MYANMAR (Arrahmah.com) – Ketakutan dan ketidakpercayaan menyebar di kalangan komunitas Muslim akibat serangan anti-Muslim yang mematikan oleh Buddhis di Myanmar, lansir On Islam pada Rabu (3/7/2013).
“Kami kehilangan kepercayaan satu sama lain,” kata U Aye, seorang uslim yang bekerja sebagai salesman mobil bekas, kepada New York Times pada Rabu (3/7).
“Setiap transaksi bisnis antara Buddha dan Muslim bisa berubah menjadi insiden.”
Ketakutan telah mencengkeram Muslim Myanmar setelah serangan berulang-ulang oleh Buddhis dalam beberapa bulan terakhir sejak kekerasan anti-Muslim tahun lalu yang menewaskan lebih dari 200 orang dan membuat ribuan lainnya mengungsi.
Kekerasan anti-Muslim melanda Myanmar pada pertengahan April lalu, setelah sebuah perdebatan antara Buddhis yang memfitnah para pemilik toko Muslim, menewaskan sedikitnya 42 orang.
Para Biksu Budha telah menghasut kebencian terhadap umat Islam dengan memberitakan apa yang disebut “gerakan 969”, yang merupakan bentuk radikal nasionalisme anti-Islam, yang mendesak umat Buddha untuk memboikot toko dan jasa yang dikelola oleh Muslim.
“Pemerintah tidak bisa menjamin keamanan kami,” kata Nyi Nyi U, seorang pengusaha, yang mengorganisir sekelompok orang untuk menjaga lingkungan mereka di ibukota Yangon.
“Saya tidak berpikir bahwa polisi akan melindungi kami.”
Kelompok-kelompok HAM menyatakan polisi Myanmar menutup mata terhadap serangan terhadap Muslim.
Muslim Myanmar – sebagian besar dari India, Cina dan keturunan Bangladesh – mencapai sekitar empat persen dari sekitar 60 juta penduduk Myanmar.
Umat Muslim memasuki Myanmar secara massal untuk pertama kalinya sebagai buruh pada masa pemerintahan kolonial Inggris, yang berakhir pada tahun 1948.
Meski dengan sejarah panjang mereka, mereka tidak pernah sepenuhnya diintegrasikan ke dalam negara, secara luas mereka malah dianggap sebagai orang asing.
Muslim Myanmar mengatakan mereka tidak pernah mengalami kebencian terhadap komunitas mereka sebelumnya.
“Ini adalah pertama kalinya kami mengalami ini dalam hidup kami,” kata U Maung Maung Myint, yang menjalankan sebuah perusahaan ekspor-impor dan merupakan salah satu pengawas masjid Bengali di Yangon.
Kekerasan anti-Muslim telah menimbulkan keraguan atas keberhasilan transisi Myanmar dari 49 tahun kekuasaan militer yang menindas yang berakhir pada Maret 2011.
Maung Maung mengatakan dia merasa dikhianati oleh kegagalan petugas untuk melindungi Muslim dan mengurus mereka sebagai warga negara dengan hak yang sama.
“Kami berbaris di depan Kedutaan Besar Amerika dan meneriakkan, ‘Kami berharap hidup kami akan lebih damai – kami tidak mengharapkan ini.”‘
U Khin Maung Htay (59) mengenang bagaimana toko kelontongnya diserang oleh massa Buddhis di Hlaing Thaya Township pada bulan Februari.
“Saya menelepon polisi, tapi mereka berkata, ‘Jangan khawatir, tidak ada masalah.'”
Dia mengatakan bahwa polisi telah gagal menangani situasi dan membiarkan massa menghancurkan tokonya dan menjarahnya.
Muslim tersebut pun meninggalkan rumahnya dan sekarang menjadi pengungsi di kotanya sendiri, berdesakan di sebuah tempat pengungsian dengan dua kamar tidur di pusat Yangon bersama 22 kerabat lainnya.
Dia mencoba untuk kembali ke tempatnya, katanya, namun warga yang termakan provokasi menolak dan meneriakinya. “Mereka berkata, ‘Kembalilah ke India! Kembalilah ke Bangladesh!'” (banan/arrahmah.com)