Oleh : Asy Syifa Ummu Sidiq
(Arrahmah.com) – Pajak ibarat lampu merah di jalan raya. Lampu merah ada untuk menghentikan kendaraan yang lalu-lalang. Bagaimana jika tak ada lampu merah? Kendaraan akan melaju terus, tanpa berhenti seperti di jalan bebas hambatan.
Demikian pula dengan pajak mobil mewah, keberadaannya menjadi hambatan bagi jual beli mobil. Adanya pajak akan meningkatkan harga mobil. Jika harga mobil mahal, masyarakat tak akan mampu membayar. Kalaupun mampu hanya orang beruang.
Apalagi di masa pandemi seperti ini, jual beli mobil mewah hampir stagnan. Pasalnya harga mobil naik, dibarengi dengan turunnya daya beli masyarakat. Oleh karena itu, hal inilah yang mendasari dicabutnya pajak mobil mewah.
Kebijakan ini akan berlaku per Maret 2021. Pajak penjualan barang mewah yang dimaksud adalah kendaraan di bawah 1500cc. PPnBM dikenakan pada 3 bulan pertama 100 persen, 3 bulan kedua 50 persen dan 3 bulan selanjutnya 25 persen (wartaekonomi.co.id, 14/02/21).
Demi Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pemotongan pajak ini sudah pas. Karena jika harga mobil rendah akan banyak pembeli. Sehingga roda ekonomi dapat berputar. Selain itu memang ada alasan dari kebijakan ini.
Peminat mobil adalah orang kelas menengah. Dimana mereka menduduki 70 persen pasar lokal. Jika jumlah permintaan naik, maka penawaran akan ikut naik. Hasilnya produktifitas pembuatan mobil meningkat. Akhirnya stabilitas pertumbuhan ekonomi terjaga.
Alasan ini dinilai tidak masuk akal. Salah satunya Bima Yudistira, ekonom Indef yang menganggap diskon pajak mobil mewah tidak pada tempatnya. Pasalnya dilakukan saat pandemi, dimana pendapatan rakyat turun, daya beli mereka anjlok dan sulitnya memenuhi kebutuhan utama. Bima menambahkan, menjadi sesuatu yang lucu jika pandemi beli mobil. Adanya pemberlakuan PPKM tentu membuat orang tak dapat kelayapan seenaknya naik mobil.
Warganet pun ikut meramaikan pemberitaan ini. Pasalnya diskon pajak mobil mewah ini disandingkan dengan kebijakan naiknya iuran BPJS. Menurut mereka seharusnya yang diturunkan itu iuran BPJS, bukan pajak milik orang kaya.
Padahal pendapatan BPJS pada tahun lalu surplus 18,7 triliun. Sehingga harusnya kenaikan BPJS ditinjau kembali. Begitulah kira-kira pendapat senada yang dilontarkan Kurniasih Mufidayati, komisi IX DPR RI (wartaekonomi.co.id, 14/02/21).
Rakyat Jadi Sasaran Empuk
Kebijakan ini memang terlihat berat sebelah. Dengan penghapusan atau diskon pajak penjualan yang diberikan kepada pengusaha, memperlihatkan bahwa mereka memiliki kedudukan penting. Utamanya dalam pertumbuhan ekonomi. Padahal jika dilihat lebih dalam pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh daya beli masyarakat.
Siapa yang diuntungkan jika pajak mobil mewah ini dihilangkan? Tentu saja para pengusaha, mereka akan dapat keuntungan yang banyak. Tapi masyarakat tetap mengeluarkan uang untuk membeli mobil. Padahal di masa pandemi seperti ini, susah mencari uang.
Meski pajak penjualan mobil mewah ini ditiadakan, tidak akan mempengaruhi kondisi masyarakat. Masyarakat tetap harus membayar pajak lainnya. Seperti pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai bahkan juga membayar iuran BPJS yang jumlahnya tidak kecil.
Padahal pengeluaran mereka tiap bulan untuk kebutuhan sehari-hari tetap. Bahkan cenderung naik dengan mengikuti kenaikan harga-harga pasar. Di sisi lain, masyarakat kesulitan dalam keuangan. Pemutusan hubungan kerja alias PHK, gaji yang dipotong karena perusahaan sedang sulit atau pendapatan menurun karena usaha lagi sepi membuat masyarakat kalang kabut.
Memang, PPnBM hanya menyasar masyarakat menengah yang dinilai memiliki daya beli tetap. Meskipun mereka mampu membeli mobil, juga tak dapat dipakai kemana-mana. Mengingat si cantik corona masih ada. Apakah ini dilakukan hanya demi pertumbuhan ekonomi?
Lagi-lagi demi pertumbuhan ekonomi, rakyat seakan disodori barang mahal untuk dibeli. Padahal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih keteteran. Inikah yang disebut sebagai pemerintahan pro rakyat? Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Islam Mengutamakan Kebutuhan Rakyat
Bagi Islam rakyat adalah prioritas utama. Negara dalam hal ini adalah negara yang berasaskan Islam akan mengutamakan kebutuhan rakyatnya. Negara akan menjamin kebutuhan pokok rakyat. Mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Baik masyarakat ekonomi bawah, menengah atau atas akan dijamin kebutuhannya. Tidak ada pilih kasih.
Bagaimana dengan pajak penjualan barang mewah? Dalam sistem ekonomi Islam, pajak bukanlah pendapatan utama negara. Negara akan mendapatkan penghasilan dari pengelolaan sumber daya alam, jizyah, khoroj, fa’i, ghonimah dan zakat. Sehingga negara tak perlu menarik pajak kepada masyarakat.
Meskipun demikian, jika negara tak ada pemasukan dan kas mengalami kekosongan, pajak akan diberlakukan. Dengan catatan hanya dibebankan pada orang muslim dan memiliki kelebihan keuangan. Tidak dibebankan pada semua orang. Jadi rakyat tidak perlu membayar pajak ataupun iuran kesehatan.
Mengapa demikian? Karena Islam menjadikan pemerintah sebagai penggembala. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalanya.
“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar r.a.).
Wallahu’alam bishowab.
(*arrahmah.com)