MESIR (Arrahmah.com) – Otoritas junta Mesir telah menyetujui amandemen peraturan Universitas Al-Azhar yang bertujuan untuk membatasi perbedaan pendapat mahasiswa, lansir MEMO pada Sabtu (20/9/2014).
Perubahan itu berisi klaim bahwa “setiap mahasiswa atau anggota fakultas yang menghasut, mendukung atau mengambil bagian dalam kerusuhan, vandalisme atau protes yang mengganggu studi, akan diusir.”
Kampus Al-Azhar telah menyaksikan tindakan keras yang kejam pada para mahasiswa di sana yang dilakukan oleh pihak berwenang sejak kudeta militer 3 Juli lalu. Puluhan mahasiswa terbunuh oleh polisi junta saat melakukan aksi protes menentang kudeta yang menggulingkan Presiden Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin. Selain itu, ratusan orang lainnya juga telah ditangkap.
Ikhwanul Muslimin memperoleh dukungan kuat di Al-Azhar, salah satu pusat pendidikan paling bergengsi di dunia untuk studi Islam.
Kampus Al-Azhar telah muncul sebagai hotspot untuk protes anti-kudeta sejak 3 Juli lalu, dan terutama sejak pembantaian Rabaa Square di mana lebih dari seratus mahasiswa Al-Azhar ditembak mati oleh polisi junta Mesir.
Administrasi universitas, yang loyal kepada pemerintah junta Mesir saat ini, telah berulang kali mengizinkan polisi untuk masuk ke universitas dan melakukan serangan gas air mata kepada para mahasiswa pengunjuk rasa hingga memicu aksi protes lebih lanjut.
Menurut kantor berita MENA, aturan baru itu akan mencakup patroli oleh aparat keamanan di sekitar sekolah dan universitas sepanjang tahun akademik.
Hassan Nafaa, seorang profesor ilmu politik di Universitas Kairo dan pendukung kudeta militer, mengatakan kepada Reuters bahwa perubahan itu dilakukan sebagai langkah-langkah keamanan yang ditujukan untuk menakut-nakuti dan membatasi para pengunjuk rasa, terutama yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin serta kelompok-kelompok Islam lainnya. Namun dia menambahkan bahwa “langkah-langkah keamanan tidak akan cukup untuk menangani masalah ini.”
“Secara umum di kampus ada perasaan hilangnya kebebasan dan tumbuhnya penindasan. Pembatasan ini sedang dirasakan tidak hanya oleh pendukung Ikhwanul Muslimin, tetapi juga oleh kelompok lain, termasuk kaum kiri dan liberal,” katanya.
(banan/arrahmah.com)