Oleh: Dwi Sri Utari, S.Pd
(Guru dan Aktivis Politik Islam)
Baru-baru ini jagat maya diramaikan isu kenaikan PPN sembako. Daftar sembako yang akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) diunggah di media sosial X (dulu Twitter) @tigerwood158, pada Senin (20/5/2024). Narasi dalam infografis yang diunggah menyebutkan, pemerintah berencana mengenakan PPN 1 persen untuk sembako. Meskipun Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Dwi Astuti, membantah bahwa sembako akan dikenakan pajak. Namun tidak demikian dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati yang buka suara soal rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12% tahun depan. Bendahara negara ini menyerahkan hal tersebut kepada pemerintahan baru. (Detikfinance, 24/5/2024)
Berpijak pada pajak dalam menopang kondisi ekonomi sudah menjadi hal yang lumrah di negeri ini. Bahkan hal tersebut sudah tercantum sebagai salah satu sarana pemenuhan kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam menutupi defisit. Sebagaimana MenKeu Sri Mulyani Indrawati menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2025 dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke-17, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (20/5). Sri Mulyani paparkan salah satu poin mengenai optimalisasi pendapatan negara melalui kebijakan perpajakan. (Pajak.com, 21/5/2025)
Hal tersebut semakin memberi kesan bahwa sistem ekonomi negeri ini bercorak kapitalis di mana mengandalkan pada utang dan pajak dalam menopang ekonomi. Nampak dalam mekanismenya, negara terus memaksimalkan pajak agar kebutuhan negara bisa tercukupi. Hal ini sekaligus mengarahkan negara untuk terus memalaki rakyatnya. Semua hal ada pajaknya, mulai dari pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya. Namun sungguh ironi, semua itu hanya berlaku untuk masyarakat kelas bawah. Sebab, pada kenyataannya, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pemerintah justru menghapus beberapa pajak. Kemenkeu telah memutuskan pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Salah satunya terkait Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100% untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN. Pengurangan PPh 100% atau 85% untuk badan yang bergerak di sektor keuangan IKN. Fasilitas fantastis ini berlaku selama 25 atau 20 tahun (Nasional Kontan, 19/5/2024).
Padahal apabila negara ini mampu mengelola kekayaan alam dengan baik, maka hal itu sudah cukup untuk membiayai pengeluaran negara. Sesungguhnya, Indonesia memiliki sumber kekayaan alam (SDA) yang melimpah ruah. Jika dikelola dengan baik secara mandiri, hasilnya akan dapat dinikmati oleh rakyat. Sayangnya, sistem ekonomi di negeri ini telah melegalkan kepemilikan dan pengelolaan SDA oleh korporasi. Bahkan memberikan hak istimewa dengan pengurangan PPh. Akibatnya pemerintah kehilangan sumber pendapatan negara yang berasal dari harta milik umum dan milik negara. Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta maupun asing. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta/asing pun semakin menjamur. Para korporat untung namun rakyat menjadi buntung.
Selayaknya, Indonesia merujuk pada aturan pencipta dalam mengatur sistem ekonomi. Sebagaimana yang dicontohkan oleh negara Islam di masa lalu dalam menyelenggarakan pemeliharaan seluruh urusan rakyat dan melaksanakan aspek administratif terhadap harta yang masuk ke negara, termasuk juga cara penggunaannya, sehingga memungkinkan bagi negara untuk memelihara urusan masyarakat dengan baik. Dalil-dalil syarak telah menjelaskan sumber-sumber pendapatan harta negara, jenis-jenisnya, cara perolehannya, pihak-pihak yang berhak menerimanya serta pos-pos pembelanjaannya.
Baitul Mal adalah bagian dari struktur sistem pemerintahan dalam Islam yang bertugas mengatur penerimaan dan pengeluaran negara yang sesuai dengan syariah Islam untuk menyejahterakan rakyatnya secara orang-perorang dan menyeluruh. Dalam tata kelolanya, anggaran negara akan dibagi berdasarkan pos-pos yang ditinjau dari jenis harta di mana terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama terdiri dari fa’i dan kharaj yang menghimpun pemasukan dari ghanimah, fa’i, anfal, khumus anfal, kharaj, jizyah, harta milik negara, harta ilegal penguasa, harta waris yang tidak ada ahli warisnya, dan harta dharibah. Bagian kedua adalah bagian pemilikan umum yang menghimpun pemasukan dari hasil-hasil pengelolaan harta milik umum. Bagian ketiga, bagian zakat yang menghimpun harta zakat.
Perbedaan jenis harta ketiga bagian penerimaan negara itu, memberikan batasan kepada khalifah dalam melakukan kebijakan keuangan negara. Khalifah tidak boleh mencampuradukan ketiga bagian penerimaan tersebut baik dari sisi pencampuran harta maupun administrasi pembukuan. Khalifah juga tidak boleh mengalokasikan anggaran ke pos-pos yang memang tidak memiliki hak terhadap bagian penerimaan tertentu. Pelebaran alokasi pembiayaan dari suatu bagian penerimaan negara ke pos-pos pengeluaran yang dibiayai oleh bagian penerimaan negara lainnya dibolehkan jika ada kondisi-kondisi tertentu yang memenuhiketentuan syariah, misalnya kas baitul mal kosong.
Melalui pengaturan yang demikian, wajar apabila ketika Islam kaffah diterapkan selama berabad-abad lamanya, tidak pernah ada pungutan pajak. Islam bisa mendapatkan pendapatan yang besar dan beragam tanpa harus membebani rakyat dengan pajak maupun utang luar negeri. Sebab bersumber dari aturan sang pencipta manusia dan alam semesta akan melahirkan sistem ekonomi yang manusiawi dan menyejahterakan. Mekanisme demikianlah yang selayaknya diterapkan di negeri ini. Wallahu’alam bisshawab