BONN (Arrahmah.com) – Turki mengalami perubahan yang cepat karena pemerintahnya semakin otoriter, demikian diungkap oleh Deutsche Welle pada Selasa (19/9/2017).
Pasca kudeta yang gagal tahun lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menegaskan bahwa menjaga negara tetap stabil, menjadi negara yang kuat dan menerapkan tindakan tegas terhadap “musuh” merupakan sebuah urgensi. Sejak saat itu, puluhan ribu warga kemudian kehilangan pekerjaan mereka, termasuk guru dan wartawan di bawah undang-undang teror Turki yang kejam dan represif.
Setidaknya satu setengah dari populasi tampaknya mendukung strategi Erdogan meskipun mereka menyadari bahwa tanda-tanda kekuasaan otoriter muncul di sela-selanya. Mereka percaya Turki membutuhkan pemimpin yang kuat untuk menghidupkan kembali apa yang mereka sebut sebagai kebanggaan nasional.
Erdogan telah menjabat selama hampir 15 tahun dan pada awalnya dia menjadi berita utama yang mencoba memodernisasi Turki. Popularitasnya sebagian didorong oleh belanja infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi yang besar. Fitur penting lain dari politiknya, ungkap DW, adalah memadukan nasionalisme dan agama (yang tidak ada kaitan dari sumbernya sama sekali, Red.-).
Para pendukungnya mengatakan bahwa menjadi seorang Muslim adalah elemen utama untuk menjadi warga negara Turki. Menurut DW, visi Erdogan terkait negara menggema terutama di kalangan orang-orang saleh dan konservatif dari jantung Anatolia.
“Seorang Turki sejati mendukung pemerintah, negara dan Muslim,” kata Muhammet Fatih Sonmez.
Sonmez sendiri tidak sesuai dengan deskripsi umum dari pendukung Erdogan yang biasa dibesar-besarkan oleh media, baik nasional maupun internasional. Dia tidak mendatangi masjid secara teratur, akunya. Dia melanjutkan bahwa dirinya berpendidikan tinggi dan tinggal di Ankara.
“Turki dalam bahaya dan kami membutuhkan Erdogan untuk melindunginya,” tegasnya berapi-api.
Sonmez pun berpendapat bahwa visi presiden pertama Turki Kemal Ataturk untuk menciptakan negara sekular adalah konsep yang ketinggalan jaman.
Meskipun laporan agen berita asal Jerman ini dilatarbelakangi oleh sinisme Berlin atas Ankara atas masalah pelanggaran HAM dan penangkapan sejumlah warga negara Jerman baik wisatawan maupun kalangan jurnalis, namun DW menegaskan bahwa nasionalisme telah lama menjadi kekuatan utama yang menopang Turki untuk tetap hadir hingga saat ini.
Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk sendiri yang berhasil menyuntikkan nasionalisme sekuler di negara tersebut sehingga Turki tetap diberi pengakuan sebagai sebuah negara, negara yang selalu mencomot kegagahan sejarah masa lalu (meski mereka tahu betul bahwa sejarah ditopang oleh platform yang sama sekali berbeda, Red.), negara yang gemar menggonggong tanpa menggigit saat menanggapi sejumlah konflik yang berkembang di beberapa belahan bumi saat ini. (althaf/arrahmah.com)