XINJIANG (Arrahmah.com)– Otoritas kafir Cina di Xinjiang menuntut para pengacara Muslim untuk melarang anggota keluarga dan kerabat mereka untuk tidak berjanggut (bagi pria) dan memakai penutup wajah (bagi wanita), burqa atau cadar.
Para pengacara di Turpan, sebuah kota di bagian tenggara Urumqi, ibukota Xinjiang, harus menandatangani perjanjian yang isinya mengecam “ekstremisme” dan partisipasi dalam “kegiatan keagamaan ilegal,” tulis situs departemen pengadilan Xinjiang pada Selasa (12/11/2013), seperti dilansir Reuters.
“Para pengacara harus berkomitmen untuk menjamin bahwa anggota keluarga dan kerabat tidak memakai burqa, kerudung atau berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan yang ilegal, dan bahwa para pemuda tidak menumbuhkan janggut panjang,” kata pernyataan itu.
Peraturan tersebut diberlakukan dengan dalih untuk melindungi “stabilitas sosial,” dan karena para pengacara harus memiliki peran penting dalam memerangi “ekstremisme.” Pernyataan itu menambahkan bahwa sejauh ini 57 pengacara dan enam mahasiswa jurusan hukum telah menandatangani perjanjian tersebut.
Langkah baru ini menyusul sebuah tabrakan pada 28 Oktober di Tiananmen Square. Saat itu, sebuah mobil menabrak dan menewaskan tiga orang di dalam mobil dan dua orang yang sedang berdiri di dekat Tiananmen Square dan kemudian meledak dan terbakar.
Tanpa memberikan bukti kokrit, pemerintah Cina mencap insiden tersebut sebagai “aksi terorisme,” dan menuduh Muslim Uighur yang berada dibalik penyerangan dan polisi mengklaim telah menangkap lima orang yang terkait dengan serangan itu.
Muslim Uighur di Xinjiang telah membantah tuduhan Cina tersebut dan mengatakannya sebagai dalih untuk menindas komunitas Uighur di tengah-tengah diperketatnya keamanan.
Kongres Muslim Uighur Dunia mengatakan bawa mereka khawatir bahwa orang-orang yang tidak mau menandatangani perjanjian tersebut akan beresiko kehilangan lisensi mereka untuk praktek hukum atau akan menghadapi penyelidikan.
Muslim etnis Uighur di Xinjiang telah lama mengeluhkan diskriminasi dan penindasan dari otoritas Cina. Sejumlah Muslim telah meninggal dunia ditembak aparat kepolisian Cina dan sejumlah lainnya ditangkap. Sebagian besar mereka dituduh melakukan aktivitas yang terkait jihad atau yang otoritas Cina sebut sebagai “terorisme,” tetapi tanpa bukti dan pengadilan. Para korban biasanya langsung dimakamkan tanpa diungkap identitas mereka.
Organisasi peduli Uighur dan para pemerhati hak asasi manusia meyakini bahwa pemerintah Cina sengaja memunculkan isu “terorisme” sebagai pembenaran atas kebijakannya yang menindas Muslim Uighur. (siraaj/arrahmah.com)