JAKARTA (Arrahmah.com) – Penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) oleh Pemprov DKI Jakarta di atas lahan reklamasi dinilai sudah sesuai aturan yang berlaku dan tidak melanggar hukum.
Dengan pemberian status hukum yang jelas dan tegas, maka pembangunan di lahan reklamasi yang telah ada akan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
Demikian disampaikan Pakar Hukum Agraria Universitas Gajah Mada (UGM) Nurhasan Ismail melalui keterangan tertulisnya, Jumat (28/6/2019).
“Keberadaan reklamasi itu sudah sah. Sekarang tinggal dilaksanakan pembangunan, supaya itu cepat berguna. Yang menjadi bagian pengembang bisa cepat dibangun. Yang menjadi bagian dari publik untuk infrastruktur publik, sarana publik, prasarana publik, sosial bisa cepat dibangun, sehingga publik ikut menikmati,” kata Nurhasan, lansir RMOL.
“Kalau dari sisi hukum, itu sudah clear,” tandasnya.
Menurut Nurhasan, beberapa peraturan yang menjadi dasar status pulau reklamasi dan penerbitan IMB, antara lain perintah TAP MPR IV/1993 tentang GBHN yang kemudian dilaksanakan lebih lanjut oleh Keppres Nomor 52 Tahun 1995.
Ia menambahkan, aturan itulah yang menjadi dasar bagi Pemprov DKI untuk melaksanakan reklamasi Teluk Jakarta.
Dan dalam pelaksanaannya, lanjutnya, kebijakan reklamasi dilakukan melalui kerja sama dengan pihak swasta.
Adapun terkait penerbitan IMB, Nurhasan mengungkapkan, tindakan sanksi penyegelan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah benar secara hukum dengan mengacu pada ketentuan Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung dan Pergub Nomor 128 Tahun 2012 tentang Sanksi Administratif Bagi Pelanggaran Bangunan.
Setelah itu, pihak pengembang berhak mengajukan permohonan IMB dan harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang berlaku agar sanksi penyegelan dapat gugur.
Selain itu, ujar Nurhasan, salah satu syarat permohonan dan penerbitan IMB adalah lokasi pembangunan bangunan tersebut sesuai dengan RTRW atau RDTR atau Rencana Zonasi yang berlaku pada saat IMB diajukan dan diproses, antara lain Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang RTRW Kawasan Strategis Nasional Jabodetabekpunjur yang merupakan pelaksanaan dari PP Nomor 26 Tahun 2008 dan PP Nomor 15 Tahun 2010, Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW DKI 2030 dan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang RDTR, dan Pergub Nomor 121 Tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta, Pergub Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D dan E sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari dari Perda Nomor 1 Tahun 2012, Perda Nomor 1 Tahun 2014 dan Pergub Nomor 121 Tahun 2012.
“Sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut sudah sangat cukup menjadi dasar bagi untuk menerbitkan IMB bagi pembangunan bangunan di pulau-pulau hasil reklamasi. Artinya, Gubernur tidak perlu menunggu adanya Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007,” terangnya.
Ia juga mengatakan, apabila tuntutan agar Pemprov DKI Jakarta harus menunggu Perda baru sebagai dasar penerbitan IMB itu dipenuhi, maka hal tersebut akan mendorong pelanggaran UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yaitu melakukan perbuatan sewenang-wenang karena tidak memproses permohonan IMB yang diajukan oleh warga masyarakat atau badan hukum.
Terkait janji kampanye Anies yang menyebut akan menghentikan reklamasi, Nurhasan berpendapat publik harus bisa membedakan antara kampanye dengan realita persoalan hukum terkait reklamasi ini.
Ia menilai, kampanye reklamasi dihentikan itu tidak sepenuhnya keliru, karena dari sekian perjanjian kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan pengembang terkait pembangunan pulau reklamasi, hanya ada tiga yang berhasil sampai menghasilkan reklamasi.
“Diambillah kebijakan oleh Gubernur bahwa yang belum menghasilkan pulau, perjanjian kerja samanya dan izin-izinnya dihentikan, dibatalkan. Tapi yang sudah ada, yang sudah mengeluarkan dana untuk membentuk pulau itu ya diteruskan,” paparnya.
Selain itu, lanjutnya, sangat tidak adil bahkan bisa berdampak pada implikasi hukum terhadap Gubernur apabila reklamasi distop dan dihancurkan, karena sudah ada perjanjian antara swasta pengembang dengan pejabat sebelumnya dalam pembangunan reklamasi, ditambah sudah ada dana yang terpakai untuk pembangunan reklamasi tersebut.
“Bisa-bisa Gubernur digugat oleh para mitra dari perjanjian kerja sama ini. Mereka membentuk pulau itu coba dihitung berapa ratus miliar, bisa triliunan. Jadi menurut saya, tidak terlalu menyimpang juga apa yang dijanjikan dulu dengan realita. Bahwa ada perjanjian yang harus dihormati oleh Gubernur siapapun Gubernurnya. Itu kan sejak tahun 1997 (reklamasi) dimulai,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)