NEW YORK (Arrahmah.id) — Pakar Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) menduga Cina melakukan praktik perbudakan terhadap warga muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.
Berdasarkan laporan pakar PBB di bidang perbudakan modern Tomoya Obokata yang melakukan wawancara dengan LSM, NGO, dan para korban di Xinjiang, lanisr France24 (17/8/2022), ia memastikan sejumlah praktik kerja paksa dilakukan pada sejumlah sektor seperti pertanian dan manufaktur.
Salah satu cara dalam melangsungkan praktik kejahatan kemanusiaan itu adalah menjalankan pusat pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja di mana para korban ditahan hingga ditempatkan kerja.
Sementara itu, para tahanan lain akan dilibatkan dalam transfer tenaga kerja dengan dalih mengentaskan kemiskinan, yang mana para pekerja itu akan ditempatkan pada sektor “pekerjaan sekunder atau tersier.”
“Meskipun program-program ini dapat menciptakan lapangan kerja bagi minoritas dan meningkatkan pendapatan mereka. Laporan khusus ini menganggap ada indikator kerja paksa yang merujuk pada unsur keterpaksaan dari para komunitas terdampak dan ada dalam berbagai kasus,” tulis laporan tersebut seperti diberitakan oleh AFP (17/8).
“Sikap dan tingkat kekuasaan yang dilimpahkan terhadap para pekerja — termasuk pengawasan berlebihan dan kondisi hidup serta pekerjaan yang kejam — dapat dinilai sama dengan perbudakan sebagai bentuk kejahatan atas kemanusiaan, sehingga ini memerlukan analisis independen lebih lanjut,” imbuh laporan resmi itu.
Perhatian dunia terhadap praktik kerja paksa dan perbudakan yang terjadi di Xinjiang ini telah bergulir dalam waktu yang cukup lama.
Pada 2018 lalu, laporan kelompok pemerhati HAM dunia ramai-ramai menuding Cina menempatkan setidaknya 1 juta warga Uighur dalam kamp penahanan yang dinilai seperti kamp konsentrasi.
Di kamp tersebut, pemerintah Cina dituduh mendoktrin para etnis Uighur soal Partai Komunis dan sosialis di Cina. Mereka juga dilarang melakukan aktivitas agama.
Cina telah lama mengklaim bahwa praktik yang terjadi di Xinjiang adalah program yang dirancang untuk melawan ekstremisme.
“Penampungan” itu didirikan sebagai “pusat pelatihan pendidikan vokasi lengkap dengan asrama di mana orang dapat “secara sukarela” memeriksakan diri untuk belajar tentang hukum, bahasa Cina, dan keterampilan kejuruan.
Bulan lalu, Presiden Xi Jinping sempat mengunjungi wilayah itu dan memuji “kemajuan besar” atas program dan pembangunan tersebut.
Sebelumnya pada Mei lalu, Komisioner Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet melakukan perjalanan selama enam hari di kota-kota di provinsi Xinjiang.
Kunjungan Bachelet ke Xinjiang tidak lain adalah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah pusat Cina terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang.
AFP melaporkan perjalanan Bachelet tersebut pada akhirnya dikritik oleh AS dan banyak pihak pembela HAM karena kurangnya ketegasan terhadap Beijing.
Para ahli menilai perjalanan Bachelet lebih bersifat diplomatis dan tidak memprioritaskan kemenangan hak asasi manusia. (hanoum/arrahmah.id)