ISLAMABAD (Arrahmah.com) – Para pemain politik di Afghanistan harus mengesampingkan “kepentingan pribadi” mereka dalam memajukan proses perdamaian negara itu, kata menteri luar negeri Pakistan, sebelum memperingatkan Amerika Serikat tentang “perusak” yang dapat menggagalkan perjanjian penting yang ditandatangani sehari sebelumnya untuk membawa perdamaian ke negara.
Berbicara kepada pers di ibukota Pakistan, Islamabad, pada hari Minggu (1/3/2020), sehari setelah menghadiri upacara penandatanganan perjanjian yang bertujuan untuk mengakhiri perang 18 tahun AS di negara tetangga Afghanistan, Shah Mehmood Qureshi mengatakan pembicaraan intra-Afghanistan harus dimulai dengan cepat.
“Orang-orang menginginkan perdamaian. Sekarang saatnya untuk melihat apa yang dilakukan kepemimpinan [Afghanistan],” katanya. “Apakah mereka memprioritaskan kepentingan Afghanistan, atau mereka memberikan kepentingan pribadi mereka sebagai prioritas? Ini adalah keputusan yang sangat besar.”
Perjanjian AS-Taliban mengungkapkan pembicaraan antara pemerintah Afghanistan dan Taliban harus dimulai pada 10 Maret.
Perjanjian yang ditandatangani pada hari Sabtu (29/2) di ibukota Qatar, Doha, menciptakan kerangka kerja bagi AS dan NATO untuk menarik semua pasukan asing dari Afghanistan selama 14 bulan, sambil menunggu pertemuan kriteria tertentu.
Salah satu persyaratannya – pembebasan lebih dari 5.000 tahanan Taliban Afghanistan dalam tahanan pemerintah – telah dinilai menciptakan hambatan potensial bagi perjanjian tersebut. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengesampingkan langkah itu.
Menurut Qureshi, dia telah memberi tahu Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang juga hadir pada penandatanganan perjanjian di Doha, bahwa AS harus waspada terhadap “spoiler” yang dapat menggagalkan proses tersebut.
“Kita tidak bisa menyangkal hal ini. Penghasut selalu ada, sebagaimana perusak,” kata Qureshi tanpa menjelaskan sifat dugaan “spoiler”.
“Di Afghanistan dan di luar. Jadi anda semua harus mengawasi para perusak itu.”
Pakistan telah memfasilitasi pembicaraan langsung antara Amerika Serikat dan Taliban Afghanistan sejak mereka mulai pada tahun 2018, setelah lama dituduh oleh AS dan pemerintah Afghanistan memberikan tempat perlindungan yang aman bagi para pemimpin Taliban Afghanistan.
Pakistan membantah tuduhan itu.
Pada 2016, AS membunuh pemimpin Taliban Afghanistan saat itu, Mullah Akhtar Mansoor, dalam serangan pesawat tak berawak di provinsi Balochistan, Pakistan barat daya.
“Ada perasaan di Pakistan bahwa perjanjian AS-Taliban telah membenarkan sikap lama Pakistan, sejak konferensi Bonn [pada 2001], bahwa tidak ada solusi militer untuk konflik dan bahwa Taliban adalah realitas politik di Afghanistan,” tutur Hassan Akbar, seorang analis kebijakan luar negeri dan keamanan yang berbasis di Islamabad.
Akbar mengatakan “spoiler” yang disebut oleh menteri luar negeri bisa menjadi “aktor non-negara seperti [yang disebut] Negara Islam Irak dan Levant (ISIL, atau ISIS), al-Qaeda dan Tehreek-e-Taliban Pakistan , yang tidak ingin melihat konflik berakhir “juga” aktor dalam Afghanistan yang mendapat manfaat dari ekonomi perang”.
“Afghanistan, dan apa yang terjadi di sana, memiliki dampak langsung pada keamanan Pakistan,” kata Akbar.
“Afghanistan dan Pakistan memiliki sejarah panjang hubungan bilateral, bukan hanya karena ikatan etnis dan sejarah bersama, tetapi juga karena eksternalitas konflik di Afghanistan yang berdampak pada Pakistan.” (Althaf/arrahmah.com)