Oleh : Hartono Ahnmad Jaiz
(Arrahmah.com) – Ada nabi palsu yang cukup kondang, yaitu Mirza Ghulam Ahmad (MGA), pendiri aliran sesat Ahmadiyah. Dia lahir di Qadian, Punjab, India, 13 Februari 1835 – dan meninggal 26 Mei 1908 pada umur 73 tahun, tidak lama setelah mubahalah dengan Syaikh Tsanaullah Al-Amritsari. Mubahalah (malediction, imprecation) berasal dari kata bahlah atau buhlah yang bermakna kutukan atau laknat. Mubahalah menurut istilah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah supaya Allah melaknat dan membinasakan pihak yang batil atau menyalahi pihak kebenaran.
Ternyata dalam kasus mubahalah ini Mirza Ghulam Ahmad-lah yang tidak lama kemudian mati mengenaskan.
Mirza Ghulam Ahmad mengaku mendapatkan wahyu dari Allah, lalu dikumpulkan sebagai wahyu muqaddas (wahyu suci) disebut Tadzkirah. Jadi dia sama dengan punya kitab suci tersendiri, namun masih mengaku Islam, bahkan yang tidak beriman kepadanya dianggap kafir. Dia juga punya kota suci tersendiri, Qadyan dan Rabwah; bukan Makkah, Madinah, dan Masjidil Aqsha yang merupakan kota suci Islam.
Sebenarnya Mirza Ghulam Ahmad itu memalsu Islam. Karena Mirza Ghulam Ahmad banyak membajak ayat-ayat Al-Qur’an, diklaim sebagai wahyu untuk dirinya.
Contohnya, Mirza Ghulam Ahmad mengaku diutus Allah untuk seluruh manusia (sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) di dalam Kitab Tadzkirahnya:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ الله فَاتَّبِعُوْ نِىْ يُحْبِبْكُمُ الله – وَقُلْ يَآاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّى رَسُوْلُ الله اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا
Artinya: “Katakanlah (wahai Ahmad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihimu – dan katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”. (Tadzkirah hal: 352)
Perlu diketahui, Ayat-ayat itu adalah rangkaian dari potongan-potongan ayat suci Al-Qur’an, yaitu surat Ali Imran 31 dan surat Al-A’raf 158.
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ (٣١)
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali ‘Imran: 31)
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ الله إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِالله وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِالله وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (١٥٨)
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS Al-A’raf: 158)
Ayat itu sengaja dipotong oleh Mirza Ghulam Ahmad di antaranya karena ada lafal النَّبِيِّ الأمِّيِّ Nabi yang Ummi yaitu sifat dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penamaan dengan Ummi itu ada dua pendapat, pertama bermakna tidak dapat menulis, dan yang kedua karena beliau dari Ummil Qura yakni Makkah. (Lihat Zadul Masir fi ‘Ilmit Tafsir oleh Ibnu Ali Muhammad Al-Jauzi w 597 H dalam menjelaskan ayat 158 Surat Al-A’raf).
Oleh karena itu, dengan curang dan licik serta dustanya, Mirza Ghulam Ahmad memotong ayat 158 Surat Al-A’raf itu dan dibuat sambungan QS Ali ‘Imran: 31 yang sudah dipotong pula, yang aslinya adalah jelas-jelas untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kemudian diklaim oleh Mirza Ghulam Ahmad. Ayat-ayat itu dan ayat-ayat lainnya yang jumlahnya banyak, dibajak dengan perubahan, penambahan, dan pengurangan, lalu dirangkaikan menjadi ayat-ayat dalam Kitab Suci Ahmadiyah “TADZKIRAH”.
Bukan hanya itu. Bahkan ada wahyu yang diklaim turun untuk Mirza Ghulam Ahmad khusus untuk merayu wanita, yang dia gandrungi yakni Muhammadi Begum, namun si wanita tidak menggubrisnya, malah kemudian si wanita itu nikah dengan lelaki bernama Sultan. Kemudian Mirza mengklaim turun wahyu lagi yang mengancam ayah dan suami si wanita, disebut akan mati dalam jangka sekian bulan bila tidak menceraikan Muhammadi Begum. Namun tak digubris pula itu ancaman yang diatas namakan wahyu.
