Oleh Novita Mayasari, S.Si
Detik-detik pergantian tahun 2024 menuju tahun baru 2025 tinggal menghitung hari. Tentu banyak harapan-harapan yang tengah dilambungkan setiap orang saat ini seperti kehidupan yang lebih baik dari tahun sebelumnya mulai dari segi ekonomi, pekerjaan, kesehatan dan lain sebagainya.
Namun sayang tahun baru kali ini faktanya kita disambut dengan kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Sebagaimana dilansir dari tirto.id (Sabtu, 21/12/2024) menyatakan bahwa mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.
Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Konon pemerintah pun mengeluarkan berbagai dalih demi melancarkan keputusan kenaikkan tarif pajak ini yaitu untuk meningkatkan pendapatan negara. Kemudian mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dan terakhir untuk menyesuaikan dengan standar internasional.
Harapan agar kondisi ekonomi semakin membaik di tahun baru justru nyatanya dihadapkan dengan ekonomi yang siap mencekik masyarakat. Tak heran keputusan dari pemerintah yang semakin membuat rakyatnya kesulitan dalam ekonomi ini akhirnya menuai penolakan dari masyarakat. Hingga masyarakat membuat satu petisi yang meminta pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN tersebut.
Kebijakan Pajak Menzalimi Rakyat
Sungguh kebijakan pajak yang dilakukan oleh pemerintah terhadap berbagai barang dan jasa seperti, beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA dan lain-lain merupakan kebijakan yang zalim bagi rakyat terutama rakyat kecil. Di tengah himpitan hidup yang semakin sesak bertambah sulit lagi dengan adanya kenaikkan tarif PPN tersebut. Belum lagi para kepala keluarga dihadapkan sulitnya mencari lapangan pekerjaan tentu membuat hidup semakin tertekan, akhirnya banyak yang tidak sanggup menjalani hidup ini dan berakhir dengan bunuh diri.
Tak heran semua ini terjadi pasalnya sistem yang diterapkan saat ini adalah kapitalisme, di mana kebijakan pajak tersebut dengan segala akibatnya merupakan keniscayaan dari sistem ini. Pajak di dalam sistem kapitalisme merupakan sumber pemasukan utama dan pertama negara sebagai sumber pendanaan dalam pembangunan.
Tak pelak, akhirnya semua rakyat tanpa terkecuali terkena sasaran wajib pajak dan sungguh kewajiban pajak ini sangat menyengsarakan rakyat. Namun anehnya ketegasan pajak ini hanya berlaku kepada rakyat kecil sedangkan kepada pengusaha besar justru diberikan keringanan pajak bahkan diskon. Seperti itulah watak dari sistem kapitalisme yang membuat peran negara hanya berfungsi sebagai fasilitator dan regulator saja sehingga menimbulkan ketidakadilan dan kezaliman pada rakyat.
Sumber Pemasukan Negara dalam Islam
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Seperti itulah seharusnya peran suatu negara yaitu sebagai raa’in (pengurus rakyat). Di dalam islam peran negara lah yang akan membuat kebijakan pro terhadap rakyat sehigga membuat hidup rakyat menjadi damai dan aman sentosa, negara juga akan melakukan segenap daya dan upaya dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat.
Di dalam sistem ekonomi islam sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani yang tertuang dalam kitabnya an-Nidzomul Iqtishodi fil Islam yaitu sistem keuangan negara dalam islam adalah berbasis Baitul Mal, di mana baitul Mal sendiri memiliki sumber pemasukan negara yang tetap. Pemasukan negara tersebut meliputi pos kepemilikan negara (seperti ghanimah, fai, humas dll), pos kepemilikan umum (seperti hutan, barang tambang, sungai, padang rumput, dll) dan pos zakat (seperti zakat fitrah dan zakat mal/harta).
Berdasarkan hal tersebut sumber daya alam (SDA) dalam islam termasuk ke dalam kepemilikan umum, maknanya SDA tersebut tidak boleh di kuasai individu ataupun sekelompok orang karena SDA milik bersama.
Sebagaimana hadis Rasulullah ﷺ:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api”. (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)
Maka negara wajib mengelola SDA tersebut tentunya sesuai dengan syariat islam kemudian hasilnya dikembalikan lagi untuk kemaslahatan umat.
Insya Allah dengan berbagai sumber pendapatan negara tadi maka negara bisa untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa pajak.
Sebab di dalam islam pajak merupakan pilihan terakhir yang hanya boleh dipungut oleh negara ketika keadaan baitul mal tidak ada uang. Pajak atau Dharibah di dalam islam merupakan harta yang diwajibkan Allah Subhanahu wata’ala kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan yang memang diwajibakan atas kaum muslim.
Terkait kapan atau pada kondisi seperti apa pajak boleh dipungut maka islam telah menetapkan kondisi yang diperbolehkan untuk dipungut pajak. Menurut Syeikh Abdul Qadim Zalum dalam kitabnya al-Amwâl fî Daulah al-Khilafah ada beberapa kondisi yang mengharuskan negara mewajibkan pajak. Adapun kondisi-kondisi tersebut yaitu, pembiayaan jihad berikut industri militer serta industri pabrik-pabrik penunjangnya, pembiayaan para fuqara, orang-orang miskin dan ibnu sabil, pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim para guru dan melaksanakan pekerjaan -pelayanan masyarakat- demi kemaslahatan kaum muslim. Kemudian pembiayaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat (jalan-jalan umum, sekolah, rumah sakit, dll) dan yang terakhir pembiayaan untuk bencana.
Hanya saja pajak (dharibah) ini tidak akan dipungut kepada seluruh rakyat melainkan dipungut kepada para laki-laki muslim yang kaya saja dan sesuai dengan jumlah yang diperlukan saja. Selain itu pajak akan dipungut setelah sebelumnya negara mengajak kaum muslim untuk berinfaq terlebih dahulu. Apabila hasil infaq tersebut telah mencukupi kebutuhan negara maka penarikka pajak pun tidak diperlukan lagi.
Wallahu’alam bis shawwab