(Arrahmah.com) – Pada satu waktu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam didatangi oleh delegasi dari kaum kafir Quraisy, mereka terdiri dari Al-Walid bin Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Muthalib serta Umaiyah bin Khalaf dan juga para pembesar lainnya. Tentu kunjungan para diplomat ini bukan semata-mata dalam rangka kebaikan , tetapi sebuah kejelekan yang tengah di bungkus dalam bingkai toleransi antar umat berkeyakinan.
Para delegasi terebut memberikan sebuah usulan agar saling bersikap damai dan hidup rukun antara kaum musyrikin dengan kaum muslimin dengan cara Muhammad beserta kaumnya mengikuti peribadatan mereka dan begitu juga sebaliknya, orang-orang kafir Quraisy akan mengikuti peribadatan orang Islam, seperti yang mereka serukan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
“Wahai Muhammad! Marilah engkau mengikuti ajaran agama kami, dan kami mengikuti ajaran agamamu, kemudian engkau bersama kami dalam setiap masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami selama setahun dan kami juga akan menyembah Tuhanmu selama setahun. Jika memang agamamu itu benar, maka kami akan ikut bersamamu, akan tetapi jika agama kamilah yang benar, maka engkau telah bergabung dan engkau akan mendapat bagian bersama kami.”
Rasulullah pun menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-Nya.” maka turunlah surat Al-Kafirun yang berisi 6 ayat sebagai tanda tentang sikap tegas yang harus di miliki oleh orang-orang yang beriman terhadap keyakinan dan aqidah orang-orang musyrik yang telah mempersekutukan Allah Ta’ala.
Lalu, apa hubungannya dengan orang Islam yang ikut merayakan natalan? Kan itu bukan menyembah Yesus? Bukankah hal itu malah menunjukkan sikap toleran dan bukti kerukunan antar umat beragama?. Ungkapan dan pertanyaan tersebut mungkin sering kita jumpai di tengah-tengah masyarakat yang mengaku beragama Islam apalagi pada hari-hari menjelang tanggal 25 desember nanti.
Padahal kalau melihat dari napak tilas awal mulanya syari’at perayaan natal dalam agama Kristen, maka dapat diketahui bahwa natal adalah suatu produk budaya kaum pagan untuk menyembah berhala mereka yang kemudian diserap oleh paulus dengan sedikit modifikasi agar terlihat lebih kristiani.
Tidak ada satupun perintah dari Bible agar umat kristiani merayakan kelahiran Yesus. Untuk peristiwa sejarah munculnya perayaan natal inipun para ahli sendiri sudah sepakat tentang tidak adanya perintah yang di dapati dalam Al-Kitab baik dalam kitab perjanjian lama atau perjanjian baru.
Di dalam situs http://www.catholic.org pada bahasan “Chrismast” juga di jelaskan, bahwa natal tidaklah dikenal oleh umat kristiani pada umumnya, melainkan bahwa acara tersebut bermula dari Mesir. Yaitu sebuah perayaan yang dilakukan oleh kaum pagan penyembah berhala yang jatuh pada bulan Januari hingga kemudian adat pagan bangsa Mesir tersebut dilanjutkan oleh agama kristen dalam rangka sebagai peringatan tentang kelahiran Yesus.
Adapun ditentukannya tanggal 25 Desember sebagai waktu kelahiran Yesus ini juga sarat dengan kontroversi, dalam Injil Lucas 2:11 di terangkan tentang kondisi beserta suasana kelahiran Yesus, dimana pada saat itu para penggembala sedang menjaga ternak mereka pada malam hari.
Tentu tidak mungkin jika para penggembala itu melepas ternaknya pada tanggal 25 desember yang notabene adalah musim dingin, apalagi pada malam hari yang cuaca hawanya sangat dingin dan menggigil. Bahkan di dalam Kitab Kidung Agung diterangkan bila musim dingin sudah tiba, tidak mungkin bagi para penggembala beserta ternaknya berada di padang terbuka pada malam hari. Sehingga waktu yang tepat untuk kelahiran Yesus sebagaimana yang termaktub dalam Injil lukas adalah bahwa Yesus lahir pada awal musim gugur, yaitu sekitar bulan september atau 6 bulan sesudah paskah.
Sesudah mengetahui tentang sekelumit asal-usul perayaan natal yang penuh dengan muatan ibadah kaum pagan. Maka dalam rangka toleransi beragama apakah boleh umat Islam untuk ikut merayakannya atau hanya sekedar memberikan ucapan selamat natal bagi mereka?
Maka jawabannya adalah tidak boleh, perbuatan tersebut hukumnya haram dan pelakunya mendapat dosa. Perayaan natal sudah masuk kepada ajaran bentuk peribadatan kaum pagan dalam menyembah berhala dan kaum kristen dalam mengagungkan Yesus sebagai sesembahannya.
Jika didapati seorang Muslim yang ikut berpartisipasi merayaan natal, maka sesungguhnya dia telah tergelincir kepada ibadah-ibadah kaum Kafir, meskipun perkara itu hanya dalam rangka toleransi antar umat beragama dan juga tanpa di dasari niat untuk membenarkan agama mereka. Karena, secara tidak langsung ketika orang Islam ikut merayakannya, maka dia telah ridlo dan rela terhadap segala bentuk kekufuran serta kemusyrikan yang mereka kerjakan.
Tentu hal ini sangat bertentangan dengan konsep bara’ (berlepas diri) ajaran Islam terhadap aqidah kufur sebagaimana firman Allah Ta’ala yang termaktub dalam surat Al-Kafirun;
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 4-6)
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dalam asbabun nuzul surat Al-Isra’ ayat 73-75 diriwayatkan bahwa beliau mendapat teguran secara tegas dari Allah Ta’ala ketika hendak menyambut tawaran dari Abu Jahal dan beberapa orang Quraisy lainnya untuk sekedar mengusap berhala tanpa di dasari niatan apapun sebagai syarat agar mereka mau masuk Islam. Tawaran untuk mengusap berhala saja sangatlah dimurkai Allah apalagi ikut merayakan peribadatan orang-orang kafir.
Dalam hadits Rasulullah juga bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud) sehingga hal inipun menjadi sangat jelas bahwa perayaan natal adalah salah satu dari sekian bentuk peribadatan orang-orang kafir yang harus dijauhi.
Para Ulama’ Islam seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, syaikh Al-Utsaimin, Prof Hamka dan yang lainnya telah memberikan fatwa haram bagi umat Islam untuk ikut meramaikan dan berpartisipasi dalam perayaan natal. Disebabkan hal itu mengindikasikan tentang pembenaran ajaran kristen yang menuhankan Nabi Isa ‘alaihis salam. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman,
“Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata : Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam. Padahal Al Masih sendiri berkata : Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka, tidak adalah bagi orang zhalim itu seorang penolong pun.” (QS. Al-Maidah: 72)
Maka dari itu, sikap toleransi yang haq bagi seorang muslim adalah bukan dengan cara ikut merayakan natal atau memberi ucapan selamat natal bagi orang kristen, tetapi dengan cara membiarkan mereka untuk beribadah dengan tetap di iringi sikap bara’, baik itu melalui hati, lisan, atau amal perbuatan. Allahu A’lamu Bis shawab.
Oleh: Zakariya Hidayatullah (Mahasiswa STID Natsir)