Itu semua tentu saja sangat memukul jiwa sang nabi palsu yang kasmaran (tergila-gila kepada wanita) di umur tuanya ini . Lebih-lebih ketika derita sang nabi palsu MGA itu ditambah dengan pukulan berat yang sangat menambah malu baginya, yaitu sikap tegas anaknya sendiri yang bernama Fadhal Ahmad.
Kenapa?
Karena Fadhal Ahmad sama sekali tidak percaya kepada klaim-klaim sang ayah yakni MGA, baik masalah wahyu maupun rangkaiannya, apalagi soal wahyu “asmara” berkenaan dengan Muhammadi Begum. Sang anak berani menolak mentah-mentah seluruh ajaran sang ayah yakni MGA pendiri Ahmadiyah ini. Sampai-sampai, qadarullah ketika Fadhal Ahmad meninggal lebih dulu sebelum sang ayah, ternyata dendam dan kebencian sang ayah yakni MGA terhadap anaknya (Fadhal Ahmad) tetap dilampiaskan sampai meninggalnya si anak. Hingga MGA tak sudi menshalati jenazah anaknya, yakni Fadhal Ahmad. Dan tentu dari sebelum matinya, Fadhal Ahmad pun sama sekali tidak mengharapkan dishalati oleh bapaknya yang nabi palsu itu, bila belum bertaubat, dan kenyataannya tidak bertaubat, hingga akhirnya nabi palsu MGA mati sangat terhina karena sakit yang sangat mengerikan, menjijikkan, mengeluarkan kotoran yang sangat menjijikkan hingga orang tak sanggup mendekatinya untuk membersihkan setiap saat.
Qadarullah, ancaman wahyu MGA bahwa ayah dan suami Muhammadi Begum (wanita yang sangat digandrungi oleh MGA) akan mati dalam jangka sekian bulan bila tak diadakan perceraian, ternyata justru MGA sang nabi palsu sendiri yang mati lebih dulu dari mereka. Sehingga, kalkulasinya, posisi nabi palsu MGA pendiri aliran sesat Ahmadiyah itu jelas-jelas merupakan sosok yang remeh dan hina di mata anaknya sendiri yakni Fadhal Ahmad ketika masih hidup, juga di mata Syaikh Tsanaullah Al-Amritsari yang bermubahalah dengan MGA, juga di mata Muhammadi Begum wanita yang sangat digandrungi oleh MGA, juga di mata suami dan bahkan orang tua Muhammadi Begum. Mereka semuanya itu telah tegar dengan tegas-tegas menolak mentah-mentah apa-apa yang dibawa MGA, yakni aliran sesat Ahmadiyah.
Anehnya, kini ada tuan berpangkat jendral di negeri Muslim yang jumlah umat Islamnya terbesar di dunia, justru sampai kini belum berani apa-apa dalam menghadapi sisa-sisa ajaran nabi palsu MGA yakni aliran sesat Ahmadiyah itu. Padahal di tangannya lah harapan 200 juta Ummat Islam untuk menyikapi aliran sesat Ahmadiyah itu dengan tegas, yaitu membubarkannya alias melarangnya. Karena telah jelas-jelas menodai Islam, tapi atas nama Islam yang MGA palsukan.
Betapa jauh perbandingannya, antara keberanian Fadhal Ahmad putera sang Nabi Palsu itu sendiri yang jelas-jelas berani menolak terang-terangan terhadap aneka kesesatan Nabi Palsu MGA dibanding dengan pengecutnya sikap seorang tuan berpangkat Jendral di suatu negeri yang jumlah Islamnya terbesar di dunia. Bahkan Pak Jendral itu dalam hal ini dibanding Muhammadi Begum (“pacar” nabi palsu) yang hanya seorang wanita pun masih kalah berani.
Lantas mau dikata apa?
Astaghfirullah. Hasbunallah.
(arrahmah.com)