wabah campak dan tuberkulosis di Suriah utara.
Lebih lanjut Chapagain menambahkan bahwa gempa tersebut telah merusak kesehatan mental warga Suriah, yang sudah menghadapi kemiskinan dan konflik.
“Jika konflik telah mematahkan punggung mereka, saya kira gempa ini mematahkan semangat mereka sekarang,” ujarnya.
Diperkirakan 43.000 orang tewas setelah gempa pekan lalu, dengan hampir 5.800 di Suriah. Sebagian besar dari mereka yang tewas berada di wilayah barat laut yang dikuasai pemberontak.
Ribuan lainnya telah mengungsi, banyak yang pergi ke daerah pedesaan, kata Chapagain, menekankan bahwa “membangun kembali infrastruktur negara” harus menjadi prioritas untuk mencegah tunawisma massal. (zarahamala/arrahmah.id)