POSO (Arrahmah.com) – Sewaktu ditangkap tim Densus 88, Nudin sedang mengendarai sepeda motor sepulang dari melakukan shalat Ashar di masjid kelurahan Kayamanya. Saat melintasi jalan raya, pria yang sehari-hari berprofesi tukang ikan dan berkebun ini, dihadang dua mobil yang ditumpangi tim Densus88 dari arah depan dan belakang yang langsung menabrak sepeda motornya yang menyebabkan Nudin terjatuh, saat itu Nudin ditembak dibagian kaki dan langsung dibawa ke dalam mobil yang dekendarai oleh tim Densus 88, dan langsung dibawa ke Palu. Namun dalam perjalanan Nudin dinyatakan tewas.
Pihak keluarga meminta pertanggung jawaban polisi terkait tewasnya Nudin saat dibawa ke Palu. Zainab ibu Nudin menuntut pertanggungjawaban Densus 88 yang telah membunuh anaknya. Dia kecewa dengan perilaku aparat polisi di Poso. Dia berujar mengenai anaknya, “Tidak ada dia itu kesalahan, kalau dia memang DPO tangkap, hukum, ada orang tuanya, hubungi orang tuanya. Bu, pak, ini ibu punya anak DPO kita orang mau tangkap, mau proses, asal proses baik-baik, tapi ini sudah ditembak sudah dibunuh sudah disikasa,” katanya penuh emosi. Lansir metrotv.
Arogansi Densus 88 memperkeruh Poso
Ahmad Nudin adalah korban dari arogansi Densus 88 di Poso. Dia dituduh sebagai teroris dan ditembak di jalan P.Seram Poso Kota pada kemarin sore Senin (10/6/2013). Ahmad Nudin tidak bersenjata dan dia baru pulang dari sholat Ashar di Masjid al Muhajirin
Masayarakat Poso menyesalkan dan memprotes tindakan Densus 88 yang sewenang-wenang. Luka yang masih tersisa pada muslim Poso coba dibuka oleh aparat jahat. Memprovokasi dan menebar teror kepada warga muslim. KH. Adnan Arsal, tokoh muslim Poso mengatakan “Dalam keadaan seperti ini tidak ada lagi kepercayaan kepada polisi, kami setengah mati mengembalikan nama baik polisi supaya diterima oleh masyarakat, tapi apa yang terjadi mereka sendiri yang merusak nama baiknya.”
Pemerintah pusat harusnya serius mau mengkaji dan evaluasi ulang pola-pola penindakan yang dominan mengedepankan kekerasan oleh aparat Densus 88. Karena kekerasan produk aparat telah melahirkan sikap antipati masyarakat terhadap aparat polisi. Lihatlah Poso, begitu Densus 88 buat ulah kemudian pergi, sisanya adalah kebencian masyarakat muslim Poso dan akhirnya di generalisir menempatkan semua aparat kemananan di Poso adalah musuh. Inilah realitasnya, jika tidak disadari dan ada perubahan langkah yang lebih bijak proporsional dan tepat, kita bisa ambil kesimpulan bahwa kekerasan yang terjadi adalah fabrikasi secara sistemik dan meluas. Indonesia telah berubah menjadi “state terrorism”.
(azmuttaqin/arrahmah.com)