JAKARTA (Arrahmah.com) – Komisi I dan III DPR RI harus memanggil unsur sektor keamanan yakni Panglima TNI dan Kapolri guna mendapatkan evaluasi terbuka dari pelaksanaan rangkaian Operasi Camar Maleo dan Tinombala di Poso. Demikian rilis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) beberapa waktu lalu.
KontraS tidak sepakat dengan sikap yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolkam) Luhut Binsar Panjaitan yang dengan keputusan sepihaknya menambah waktu operasi keamanan di bawah nama sandi Tinombala untuk membekuk Santoso di Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.
KontraS mengetahui bahwa pada kunjungan Menkopolkam di Poso Rabu, 9 Maret 2016 LB. Panjaitan menerangkan bahwa perpanjangan operasi dibutuhkan guna mempertegas proses deradikalisasi dan memutus rantai teror di Poso; selain medan operasi yang begitu berat.
“Namun keputusan sepihak tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan pernyataan pokok yang dikeluarkan sepanjang Operasi Camar Maleo ditahun 2015 dan di awal penerapan Operasi Tinombala,” demikian rilis yang diteken Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar.
Kata KontraS, Kapolri Badrodin Haiti dibulan Agustus 2015 menerangkan bahwa jumlah pasukan Santoso dan MIT hanya berkisar 40 orang. Jenderal Haiti juga menyatakan bahwa Polri belum memerlukan bantuan dari TNI untuk mengejar Santoso cs, “Kami sudah koordinasi, tetapi belum kita minta bantuan. Ini masih bisa diatasi.” Pernyataan Jenderal Haiti kemudian diikuti dengan perpanjangan Operasi Camar Maleo 3 hingga 9 Januari 2016. Perpanjangan juga melibatkan menambahkan pasukan elite TNI. Saat itu Kapolri menyatakan bahwa pasukan TNI memiliki kemampuan khusus untuk mengatasi medan geografi hutan dan pegunungan tanpa diikuti penjelasan seberapa jauh operasi keamanan ini bisa dikatakan sukses dan berhasil untuk melokalisir Santoso cs. Operasi Camar Maleo pun dilanjutkan dengan nama sandi operasi baru yakni Tinombala per Januari 2016.
Sementara Panglima TNI Henderal Gatot Nurcahyono, menambahkan dibulan Januari 2016 bahwa tidak mungkin menjadikan Poso sebagai wilayah Darurat Militer. Jenderal Gatot juga menegaskan bahwa Kapolri adalah pucuk komando operasi dengan TNI yang akan membantu pengejaran dan penangkapan Santoso cs di sekitar pegunungan Poso. Februari 2016, Komisaris Besar Leo Bona Lubis (Kepala Operasi Daerah Tinombala 2016) dan juga menjabat sebagai Wakil Kapolda Sulawesi Tengah menyatakan bahwa kelompok Santoso cs kini dalam posisi terjepit dan kelaparan. Pasukan gabungan TNI/Polri yang terus melakukan penetrasi di sekitar Pegunungan Biru Poso tidak kurang melibatkan 2000 personel untuk membekuk 40 orang jaringan Santoso dan MIT.
Oleh karena itu KontraS menedesak
- Presiden RI untuk segera mengevaluasi situasi tertib sipil di Poso. Koordinasi antara Polri dan TNI harus mendapatkan catatan pengawasan dan pengontrolan evaluasi dari pengambil keputusan, bukan Menkopolkam yang sesungguhnya memang memiliki fungsi koordinasi keamanan. Presiden RI harus menjalankan fungsi koordinasi tertinggi untuk urusan keamanan di Indonesia
- Komisi I dan III DPR RI harus memanggil unsur sektor keamanan yakni Panglima TNI dan Kapolri guna mendapatkan evaluasi terbuka dari pelaksanaan rangkaian Operasi Camar Maleo dan Tinombala di Poso.
- Menkopolkam yang menjalankan fungsi koordinasi eksekutif lintas menteri harus memastikan adanya mekanisme pengawasan dan pemulihan ketika menyatakan sikap untuk melanjutkan operasi keamanan di Poso. Ada korban yang salah ditangkap, salah ditembak, dan lain sebagainya harus mendapatkan ruang pemulihan sebagaimana yang diatur dalam UU No. 31/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 6. Artinya Komnas HAM, Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan korban harus terlibat aktif dalam ruang pengawasan dan pemulihan pada Operasi Tinombala 2016 ini.
(azm/arrahmah.com)