JAKARTA (Arrahmah.id) – Isu kampanye Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang disisipkan dalam film anak kian mencuat. Pasalnya beberapa film yang diproduksi oelh Disney, seperti Zootopia (2016), Beauty and The Beast (2017), hingga Lightyear -film spin- off Toy Story (2022) terbukti mengandung konten LGBT.
Tidak hanya film, konten-konten LGBT juga banyak ditemukan dalam berbagai judul komik yang kerap menjadi konsumsi bacaan anak-anak.
Pakar komunikasi asal Universitas Islam Bandung (Unisba), Muhammad E Fuady, meriset jangkauan konten-konten LGBT terhadap anak dan jangkauan komunikasi topik terkait LGBT dalam media sosial.
“Puluhan ribu akun terlibat pembicaraan LGBT itu mendapatkan ratusan juta reach. Bisa dibayangkan, itu jumlah yang fantastis. Berarti ada ratusan juta pasang mata yang melihat pembicaraan tersebut,” kata Muhammad E Fuady.
Sebaran konten LGBT itu masuk ke ruang keluarga, baik secara langsung lewat konten film, tayangan televisi, komik, maupun percakapan di media sosial yang dapat menjangkau anak-anak.
“Tema LGBT ini, tanpa disadari berbagai pihak, sebenarnya masuk ke ruang keluarga. Isu ini hadir melalui berbagai tayangan televisi, film, hingga komik yang banyak anak-anak dan remaja akses,” ujarnya.
Dia mencontohkan anak-anak SD saat ini dapat mengakses manga atau komik Jepang, Manhwa (Korea), dan Manhua (China) dengan tema percintaan sesama jenis, antar laki-laki atau perempuan.
Komik bergenre Boys Love (Yaoi) dan Girls Love (Yuri) itu menggambarkan romansa secara halus. Sehingga tanpa disadari melekat nilai-nilai yang terdapat komik tersebut.
“Ini temuan nyata di lapangan. Anak-anak SD rentan menduplikasi bacaannya sehari-hari. Tak heran, selain membaca komik boys lover, mereka juga menggambar beberapa halaman komik dengan tema yang sama. Kreatif dalam membuat komik tetapi kontennya meresahkan, tak sesuai dengan norma dan agama. Media yang diakses dan dibuat anak SD itu tidak terpantau orang tua dan guru,” ungkap Fuady.
Selain itu, film superhero yang orang tua anggap aman untuk anak, sebenarnya justru berpotensi dalam mempengaruhi pola pikir anak terhadap LGBT karena film superhero ada yang mengampanyekan LGBT.
“Misalnya film seri Flash, superhero cowok berpacaran dengan cowok. Film seri Supergirl, kakaknya yang perempuan pacaran dengan sesama perempuan,” kata dia.
Oleh karena itu, Fuady mengimbau agar para orang tua jeli dalam memilah konten-konten yang akan dikonsumsi oleh anak-anak. Orang tua perlu berkomunikasi dan menanamkan nilai-nilai agama di rumah agar anak memahami pergaulan yang baik dalam agamanya.
“Orang tua harus memperhatikan perkembangan anak dalam pergaulan dan akses medianya. Membatasi dan mengawasi konten yang dikonsumsi anak bukan sesuatu yang buruk, apalagi melanggar hak asasinya,” ujarnya.
Guru di sekolah juga perlu mengetahui perkembangan anak didiknya. Kegiatan media literasi dan konseling di sekolah dibutuhkan orang tua murid dan siswa.
“Mereka ditengarai memiliki orientasi dan pergaulan yang berbeda tidak boleh diabaikan apalagi didiskriminasi. Setidaknya butuh pendekatan yang tepat untuk mengarahkan mereka pada hal-hal yang baik,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.id)