JAKARTA (Arrahmah.com) – Infotainment telah lama menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini tidak lepas dari motif infotainment itu sendiri yang berbasis pada kepentingan materi (bisnis), tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kelayakan.
Karena sifatnya bisnis, yang tidak dalam upaya menjalankan perintah agama, maka hal-hal yang dilarang agama, seperti mengumbar aurat, membuka aib orang lain, dan mengorek-ngorek kesalahan orang untuk dikonsumsi publik, menjadi satu hal yang harus dieksploitasi. Padahal hal ini tentu merusak dan sangat dilarang agama.
“Membuka aib orang lain itu haram! Apalagi semua itu dilakukan tanpa ada maksud yang jelas atau tidak ada keuntungannya,” terang Dr. Zain Al-Najah kepada hidayatullah.com.
Lebih lanjut doktor bidang fikih lulusan Universitas Al Azhar, Mesir, ini menjelaskan bahwa membuka aib orang lain itu hanya boleh dalam dua keadaan. Pertama, ketika seseorang hendak menikah. Kedua, dalam rangka mengungkap satu kasus kejahatan.
“Dalam dua kondisi ini maka membuka aib diperbolehkan,” ujar dosen Pascasarjana LIPIA yang juga pengasuh Rubrik Fikih Kontemporer di situs hidayatullah.com ini.
Terkait soal menikah, Zain An Najah mengisahkan, ada seorang sahabiyat (sahabat wanita) yang meminta pendapat Rasulullah akan perihal dua pria yang melamarnya, yakni Mu’awiyah dan Abu Jahm. Rasulullah pun menjawab, kalau memilih Abu Jahm, dia seorang yang suka memukul dan Mu’awiyah adalah lelaki miskin. Rasulullah pun menganjurkan agar sahabiyat tadi menikah dengan Usamah.
Selanjutnya, Zain mengutip hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, sebagaimana dalam Kitab Arba’in Nawawi, “Barangsiapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.”
Menurutnya, aib orang seharusnya ditutupi, bukan justru dipublikasikan ke luar, apalagi untuk kepentingan bisnis.
Gaji Wartawan Gosip
Sementara itu, Prof Dr. KH. Ali Mustafa Ya’kub, MA, Imam Masjid Istiqlal ketika ditanya hukum uang (gaji) yang dipakai wartawan infotainment, mengatakan, harus dilihat bentuknya. Sebab tak semua berita infotainment bernilai haram.
Menurutnya, ada juga yang bernilai positif dan itu tidak termasuk haram. Namun jika beritanya bernilai aib, meski benar, gaji yang dimakan menurut hukum fikih adalah haram.
“Kita tidak bisa memutlakkan infotainment itu haram atau tidak. Jika infotainment itu memfitnah atau memberitakan aib seseorang, yang orang bersangkutan tidak suka jika itu diberitakan, maka ini haram. Dan, wartawan infotainment yang demikian tentu tidak boleh menerima uang imbalan,” ujarnya.
“Kita lihat isi infotainment itu sendiri. Kalau isinya haram maka gaji wartawannya pun haram,” ujar guru besar Ilmu Hadis IIQ (Institut Ilmu Alquran) Jakarta ini.
Menurut pakar hukum Islam ini, ada juga infotainment yang tidak haram dan bernilai positif. Ia menyebut contoh, berita tentang pernikahan, umroh, dan publik figur yang melahirkan.
“Tetapi jika ada infotainment yang isinya berita haram, sementara yang bersangkutan tidak keberatan, maka hukum infotainment tersebut tetap haram, dan gaji wartawan infotainment tersebut jelas haram,” ujarnya.
Menurutnya, hukum keharaman infotainment yang memfitnah dan mengumpat ini terang terdapat dalam Al-Qur’an, bahwasannya itu haram. QS. Al-Hujarat:12, bunyinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Sementara itu Zain Al-Najah meminta wartawan tak menjadikannya kegiatan infotainment alternatif mencari rezeki. Karena di dalamnya banyak terdapat hal-hal syubhat yang melampaui ajaran agama.
“Sebaiknya mencari rezeki yang lain yang lebih jelas kehalalannya,” terangnya. [hidayatullah/arrahmah.com]