JAKARTA (Arrahmah.id) – Pemberitaan dugaan kebocoran data pribadi masyarakat belakangan ramai.
Ironisnya, payung hukum yang kuat perihal perlindungan data tersebut tidak kunjung disahkan.
“Bila ini terus terjadi maka dunia internasional akan meningkat ketidakpercayaan pada Indonesia. Padahal Indonesia kini “pemimpin” G20, jangan sampai ajang G20 nanti dihiasi kebocoran data,” terang Chairman lembaga riset siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) Pratama Persadha, melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (3//2022), dikutip dari VIVA.
Ia juga menyoroti absennya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang membuat negara tidak memiliki aturan yang memaksa terhadap PSE ihwal perlindungan data penggunanya secara maksimal.
“Dengan kondisi di Indonesia yang belum ada UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga tidak ada upaya memaksa dari negara kepada peneyelenggara sistem elekntronik (PSE) untuk bisa mengamankan data dan sistem yang mereka kelola dengan maksimal atau dengan standar tertentu,” jelasnya.
Menurutnya, dengan absennya UU PDP tersebut, tidak ada yang bertanggungjawab soal kebocoran data, dan semuanya merasa menjadi korban.
Selain itu, ia juga menyoroti peran Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) yang menurutnya seminimal-minimalnya menjelaskan ke publik ihwal tindakan yang diambil oleh lembaga publik dalam menangani kebocoran data.
“BSSN juga harus masuk lebih dalam pada berbagai kasus kebocoran data di tanah air, minimal menjelaskan ke publik bagaimana dan apa saja yang dilakukan berbagai lembaga publik yang mengalami kebocoran data akibat peretasan,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)