JAKARTA (Arrahmah.com) – Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan tidak perlu adanya pasal khusus terkait dengan penghinaan presiden. Menurutnya, pasal tersebut akan rawan sekali disalahgunakan, dan susah untuk membedakan antara penghinaan dan kritikan.
“Terutama untuk membungkam lawan-lawan politik, membungkam kritisme dari masyarakat,” kata Refly, Selasa (6/2/2018), lansir Republika.co.id.
Menurut Refly, jika dalilnya seorang presiden harus dilindungi, semua warga negara juga harus dilindungi. Tapi, perlindungannya bersifat umum.
“Ingat ini pasal khusus, bukan berarti presiden itu tidak dilindungi, semua warga negara jika mereka merasa terhina, merasa terlecehkan, mereka kan bisa mengadu. Tapi, itu kan berupa delik aduan, yang sifatnya umum,” jelas Refly.
Perlakuan khusus untuk presiden, lanjut Refly, lebih baik jika dalam melakukan delik aduan oleh presiden bisa diwakilkan, misalnya dengan kuasa presiden. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika sifatnya berupa delik aduan dan tetap berlaku pasal umum yang juga berlaku juga bagi warga negara biasa.
“Bisa diwakilkan agar presiden tidak sibuk. Bukan hanya sibuk ya, tapi tidak sibuk melayani hal-hal seperti itu. Dan kemudian, kita harus menjaga martabatnya. Bayangkan kalau presiden ke Kapolres atau ke Mabes, itu kan lucu,” tuturnya.
Selain itu, kata Rafly, sudah ada pasal yang mengatur mengenai ujaran kebencian, seperti adanya UU ITE.
“Dan itu bisa melindungi seorang presiden. Jadi, menurut saya, tidak kekurangan instrumensasinya sebenarnya,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)