JAKARTA (Arrahmah.com) – Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan dimasukkannya kembali pasal penghinaan terhadap presiden atau pasal subversif dalam revisi UU KUHP adalah kemunduran bagi demokrasi. Pasal ini akan kalau disetujui akan mengembalikan kondisi Indonesia seperti di era orde baru yang jauh dari demokrasi yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
“Pasal ini akan mengembalikan posisi Indonesia seperti ketika era orde baru dimana tidak ada kebebasan berbicara dan tidak ada demokrasi. Semua yang telah dihasilkan dan diperjuangkan sejak reformasi akan hilang. Reformasi yang berdarah-darah seperti tidak dihargai lagi,” ujar Margarito ketika dihubungi, Selasa (4/8/2015), lansir Harianterbit.
Pasal penghinaan terhadap presiden juga akan sangat mudah dimanfaatkan oleh presiden untuk mengintimidasi rakyatnya. Pasal ini jelas akan melegalkan presiden untuk mengkriminalisasi rakyatnya.
“Ini cara paling mudah bagi presiden mengkriminalisasi rakyatnya karena dengan pasal ini semua rakyat yang dianggap menghinda presiden bisa dipidanakan,” tambahnya.
Dia pun melihat ada upaya dari pemerintahan saat ini untuk mengembalikan kondisi Indonesia seperti era orde baru, dimana kekuasaan presiden sangat luas dan tidak terbatas. Dia pun mengingatkan Jokowi agar lebih fokus menjalankan tugasnya daripada mengusulkan hal-hal yang justru membuat kemunduran dalam kehidupan demokrasi.
“Kalau Jokowi kerja benar, rakyat hidup sejahtera, hukum ditegakkan, dan semua yang telah dijanjikannya dilaksanakan, maka tentunya tidak akan ada kritik apalagi sampai ada penghinaan pada presiden. Sekarang ini Jokowi tidak perlu paranoid seolah semua kritik dianggap sebagai penghinaan,” tandasnya.
Seperti diketahui, Pasal penghinaan terhadap presiden sendiri sudah dibatalkan oleh MK ketika dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie pada December 2006. Dalam keputusannya MK membatalkan pasal 134, 136 dan 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden. Mengingat hal dimaksud secara konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945
MK menilai dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi dan berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap. (azm/arrahmah.com)