JAKARTA (Arrahmah.com) – Anggota Komisi Fatwa dan pengkajian Majelis Ulama Indonesia, Ustadz Fahmi Salim menolak opini yang berkembang bahwa peperangan di Suriah merupakan perebutan pengaruh antara blok sosialis dengan kapitalis. Menurutnya hal tersebut tidak berkaitan dengan fakta di lapangan.
“Itu asumsi rebutan sosialis kapitalis sebenarnya sudah tidak relevan. Pertama, blok sosialisme kapitalisme sudah runtuh, sudah selesai perang dingin antara Amerika dan blok uni soviet,” katanya kepada arrahmah.com, Jakarta, Rabu sore (13/6).
Menurut dia, yang terjadi di Suriah tidak lebih merupakan perebutan pengaruh kepentingan regional negara-negara tertentu semisal Rusia.
“Sekarang, memang yang terjadi adalah rebutan pengaruh-pengaruh regional, dimana Rusia menegakkan supremasinya, mungkin bukan untuk dunia. Tapi untuk regional, dimana tempat-tempat dulu dia berpengaruh. Dulu dia berpengaruh, misalnya di timur tengah, mempunyai sekutu seperti Mesir, Suriah dan negara-negara sosialis yang memiliki Partai Ba’atsnya, ini sekutu-sekutu tradisional Uni soviet,” jelas Ustadz Fahmi.
Hal tersebut menurutnya, ingin dihidupkan kembali oleh Rusia dan ini dibuktikan dengan adanya pemutihan 75% hutang pembelian senjata Suriah kepada Rusia sampai tahun 2005. Lalu, kemudian Suriah tetap mendapat suplai senjata. “Jadi, ini memang sekutu tradisional bukan kubu-kubu sosialisme,” ungkap Wakil Sekjen MIUMI ini.
Dia pun menegaskan kembali, penolakannya terhadap pandangan bahwa yang terjadi di Suriah merupakan pertarungan antara blok Sosialis dan Komunis seperti yang diungkap sejumlah pihak.
“Iya, jadi saya melihat tidak relevan dan keliru dalam memetakan analisis konflik timur tengah saat ini. Sebab tuntutan pertamanya kan demokratisasi atau kebebasan rakyat yang dimulai dari Tunis, Libya, Mesir, Aljazair. Jadi, ini berangkatnya dari situ, tidak ada infiltrasi atau perbedaan antara kubu-kubuan sosialis dan kapitalisme,” beber Ustadz Fahmi.
Tambah dia, berlarut-larutnya konflik di Suriah sendiri awalnya karena demonstrasi yang damai menuntut kebebasan dan keadilan dari masyarakat Suriah dihadapi dengan senjata seperti terjadi di Libya, bukan permainan politik di tingkat internasional.
“Inilah yang memunculkan konflik ini berkepanjangan. Nah, kemudian masuklah kepentingan regional, seperti Iran, Iran ini mempunyai kepentingan politik dan ideologi, kebetulan di Suriah mayoritas Ahlussunnah, kebetulan juga presidennya dari Syiah Alawite meskipun dia dari partai sekuler Ba’ats,” tuturnya.
Posisi Iran yang merespon keadaan Suriah tersebut, lanjut Ustadz Fahmi, karena kekhawatiran kepentingan membantu sekutu-sekutunya terganggu dengan lengsernya Bashar Assad.
“Tapi, ini penting untuk Iran menyalurkan logistik ke Hizbullah, tidak ada jalur lain, tidak mungkin memindahkan jalur ke Saudi. Jadi ini ada kepentingan aliansi politik, memprovokasi Israel, juga kepentingan aliansi ideologis,” katanya.
Selain itu, sambungnya, kecenderungan suksesi kekuasaan di Suriah yang berpotensi dialihkan kepada kaum sunni, membuat kekhawatiran Iran tidak memiliki mitra politik regional kembali.
“Kalau Suriah ini jatuh dan Partai Ba’ats jatuh seperti Mubarak dan Khadafi. Maka yang kemungkinan menerima tampuk kekuasaan di Suriah ini Ikhwanul Muslimin. Dan Ikhwanul Muslimin tidak bisa bekerjasama dengan Iran. Jadi Iran takut tidak ada sekutu lagi,” paparnya.
Ustad Fahmi sendiri, menyarankan umat Islam dapat mendukung aspirasi kaum Muslimin di Suriah dan memandang persoalan Suriah dengan perspektif yang baik.
“Ke depan, umat Islam harus menyuarakan keadilan, kemanusiaan, kemudian mewujudkan semua tuntutan rakyat yang ingin mendapatkan kebebasan keadilan dan kehidupan yang layak. Perubahan rezim itu sudah menjadi keniscayaan menjadi tren umum di Timur tengah, yang menolak itu, menolak sunnatullah. Saya harapkan umat Islam bisa melihat itu dengan jernih, tanpa melihat ada infiltrasi, kubu-kubuan,” lontarnya. (bilal/arrahmah.com)