XINJIANG (Arrahmah.com) – Pemerintah Cina telah menjatuhkan vonis mati terhadap 13 Muslim Uighur dan mencabut hak hukum para terdakwa. Kongres Uighur Dunia telah mengecam vonis mati tersebut yang dianggap “bermotif politik”.
Pemerintah terlalu berlebihan terkait dengan ancaman “terorisme”, bukannya mengatasi masalah yang sangat nyata terkait dengan terdiskriminasi dan supresi agama terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, kata Dilxat Raxit, juru bicara Kongres Uighur Dunia, sebagaimana dilansir oleh OnIslam.net, Selasa (17/6/2014).
Raxit mengatakan bahwa tindakan keras pemerintah terhadap Uighur adalah “bermotif politik“
Berbagai kecaman terus mengalir setelah 13 Muslim Uighur dijatuhi hukuman mati pada Senin (16/6) atas tuduhan terlibat dalam serangan “teroris” di Xinjiang dan Tiananmen Square Beijing.
Tuduhan tersebut tercatat pada Oktober 2013 ketika pemerintah Cina menuduh Muslim Uighur merencanakan serangan di Tiananmen Square yang menyebabkan dua orang tewas.
Muslim Uighur menepis laporan pemerintah Cina terkait dengan penyerangan di Lapangan Tiananmen, dan menganggap itu sebagai dalih untuk melakukan penindasan terhadap Muslim, di tengah tanda-tanda keamanan yang mulai membaik.
Bersama dengan vonis mati itu, seorang Muslim Uighur yang lain dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara empat orang lainnya dihukum dengan hukuman penjara berkisar antara lima sampai 20 tahun.
Muslim Uighur di Xinjiang, minoritas berbahasa Turki yang berjumlah lebih dari delapan juta jiwa, terus menjadi sasaran tindakan keras besar-besaran dari pihak keamanan Cina.
Muslim menuduh pemerintah Cina telah menempatkan jutaan etnis Han di wilayah mereka dengan tujuan utama untuk menghapus identitas dan budaya Muslim Uighur.
Beijing memandang wilayah Xinjiang yang luas sebagai aset yang tak ternilai karena lokasinya yang strategis di dekat Asia Tengah dan memiliki cadangan minyak dan gas yang berlimpah.
Sebelum Vonis mati terhadap 13 Muslim Uighur, sebuah laporan juga mengungkapkan bahwa seorang akademisi terkemuka Uighur, Ilhan Tohti, telah diadili secara rahasia dan dijatuhi hukuman penjara dengan waktu yang sangat lama.
Menurut pengacara Tohti, Li Fangping, sumber itu mengungkapkan rincian tentang sidang rahasia terhadap Ilham Tohti termasuk tempat dan vonisnya. Namun, pengacara itu menolak untuk mengungkapkan secara rinci kepada media.
Berdasarkan undang-undang, seorang pengacara seharusnya diberitahu tentang pelaksanaan sidang tiga hari sebelumnya, terlepas dari apakah itu terbuka untuk umum atau tidak,” Joshua Rosenzweig, seorang sarjana hukum hak asasi manusia independen di Hong Kong, mengatakan kepada The Guardian.
Januari lalu, polisi China menahan profesor Tohti, kritikus yang lantang menyuarakan tentang kebijakan keras pemerintah Cina terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Beberapa hari setelah penahanan itu, Cina menuduh Ilham Tohti telah menghasut “separatisme”.
Sejak tahun 2001, otoritas Cina telah melakukan tindakan keamanan yang keras terhadap Muslim di Xinjiang, dan membatasi praktek budaya, tradisi, bahasa dan agama mereka.
Xinjiang telah menjadi ajang berbagai insiden kerusuhan dalam beberapa tahun terakhir, dan tragedi yang tak terlupakan adalah insiden kerusuhan yang terjadi pada Juli 2009 yang telah menyebabkan hampir 200 orang tewas.
Pihak berwenang Cina telah menghukum sekitar 200 orang, sebagian besar warga Uighur, selama kerusuhan itu dan sebanyak 26 orang divonis mati.
(ameera/arrahmah.com)