DHAKA (Arrahmah.com) – Palang Merah internasional mengatakan pada Selasa (3/7/2018) bahwa bantuan kemanusiaan saja tidak akan menyelesaikan krisis pengungsi Rohingya dan solusi politik yang inklusif diperlukan untuk 700.000 orang yang melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan yang menargetkan mereka.
PBB mengatakan tindakan keras militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya Agustus lalu sebagai pembalasan atas serangan pemberontak adalah “pembersihan etnis”. Myanmar dan Bangladesh telah menandatangani perjanjian untuk memulangkan pengungsi, tetapi penerapannya tidak pasti karena alasan keamanan, verifikasi, dan lainnya.
Peter Maurer, presiden Komite Palang Merah Internasional, mengunjungi negara bagian Rakhine Myanmar, tempat para pengungsi pernah tinggal, serta kamp-kamp tempat mereka tinggal sekarang di distrik Cox’s Bazar di Bangladesh. Dia mengatakan orang-orang di kedua tempat itu mengalami penderitaan yang sangat berat.
“Saya bertemu dengan mereka yang tinggal dan mereka yang pergi, dan jelas bahwa orang-orang ini menderita di kedua sisi,” kata Maurer. “Orang-orang tidak memiliki tempat bernaung, tidak memiliki akses untuk memperoleh listrik, kebersihan, obat-obatan dan perawatan kesehatan yang aman. Hanya ada sedikit pilihan bagi mereka untuk mendapatkan penghasilan agar mereka bisa bergerak melampaui bantuan dan kondisi darurat.”
Maurer juga mengatakan syarat-syarat untuk repatriasi sangat sulit.
“Persyaratnya sangat tidak mampu dipenuhi bagi sejumlah besar orang untuk kembali ke rumah mereka,” katanya.
Rohingya telah menghadapi diskriminasi sistematis selama beberapa generasi di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha. Maurer mengatakan kembalinya mereka akan membutuhkan “langkah-langkah untuk memastikan kebebasan bergerak, akses menuju layanan dasar, kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan akses ke pasar di Rakhine, dan yang paling penting kepercayaan dalam pengaturan keamanan bagi mereka yang kembali”.
Dia mengatakan bahwa ketika dia berada di Myanmar, dia bertemu Muslim, Buddha dan Hindu, yang menggambarkan “bagaimana struktur sosial dan ekonomi lokal telah hancur, membuat orang sepenuhnya bergantung pada bantuan kemanusiaan”.
“Di satu desa yang saya kunjungi, kurang dari seperempat populasi tersisa, hanya 2.000 dari 9.000 penduduk asli,” kata Maurer.
Di kamp-kamp di Bangladesh, lebih dari satu juta orang hidup sengsara, katanya. (Althaf/arrahmah.com)