Kalangan akademisi dan Rabbi Yahudi menilai positif konferensi Holocaust yang digagas Iran. Mereka menyatakan, konferensi yang baru pertama kalinya diselenggarakan di dunia itu, merupakan bagian dari kebebasan berpendapat seperti yang selama ini didengung-dengungkan Barat.
Konferensi Holocaust itu berlangsung pada Senin (11/12) di ibukota Iran, Tehran dan membahas apakah Holocaust benar-benar terjadi atau cuma mitos belaka. Iran sendiri menuai kecaman Barat, Eropa dan Israel karena menggagas konferensi tersebut, karena selama ini Barat terlanjur meyakini bahwa Holocaust benar-benar menimpa bangsa Yahudi.
Namun sejumlah akademisi dan Rabbi Yahudi berpandangan lain. Akademisi asal AS dan mantan senator dari Partai Republik wilayah Lousiana, David Duke menyatakan, apa salahnya membahas Holocaust dengan bebas, karena itu adalah bagian dari kebebasan berpendapat.
“Apalagi selama ini Holocaust sudah membuat mata masyarakat dunia buta akan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina,” kata Duke.
“Saya pikir Ahmadinejad (Presiden Iran-red) adalah orang yang sangat berani untuk mengangkat isu-isu ini,” sambungnya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehr Mottaki dalam pidato pembukaan mengatakan, tujuan konferensi adalah bukan untuk mengakui atau menolak Holocaust tapi untuk memberikan kesempatan bagi para pemikir yang tidak bisa mengungkapkan pandangannya dengan bebas tentang Holocaust di Eropa dan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tentang Holocaust yang dilontarkan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad.
“Pertanyaan sederhana Presiden Iran: ‘jika Holocaust adalah peristiwa sejarah, mengapa Holocaust tidak bisa diteliti?’ memicu tuduhan terhadap Iran tanpa berusaha mencari jawaban yang logis,” ujarnya.
Ia menyatakan, Iran akan mengakui Holocaust jika para cendikiawan dalam konferensi itu menyimpulkan bahwa Holocaust benar-benar terjadi.
Konferensi bertema “Review of the Holocaust: Global Vision” berlangsung selama dua hari dan dihadiri pakar sejarah Barat terkemuka antara lain Profesor Robert Raurisson dari Perancis dan Fredrick Toeben, sejarawan kelahiran Jerman berkewarganegaraan Australia.
Holocaust Cuma Mitos?
Ensiklopedi Britannica menyebutkan, Holocaust adalah “pembunuhan secara sistematis terhadap orang-orang Yahudi baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang dilakukan Nazi Jerman dan sekutunya atas sepengetahuan negara selama Perang Dunia II.” Jumlah orang Yahudi yang menjadi korban pembunuhan itu disebut-sebut mencapai angka enam juta orang.
Holocaust kembali hangat dibicarakan ketika Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad menyatakan ragu dengan kebenaran Holocaust dan menyebutnya hanya sebagai mitos. Ahmadinejad juga meragukan jumlah enam juta orang Yahudi yang disebut menjadi korban Holocaust.
Sebelumnya, beberapa pakar sejarah dan kalangan intelektual juga sudah mempertanyakan kebenaran Holocaust. Di antara mereka adalah seorang penulis asal Perancis Roger Garaudy dan Georges Thiel serta sejarawan asal Inggris, David Irving. Irving bahkan dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun karena menolak Holocaust. Hal serupa juga dialami Thiel karena dalam tulisannya, ia meragukan tragedi Holocaust.
“Orang-orang Yahudi dianiaya, itu betul. Mereka dideportasi, itu benar. Tapi tidak ada pembunuhan di kamp-kamp-tidak ada ruang gas,” kata Thiel dan menyebut Holocaust sebagai “kebohongan besar.”
Di beberapa negara di Eropa termasuk Austria, Belgia, Republik Chechnya, Perancis, Jerman, Lithuania, Polandia, Slovakia dan Swiss berlaku kebijakan; meragukan Holocaust adalah tindak kriminal. Tak heran kalau dua Irving dan Thiel itu diadili dan dijebloskan ke penjara karena membantah Holocaust.
Pendapat Rabbi Yahudi
Konferensi Holocaust di Tehran juga dihadiri oleh kalangan Yahudi dari Eropa dan AS, termasuk lima Rabbi untuk memberikan pandangan dari pihak Yahudi Ortodoks tentang Holocaust.
“Kami tentu saja mengatakan bahwa Holocaust itu ada, kami mengalami Holocaust itu. Tapi dengan alasan apapun Holocaust tidak bisa digunakan sebagai pembenaran atas tindakan yang tidak adil terhadap rakyat Palestina,” kata Rabbi Ahron Cohen dari Inggris.
Selain Cohen, juga hadir Rabbi Yisrael David Weiss yang memimpin delegasi dari gerakan Yahudi Neturei Karta, organisasi Yahudi anti-Zionis yang berbasis di New York. Gerakan ini meyakini, pendirian negara Palestina dan pemindahan Israel akan membawa perdamaian di Timur Tengah.
Kalangan Yahudi yang ikut serta dalam konferensi itu mengenakan pakaian khas berupa jas panjang dan topi berwarna hitam. Seorang peserta menempelkan pin bertuliskan “Orang Yahudi, bukan Zionis.”
Belum diketahui apa kesimpulan dari konferensi tersebut, apakah Holocaust benar-benar terjadi atau memang cuma mitos belaka seperti yang dikatakan Presiden Iran. (ln/iol/eramuslim)