SANAA (Arrahmah.id) – Penjualan senjata Inggris ke Yaman telah berpotensi memicu pola pelanggaran sipil dan hukum internasional, sebuah laporan Oxfam, Oxford Committee for Famine Relief mengungkapkan pada Rabu (11/1/2023).
Dokumen setebal 43 halaman, berjudul “Fueling Conflict”, merinci bagaimana Inggris telah mendukung perang di Yaman dengan mentransfer senjata dan amunisi senilai lebih dari £23 miliar ($27,9 miliar) ke koalisi pimpinan Saudi.
NGO yang berfokus pada pengentasan kemiskinan global ini mendokumentasikan bagaimana serangan koalisi pimpinan Saudi, rata-rata satu per hari, telah menyebabkan kerusakan sistematis pada warga sipil dan infrastruktur sipil. Laporan itu juga membahas klaim pemerintah Inggris bahwa setiap pelanggaran hukum kemanusiaan adalah “insiden terisolasi yang tidak menunjukkan pola tertentu”.
“Data yang diperiksa oleh Oxfam dalam laporan ini dengan jelas menunjukkan kerugian yang dialami akibat perang di Yaman, berbagai dampaknya terhadap warga sipil, dan penghancuran infrastruktur sipil,” kata laporan itu.
“Ada pola jelas yang merugikan warga sipil melalui aksi militer, berjumlah ratusan insiden setiap bulan. Sebagian besar kerugian itu dilakukan oleh SLC (Koalisi Arab Saudi) melalui serangan udara di seluruh negeri.”
Inggris telah memberikan peralatan militer dan dukungan kepada koalisi pimpinan Saudi sejak intervensi di Yaman melawan pemberontak Houtsi mulai Maret 2015.
Lebih dari tujuh tahun pertempuran di negara Arab itu telah menimbulkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, dengan 23,7 juta warga Yaman saat ini membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Laporan Oxfam, yang berfokus pada data dari Januari 2021 hingga Februari 2022, memperkirakan telah terjadi 1.727 insiden yang menimbulkan korban atau kehancuran warga sipil, dengan 25 persen serangan dilakukan oleh koalisi pimpinan Saudi.
Dokumen tersebut memperingatkan risiko pelanggaran hukum humaniter internasional lebih lanjut, dan mendesak Inggris untuk membatalkan atau setidaknya menangguhkan lisensi senjatanya untuk “semua pihak yang berperang”.
Laporan ini juga menyerukan akuntabilitas yang lebih besar mengingat skala kehancuran di Yaman, menuntut agar PBB membentuk “mekanisme akuntabilitas yang efektif, independen, diterima secara luas”.
Tahun lalu, kesepakatan gencatan senjata dicapai antara Houtsi dan pemerintah Yaman yang didukung Saudi. Ini menawarkan secercah harapan bagi warga sipil Yaman yang telah lama berperang, namun pihak yang bertikai gagal memperbarui gencatan senjata pada Oktober, dan perang berlanjut hingga 2023. (zarahamala/arrahmah.id)