(Arrahmah.com) – Gelombang penolakan terhadap Undang-Undang Omnibus Law masih terus berlanjut. Berbagai kalangan turun ke jalan menuntut agar UU ini dibatalkan. Tidak hanya kaum buruh namun mahasiswa, seniman bahkan gamer pun turut menolaknya. Wajar saja karena dampak dari UU Omnibus Law ini bukan hanya kaum buruh, namun ternyata berimbas terhadap beragam aspek lainnya. Misalnya lingkungan, pengadaan tanah, pendidikan dan seterusnya, bahkan terkait sistem sertifikasi halal pun terkena dampaknya.
Sebagaimana dilansir rri.co.id (14/10/2020) UU Omnibus Law telah mengubah sistem sertifikat halal. Sebelumnya sertifikasi ini hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan kini memberi alternatif sertifikasi halal dapat dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Pasal 35A ayat (2) berbunyi, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Terkait hal itu, anggota komisi fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya. “Bagaimana BPJPH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tahu seluk beluk sertifikasi,” kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).
Diketahui pada pasal 4A ayat 1 dan 2 UU Omnibus Law, dinyatakan pelaku usaha mikro kecil wajib untuk bersertifikasi halal. Berdasarkan pernyataan tersebut pelaku usaha boleh mendeklarasikan sendiri bahwa produknya halal (self declare) .
Mekanisme ini nantinya diatur berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH. Kalau kita cermati kebijakan mudahnya mendapatkan label sertifikat halal, tak menutup kemungkinan hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Terkait bahwa pemerintah saat ini tengah melakukan penguatan terhadap industri-industri kecil atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang bergerak dalam pembuatan produk-produk halal. Saat ini pemerintah tengah menyiapkan Kawasan Industri Halal (KIH) sebagai salah satu upaya untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia.
Bersamaan dengan persiapan KIH tersebut, layanan sertifikasi halal akan dilakukan secara satu atap atau one stop service, kata Ma’ruf Amin saat menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis Ke-63 Universitas Diponegoro (Undip) secara daring, Kamis (15/10/2020).
Sungguh sebuah kebahayaan ketika Undang-Undang Omnibus Law menetapkan regulasi tentang self declare Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jika sebelumnya pemerintah mengatur bahwa pengurusan sertifikasi halal itu wajib, maka dengan UU Omnibus Law cukup dengan self declare.
Hal ini memungkinkan peluang banyaknya produsen melakukan deklarasi mandiri bahwa produknya halal tanpa melakukan sertifikasi melalui lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau auditor halal lainnya. Maka suatu produk akan semakin tidak jelas kehalalannya, walaupun terdapat label halal.
Dikarenakan klaim sepihak semata, yakni pembuat produk tersebut. Selain itu kebahayaan regulasi ini adalah meniadakan peran ulama dalam sertifikasi halal. Padahal predikat halal itu berkaitan dengan hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan ulama.
Sebuah hal yang lumrah dalam sistem kapitalis sekuler ketika urusan agama dinafikan dan peran ulama ditiadakan. Sesuai dengan akidahnya bahwa sekulerisme adalah faham pemisahan agama dari kehidupan dimana asas manfaat merupakan landasannya.
Maka tak heran regulasi yang dihasilkan dari sistem ini hanya mengejar keuntungan semata. Atas nama kemudahan investasi sangat mudah mengorbankan standar halal sesuai syariat Islam sehingga urusan halal pun cukup dinyatakan mandiri bahkan tidak lagi melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dalam Islam, persoalan halal-haram bukan perkara main-main karena menyangkut barang yang dikonsumsi ratusan juta muslim di negeri ini. Untuk merealisasikan perkara penting ini diperlukan sinergi tiga pilar yaitu individu, masyarakat dan negara.
Pilar pertama yaitu individu, sebagai seorang muslim harus mempunyai kesadaran akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Sertifikasi halal tak bermanfaat jika umat Islam sendiri tidak peduli dengan kehalalan produk yang dikonsumsi.
Produsen akan berpikir apa untungnya mempertimbangkan bahan baku halal atau tidak dalam produk yang dijualnya apabila konsumen tetap menerima produk tidak halal? Apalagi menggunakan bahan baku haram saat ini jauh lebih murah harganya dan laku juga dalam penjualan. Keadaan ini telah diprediksi dalam sabda Rasul saw:
“Akan datang kepada manusia satu zaman dimana orang tidak lagi peduli apa yang ia ambil apakah dari yang halal atau dari yang haram.” (HR. Bukhari)
Pilar kedua adalah masyarakat. Dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi kehalalan berbagai produk yang beredar. Partisipasi masyarakat ini dapat berupa pendirian lembaga pengkajian mutu membantu pemerintah dan publik. Selain untuk mengontrol mutu juga men-cek kehalalan berbagai produk. Hasil penelitian mereka bisa direkomendasikan kepada pemerintah untuk dijadikan acuan kehalalan suatu produk.
Pilar ketiga adalah negara, dimana harus mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan barang. Karena merupakan hajat publik yang vital maka negara harus memberikan sanksi kepada kalangan industri yang menggunakan cara dan zat haram serta memproduksi barang haram.
Negara juga memberikan sanksi para pedagang yang memperjualbelikan barang haram kepada kaum muslimin. Kaum muslimin yang mengonsumsi barang haram juga dikenai sanksi sesuai nash syariat.
Misalnya, peminum khamr dikenakan sanksi jilid 40 atau 80 kali. Muslim yang mengonsumsi makanan haram mengandung unsur babi dikenakan pidana ta’zir oleh pengadilan. Di samping itu, proses sertifikasi kehalalan wajib dilakukan secara cuma-cuma, bukan dijadikan ajang bisnis. Negara wajib melindungi kepentingan rakyat dan tidak boleh mengambil pungutan dalam melayani masyarakat.
Dengan demikian jelas bahwa hukum Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali aspek kualitas dan kehalalan pangan. Hukum Islam yang diterapkan secara kafah akan melindungi dan membawa kemaslahatan bagi manusia. Hukum sempurna yang datangnya dari Sang Maha Pencipta sekaligus Maha Pengatur.
Maka yakinlah hanya hukum Allah saja yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan. Sementara hukum buatan manusia sarat kepentingan yang saling bertentangan. Karenanya sudah selayaknya manusia mengambil hukum Allah semata dalam segala urusan. Allah Swt. berfirman :
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. al-Maidah: 50)
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
*Oleh : Ummu Munib, Ibu Rumah Tangga
(*/arrahmah.com)