YERUSALEM (Arrahmah.com) – Organisasi hak asasi manusia B’Tselem menyebut “Israel” dan penguasa wilayah pendudukan Palestina sebagai rezim apartheid. Istilah tersebut ditolak oleh pemimpin-pemimpin “Israel” dan para pendukungnya.
Dalam laporannya, B’Tselem mengatakan masyarakat Palestina yang tinggal di Tepi Barat yang dikuasai “Israel”, Gaza, Yerusalem yang dianeksasi “Israel” dan yang tinggal di “Israel” sendiri memiliki hak yang lebih sedikit dibandingkan orang Yahudi. Ketidakadilan terjadi mulai dari Laut Mediterania hingga Sungai Yordan.
“Salah satu poin utama dari analisa kami adalah satu wilayah geopolitik yang dikuasai oleh satu pemerintah. Ini bukan demokrasi ditambah okupasi, ini apartheid dari pinggir laut hingga sungai,” kata direktur B’Tselem Hagai El-Ad, sebagaimana dilansir Jerusalem Post, Selasa (12/1/2021).
Organisasi yang dihormati di “Israel” itu menggunakan istilah yang tabu di negara tersebut.
Beberapa kritikus pemerintah pun enggan memakai kata tersebut dalam perdebatan mengenai perang yang sudah berlangsung selama setengah abad.
Tahun lalu kritikus “Israel” Peter Beinart menggunakan istilah yang sama ketika ia menyarankan negara dwi-bangsa di mana warga Yahudi dan Palestina memiliki hak yang sama. B’Tselem tidak mengambil posisi apakah perang harus diselesaikan dengan solusi dua negara atau satu.
“Israel” selalu membanggakan diri sebagai negara demokrasi, di mana warga Palestina yang mencakup 20 persen populasi memiliki hak yang sama dengan orang Yahudi. Dalam perang 1967, “Israel” mengambil Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem timur.
Yerusalem timur adalah kampung halaman lebih dari lima juta warga Palestina dan diharapkan dapat menjadi ibu kota Palestina di masa depan. Tahun 2005 “Israel” menarik pasukan mereka dari Gaza tapi memberlakukan blokade usai Hamas merebut kekuasaan.
“Israel” menganggap Tepi Barat sebagai wilayah ‘yang disengketakan’ yang masa depannya ditentukan perundingan damai. Langkah “Israel” menganeksasi Yerusalem timur pada 1967 tidak diakui internasional dan menganggap wilayah itu bagian dari ibu kota mereka. Warga Palestina yang tinggal di Yerusalem timur adalah “warga Israel” tapi tidak memiliki hak untuk memilih.
B’Tselem berpendapat “Israel” menutupi kenyataan dengan memisahkan wilayah dan menggunakan cara pengendalian yang berbeda. Sekitar tujuh juta orang Yahudi dan tujuh juta orang Palestina yang tinggal di satu sistem yang sama hidup dalam ketidaksetaraan.
“Kami tidak mengatakan tingkat diskriminasi masyarakat Palestina yang menjadi warga ‘Israel’ atau tinggal di wilayah pendudukan Gaza harus sama. Intinya tidak satu inci pun dari laut hingga sungai, kehidupan orang Palestina dan Yahudi setara,” kata El-Ad.
Kritikus-kritikus “Israel” paling keras menggunakan istilah ‘apartheid’ selama berpuluh-puluh tahun, mengambil kebijakan rasialis Afrika Selatan yang berakhir pada 1994. Mahkamah Pidana Internasional mendefinisikan apartheid sebagai ‘rezim penindasan dan dominasi sistematik yang dilembagakan oleh satu kelompok rasial’.
“Tidak ada negara di dunia yang memiliki kebijakan apartheid sejelas ‘Israel’,” kata penasihat senior Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Shaath.
“Ini negara yang berdasarkan keputusan rasial yang bertujuan untuk merebut wilayah, mengusir masyarakat pribumi, menghancurkan rumah-rumah mereka, dan mendirikan permukiman,” tambah Shaath.
“Israel” menolak istilah tersebut dengan mengatakan pembatasan yang diberlakukan di Gaza dan Tepi Barat hanya kebijakan sementara yang perlu dilakukan atas alasan keamanan. Otoritas Palestina memerintah sebagian besar masyarakat Palestina yang tinggal di Tepi Barat.
Akan tetapi tentara “Israel” dapat memasuki wilayah yang dikepung oleh pos-pos penjagaan tersebut kapan pun mereka inginkan. “Israel” menguasai lebih dari 60 persen Tepi Barat. (Hanoum/Arrahmah.com)