WASHINGTON (Arrahmah.id) – Meskipun Gedung Putih menyatakan bahwa ‘Israel’ “belum” melancarkan operasi militer skala penuh di Rafah, analisis rekaman video dan tinjauan oleh para ahli senjata peledak dilaporkan mengungkapkan bahwa amunisi yang diproduksi di AS digunakan dalam serangan udara ‘Israel’ yang mematikan di sebuah kamp pengungsian di Rafah pada Ahad (26/5/2024).
Setidaknya 45 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, syahid dalam serangan udara yang menyebabkan kebakaran yang melanda kamp tersebut. Banyak di antara mereka yang dibakar hidup-hidup, dan rekaman yang dibagikan di media sosial menunjukkan seorang bayi yang kepalanya terpenggal dalam serangan tersebut. Hampir 250 warga Palestina terluka dalam serangan itu.
⚠️ GRAPHIC CONTENT⚠️ New scenes from the Rafah massacre :
⚡️ A child without a head as a result of the occupation’s massacre of displaced people west of the city of #Rafah
⚡️ The screams of women, martyrs and fires everywhere…
New scenes from the occupation massacre in… https://t.co/uoQwuIRST5 pic.twitter.com/42k8Q1ngQO
— Middle East Observer (@ME_Observer_) May 26, 2024
Pada konferensi pers pada Senin (27/5), juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengatakan pemerintah “menekan” pemerintah ‘Israel’ untuk menyelidiki serangan tersebut.
“Kami telah melihat, seperti yang saya katakan, penyelidikan awal yang diklaim ‘Israel’ yang mengatakan bahwa mereka menggunakan bom terkecil yang mereka miliki untuk mengejar sasaran yang sangat tepat. Ini bukanlah bom seberat 500 pon atau bom seberat 2.000 pon. Saya kira itu seperti 37 kilogram atau 37 pon,” katanya. “Senjata yang jauh lebih kecil dirancang untuk menyerang satu lokasi yang berjarak 1,7 kilometer dari daerah Mawasi di mana mereka telah memerintahkan warga sipil untuk pindah.”
Miller berkata, “Ketika menyangkut kebijakan kami, kami telah menegaskan bahwa kami menentang operasi militer skala penuh, dan – ada konsekuensi dari kebijakan kami jika mereka melancarkan operasi semacam itu di Rafah. Kami belum melihat mereka melakukan hal itu.”
Risiko di Daerah Padat Penduduk
Sementara itu, analisis CNN terhadap video dari lokasi kejadian dan tinjauan oleh para ahli senjata peledak menemukan bahwa “amunisi yang dibuat di Amerika Serikat digunakan dalam serangan mematikan ‘Israel’ terhadap kamp pengungsi di Rafah pada Ahad.”
CNN mengatakan, pihaknya melakukan geolokasi video yang menunjukkan tenda-tenda terbakar setelah serangan terhadap kamp pengungsi internal yang dikenal sebagai ‘Kamp Perdamaian Kuwait 1’ tersebut.
“Dalam video yang dibagikan di media sosial, yang mana CNN melakukan geolokasi ke tempat kejadian yang sama dengan mencocokkan detail termasuk tanda pintu masuk kamp dan ubin di tanah, terlihat ekor bom berdiameter kecil (SDB) GBU-39 buatan AS,” kata laporan itu, mengutip empat ahli senjata peledak yang meninjau video tersebut untuk CNN.
Laporan tersebut mengatakan bahwa menurut pakar senjata peledak Chris Cobb-Smith, GBU-39, yang diproduksi Boeing, “adalah amunisi berpresisi tinggi ‘yang dirancang untuk menyerang sasaran-sasaran penting yang strategis,’ dan menghasilkan kerusakan tambahan yang rendah.”
Namun, kata Cobb-Smith “menggunakan amunisi apa pun, bahkan sebesar ini, akan selalu menimbulkan risiko di wilayah padat penduduk.” Ahli senjata tersebut juga merupakan mantan perwira artileri Angkatan Darat Inggris.
Bagian Hulu ledaknya Berbeda
Trevor Ball, mantan anggota tim senior penjinak persenjataan peledak Angkatan Darat AS juga mengidentifikasi pecahan itu berasal dari GBU-39, kata CNN.
“Bagian hulu ledak (amunisi) berbeda, dan bagian pemandu serta sayapnya sangat unik dibandingkan dengan amunisi lainnya,” kata Ball. “Bagian pemandu dan sayap amunisi seringkali merupakan sisa-sisa yang tersisa bahkan setelah amunisi meledak. Saya melihat bagian penggerak ekor dan langsung mengetahui bahwa itu adalah salah satu varian SDB/GBU-39.”
Ball, kata CNN, “juga menyimpulkan bahwa meskipun ada varian GBU-39 yang dikenal sebagai Focused Lethality Munition (FLM) yang memiliki daya ledak lebih besar namun dirancang untuk menimbulkan kerusakan tambahan yang lebih kecil, ini bukanlah varian yang digunakan pada kasus ini.”
“FLM memiliki badan hulu ledak komposit serat karbon dan diisi dengan tungsten yang digiling menjadi bubuk. Foto pengujian FLM menunjukkan objek dalam pengujian dilapisi debu tungsten, yang tidak ada [dalam video dari tempat kejadian],” katanya kepada CNN.
Pabrikan ‘Berbasis di California’
Laporan tersebut mengatakan, “Nomor seri sisa amunisi juga cocok dengan nomor seri produsen suku cadang GBU-39 yang berbasis di California – menunjukkan lebih banyak bukti bahwa bom tersebut dibuat di AS.”
Saluran tersebut berbicara dengan dua pakar senjata peledak lainnya – Richard Weir, peneliti senior krisis dan konflik di Human Rights Watch, dan Chris Lincoln-Jones, mantan perwira artileri dan ahli senjata serta penargetan Angkatan Darat Inggris. Kedua ahli tersebut “mengidentifikasi pecahan tersebut sebagai bagian dari GBU-39 buatan AS ketika meninjau video tersebut untuk CNN, meskipun mereka tidak dapat mengomentari varian yang digunakan.”
Aksi Protes di Gedung Putih
Pada Selasa (28/5), ratusan pengunjuk rasa berkumpul di depan Gedung Putih di ibu kota AS untuk memprotes serangan ‘Israel’ pada Ahad (26/5), menyerukan pemerintah AS untuk mengakhiri pendanaan perang ‘Israel’ di Gaza.
Protes tersebut didukung oleh beberapa kelompok pro-Palestina termasuk Gerakan Pemuda Palestina, Partai Sosialisme dan Pembebasan dan Maryland untuk Palestina, menurut Anadolu.
Para pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan “Free Palestine,” “End All US Funding of Israeli Apartheid,” “All Eyes on Rafah” dan “Stop This Slaughter.”
Para pengunjuk rasa meneriakkan “Stop bombing Rafah now” and “End the occupation now.” (zarahamala/arrahmah.id)