JAKARTA (Arrahmah.com) – Pakar ‘terorisme’ dari The International Crisis Group (ICG), Sidney Jones, mengungkapkan bahwa bagaimana kelompok ‘ekstrimis’ Indonesia membentuk kelompok-kelompok baru.
Hampir sepuluh tahun setelah kasus bom bali kelompok jihad di Indonesia semakin menjadi sorotan dunia, dikira telah melemah ternyata semakin berkembang. Sidney Jones menyatakan dalam sebuah artikelnya yang berjudul “How Indonesian Extremists Regroup” yang dipublikasikan di situs resminya pada 16 Juli 2012, bahwa orang-orang dari kelompok ‘ekstrimis’ lama bangkit dan membentuk kelompok baru dengan berbagai cara.
“Menghadapi tekanan yang kuat dari polisi, mereka menemukan cara-cara untuk membentuk kelompok baru saat dalam pelarian, penjara dan lewat forum-forum internet, kamp pelatihan militer dan perkawinan. Dalam banyak kasus, individu-individu yang sama terus muncul kembali dengan menggunakan jaringan-jaringan lama untuk membentuk aliansi baru,” tulis Jones dalam artikel tersebut.
Jones juga menganggap bahwa meskipun belakangan ini tidak ada operasi signifikan dari kelompok jihad, namun bukan berarti ‘ancaman’ telah hilang. Jones mengklaim bahwa ada beberapa dari kelompok jihad yang semakin canggih dalam merekrut dan menggalang dana.
“Ada tanda-tanda bahwa paling sedikit beberapa diantara mereka sedang belajar dari kegagalan dan menjadi lebih canggih dalam perekrutan dan penggalangan dana.”
Jones juga mengklaim bahwa banyak kelompok ‘ekstrimis’ yang aktif saat ini memiliki hubungan dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang dibentuk oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir (semoga Allah menjaganya).
“Banyak dari kelompok-kelompok jihadi yang beroperasi saat ini punya hubungan dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sebuah kelompok yang dibentuk oleh Abu Bakar Ba’asyir pada tahun 2008, yang telah menggantikan Jemaah Islamiyah (JI) sebagai organisasi jihad paling besar dan aktif di Indonesia.”
Selain itu Jones juga mengakui bahwa para jihadi saat ini lebih cerdas jika dilihat dari materi-materi yang diposting di situs-situs ‘radikal’ dan nampak lebih berhati-hati setelah mengambil pelajaran penting dari penangkapan di Aceh, serta menyadari sejauh mana kelompok mereka disusupi oleh musuh dari jajaran intelijen RI sehingga mereka lebih waspada.
“Materi-materi yang di-posting di situs-situs radikal memperlihatkan bahwa para ekstrimis yang lebih berpendidikan telah dapat pelajaran dan pengalaman penting di Aceh, terutama mereka sadar sejauh mana kelompok mereka telah disusupi oleh “musuh” (negara RI, terutama polisi). Kesimpulannya: mereka harus jauh lebih hati-hati dalam menyaring anggota-anggota mereka, melindungi komunikasi dan menjaga rahasia. Kalau para ekstrimis benar-benar mengikuti pelajaran ini, maka tugas polisi akan menjadi lebih sulit.”
Menyadari semua itu, ICG mengajukan rekomendasi kepada pemerintah RI untuk meningkatkan upaya-upaya untuk mengcounter kelompok-kelompok jihadi dan ideologi ‘ekstrim’ yang terus berkembang.
Beberapa poin inti yang diajukan ICG diantaranya:
- Merancang sebuah studi untuk mengkaji jaringan-jaringan yang dipakai oleh para ‘ekstrimis’ untuk mendapat tempat berlindung ketika mereka diburu oleh polisi atau tempat mereka tinggal sudah tidak aman lagi.
- Merancang sebuah program yang ditujukan untuk mengurangi pengaruh para ustadz ‘ekstrimis’.
