JAKARTA (Arrahmah.com) – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan, Bandung, Asep Warlan Yusuf, mengatakan bahwa dari segi norma apapun, tidak ada celah bagi Ahok lolos dari kasus penistaan agama yang dilakukannya. Bahkan, menurut Asep, tidak ada kekuatan apapun yang bisa menyelamatkannya.
“Jadi ada empat norma yang ada yaitu norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kebiasaan. Penistaan yang dilakukan Ahok terhadap Al Quran sudah memenuhi empat norma tersebut. Jadi tidak ada celah dan tidak ada satupun kekuatan yang bisa melindungi Ahok dari kasus tersebut,” ujar Asep, di Jakarta, dikutip Harianterbit, Selasa (3/1/2017)
Asep menjelaskan berdasarkan norma hukum, Ahok jelas sudah melanggar aturan hukum mulai dari UUD 45, sampai KUHP tentang penistaan agama. Dia, ujar Asep, jelas sudah melanggar norma agama terutama agama Islam.
“Dia juga melanggar hukum kesusilaan atau moral karena penistaan kepada satu agama adalah tidak bermoral. Juga norma kebiasaan karena sangat tidak mungkin seorang pejabat publik melakukan itu. Jadi baik dari hukum positif, politik, etika dan lain-lain, dia tidak mungkin bisa lolos,” tegasnya.
Menurut Asep, meski ada berbagai isu maupun fakta bahwa pihak berwenang terkesan melindungi Ahok, namun hal itu diyakini Asep tidak akan bisa menahan masyarakat untuk bisa mendapatkan keadilan sampai Ahok dihukum. Asep mendesak aparat menegakkan hukum menjalankan tugasnya memproses Ahok.
Jika sampai Ahok lolos dalam kasus ini, lanjut dia, tidak ada jalan lain selain menggunakan tekanan publik. Untuk itu publik harus bergerak. “People power adalah jalan terakhir kalau negara tidak bergerak dan harus ditekan. Terbukti dari demo 4/11 dan 2/12 kemarin,” paparnya.
Teguran
Terpisah, Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Habiburokhman mengungkapkan, ada satu hal penting yang luput dari pembicaraan publik soal ditolaknya eksepsi Ahok, pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (27/12/2016) lalu.
Hal tersebut adalah dipatahkannya salah satu amunisi penting penasehat hukum Ahok, yakni dalil bahwa terdakwa kasus dugaan penodaan agama itu tidak bisa langsung dijerat hukuman sebelum mendapatkan teguran terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1/PNPS/1965.
“Dalil tersebut sebenarnya cukup kuat jika dimasukkan ke jawaban dalam pokok perkara,” kata Habiburokhman saat dihubungi di Jakarta, Senin (2/1), lansir Harianterbit.
“Namun, entah mengapa penasehat hukum Ahok memilih memasukkannya dalam eksepsi dan berbuah sangat pahit bagi mereka, yakni ditolak mentah-mentah. Akibatnya mereka tidak bisa memasukkan kembali dalil tersebut pada pledoi mereka nanti,” sambungnya.
Menurut Habiburokhman, jika merujuk pada perdebatan menjelang penetapan tersangka beberapa waktu lalu, saat ini hanya tersisa dua argumentasi andalan penasehat hukum Ahok yang akan diperiksa di pokok perkara.
Dua argumentasi tersebut adalah soal pemenuhan unsur ‘dengan sengaja’ dan soal kekuatan mengikat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Soal pembuktian benar tidaknya redaksi pidato Ahok sudah tidak dibahas, karena Ahok sendiri sudah mengakui apa yang dia sampaikan di Kepulauan Seribu.
“Saya pikir JPU tidak akan sulit membuktikan unsur ‘dengan sengaja’ tersebut. Klaim bahwa kalimat Ahok yang disampaikan secara spontan dan lisan tidak bisa membuktikan adanya niat Ahok untuk menodai agama sangat mudah dipatahkan,” ujarnya.
Dari bukti-bukti yang telah disampaikan pelapor, disebut Habiburokhman, dapat diketahui bahwa Ahok memang sudah sering mempersoalkan orang yang menyampaikan Surat Al Maidah ayat 51.
“Bahkan ada bukti tertulis berupa buku berjudul ‘Merubah Indonesia’ di mana Ahok menyatakan ada ayat yang digunakan untuk memecah belah rakyat. Jadi pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu bukanlah keseleo lidah belaka,” ungkapnya.
(azm/arrahmah.com)