PALU (Arrahmah.com) – Kapolda Sulawesi Tengah Brigjen Pol Rudy Sufahriadi mengaku polisi tidak ada niat untuk menzalimi umat Muslim dalam upaya mengejar kelompok bersenjata pimpinan Santoso di Poso.
“Kita tidak mungkin menzalimi umat muslim. Saya ini muslim. Hanya karena saya pakai baju polisi, maka kita pakai cara penanganan polisi,” kata Rudy pada rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Palu, Selasa (22/3/2016), dikutip dari Antara.
Rapat tersebut berlangsung di Mapolda Sulteng dihadiri jajaran anggota Komisi III dan Polda Sulawesi Tengah serta Badan Narkotika Nasional Provinsi Sulawesi Tengah.
Banyak hal yang diungkap terkait penyelesaian penanganan kasus terorisme di Sulawesi Tengah dalam pertemuan tersebut, namun karena alasan teknis maka Kapolda meminta kepada media massa untuk tidak mempublikasikan hal tersebut.
Ketua Satgas Operasi Tinombala ini meminta pengertian media massa agar rencana strategis penanganan teroris di Poso tidak bocor ke publik karena akan menyulitkan langkah aparat.
Dia menduga sebagian strategi penanganan teroris sudah terungkap di media sehingga informasi tersebut juga bocor ke sasaran operasi.
Yang jelas, kata mantan Kapolres Poso itu, penanganan teroris harus melibatkan semua pihak karena teroris tidak saja tampak di permukaan, namun juga sebab-sebabnya harus diantisipasi dan diselesaikan secara bersama.
Permintaan untuk tidak mempublikasikan teknis penanganan di Poso juga diungkap anggota Komisi III DPOR RI asal Sulteng, Supratman Andi Agtas.
Dia meminta media agar tidak memberitakan penjelasan teknis penanganan terorisme di Poso khususnya materi dalam pertemuan yang berlangsung di Mapolda Sulteng.
Komisi III mendukung secara politik atas upaya yang dilakukan aparat dalam menyelesaikan terorisme di Indonesia.
Anggota Komisi III Nasir berharap Santoso secepatnya tertangkap agar negara bisa menjadi santosa.
Nasir juga menyarankan penanganan terorisme di Poso belajar dari penyelesaian kasus di Aceh.
Menurut dia, penyelesaian kasus terorisme tidak semata-mata menggunakan cara represif namun juga perlu cara-cara yang lunak.
Dia khawatir keturunan dari para korban terorisme akan melahirkan dendam sehingga kasus ini tidak bisa diselesaikan hingga ke akar-akarnya.
“Dulu anak-anak mereka masih usia 10-15 tahun. Sekarang tumbuh besar dan mereka menyimpan dendam. Ini problem baru,” katanya. (azm/arrahmah.com)