JENEWA (Arrahmah.com) – Pakar hak asasi manusia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan kepada pihak berwenang Tiongkok pada Kamis (26/12/2019) untuk mengungkap lokasi Tashpolat Tiyip, seorang akademisi Tiongkok yang berasal dari Uighur, yang ditahan di sebuah lokasi yang tidak diketahui di Tiongkok.
Keberadaan Tiyip tidak diketahui sejak mantan presiden Universitas Xinjiang tersebut ditahan pada tahun 2017 saat bepergian ke sebuah konferensi di Jerman, kata para ahli yang mengkhawatirkan situasinya karena laporan bahwa ia telah dijatuhi hukuman mati.
Dilansir Anadolu Agency, para ahli mendesak agar tempat penahanannya saat ini diumumkan dan keluarganya harus diijinkan untuk mengunjunginya.
Pernyataan itu mengatakan bahwa Tiyip dilaporkan dijatuhi hukuman mati, dengan penangguhan hukuman dua tahun, setelah dinyatakan bersalah atas tuduhan separatisme.
“Pihak berwenang Cina telah mengindikasikan kepada kami bahwa Tiyip sedang diadili atas tuduhan korupsi, seorang pengacara telah disewa oleh kerabatnya, dan ia belum dijatuhi hukuman mati,” kata para ahli.
“Informasi bahwa Tuan Tiyip tidak dihukum mati, jika ini benar, maka ini adalah kabar baik,” imbuhnya.
“Ketidakpastian mengenai tuduhan terhadap Tuan Tiyip, kondisi persidangannya, dan hukumannya adalah masalah yang sangat memprihatinkan, terutama jika informasi bahwa ia dijatuhi hukuman mati adalah benar,” tegasnya.
Mereka mengatakan bahwa setiap hukuman mati yang dijatuhkan dalam kondisi yang tidak memenuhi jaminan paling ketat atas pengadilan yang adil akan melanggar hukum hak asasi manusia internasional dan bersifat sewenang-wenang, kata para ahli.
Wilayah Xinjiang ditinggali sekitar 10 juta warga Uighur. Kelompok Muslim Turki, yang membentuk sekitar 45% dari populasi Xinjiang, telah lama menuduh otoritas Cina melakukan diskriminasi budaya, agama dan ekonomi.
Tiongkok dituduh melakukan kebijakan represif terhadap kaum Uighur dan menahan hak-hak agama, komersial, dan budaya mereka.
Hingga kini, 1 juta orang, atau sekitar 7% dari populasi Muslim di Xinjiang, telah dipenjara dalam j kamp “re-edukasi”, menurut pejabat AS dan pakar PBB. (rafa/arrahmah.com)