- Memperkuat kapasitas dalam Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menganalisa perdebatan ideologi dalam jaringan ‘radikal’ untuk mencari petunjuk mengenai perubahan target atau taktik.
- Mengembangkan prosedur-prosedur untuk memperbaiki information sharing(berbagi informasi) antara BNPT, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (DitjenPas) Kementerian Hukum dan HAM, Polri, dan kejaksaan mengenai jaringan para ‘ekstrimis’ dan individu di kalangan tersebut, dengan tujuan institusi-institusi ini memperoleh pemahaman yang lebih baik tidak saja mengenai latarbelakang napi secara individu tapi juga konteks dimana mereka beroperasi.
- Mempercepat upaya-upaya untuk menerapkan sebuah sistem dibawah DitjenPas untuk mengidentifikasi dan memantau para napi ‘high-risk’ (beresiko tinggi), baik ketika dalam penjara maupun setelah bebas.
- Meningkatkan kemampuan analisa staf-staf DitjenPas sehingga sistem data yang saat ini beroperasi bisa digunakan untuk memperbaiki pengawasan, serta penganggaran dan perencanaan.
- Merancang dan mengimplementasikan sebuah kebijakan ‘zero-tolerance’ (tidak ada tolerasnsi) terhadap kekerasan yang bermotif keagamaan, termasuk hukuman maksimum terhadap vandalisme, penyerangan dan ancaman kekerasan, dengan instruksi yang jelas kepada seluruh pegawai pemerintah, termasuk polisi, untuk menghindari interaksi dengan kelompok-kelompok atau anggota kelompok-kelompok yang sudah diketahui pernah melakukan aktivitas seperti ini.
- Mengimplementasikan penilaian paska-operasi yang lebih serius di dalam Polri untuk mengkaji apa yang sebaiknya dilakukan secara berbeda, khususnya ketika penggunaan senjata telah menyebabkan korban luka atau tewas, dan meningkatkan latihan dalam mempelajari opsi-opsi non-lethal (menggunakan kekuatan yang tidak mematikan).
- Menutup kelemahan dalam keamanan di bandara yang memungkinkan penumpang dengan mudah memberi identifikasi palsu tanpa takut ketahuan.
- Medayagunakan keahlian cendekiawan muda Indonesia dengan lebih sistematik dalam mengembangkan kebijakan dalam upaya ‘counter-ekstrimisme’.
ICG adalah sebuah organisasi sokongan Barat yang terfokus pada isu-isu ‘terorisme’ yang misinya ‘mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya’ melalui analisis berdasar-medan dan advokasi tingkat-tinggi. ICG berada di Indonesia sejak 2000, menjelang deklarasi ‘war on terrorism’ Presiden Amerika Serikat (AS) pada September 2001. ICG sering memojokkan umat Islam dengan isu-isu ‘terorisme’ dan memprovokasi pemerintah RI untuk lebih memperketat kelompok-kelompok Islam yang mereka anggap sebagai ‘ekstrimis’.
Memang, sudah sunnatullah bahwa orang-orang kafir akan senantiasa berusaha untuk memadamkan cahaya Allah dengan berbagai cara, sebagaimana Allah berfirman: “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (9: 32).
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak pernah senang terhadap kaum Muslimin sehingga akan terus berusaha untuk menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah. Meski demikian, bagi umat Islam yang yakin pada Allah tidak pernah gentar menghadapi makar musuh-musuh Islam, dan yakin bahwa “Seandainya seluruh manusia berkumpul untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan bisa memberikannya kecuali sekadar apa yang telah Allah tetapkan atasmu, dan seandainya seluruh manusia berkumpul untuk mencelakakanmu, mereka tidak akan bisa mencelakakanmu kecuali sekadar apa yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan lembaran telah mengering.” (HR. Tirmidzi 244)
(siraaj/arrahmah.com)