(Arrahmah.com) – Gonjang ganjing jagad politik demokrasi di negeri ini, hendaknya bisa kita tarik hikmah untuk instropeksi bersama, lalu berubah ke arah yang benar. Saat rakyat ingin dipimpin pemimpin dan sistem politik yang mampu mengayomi dan melindungi rakyat; sekaligus menjadi benteng yang menjaga rakyat, maka rakyat sendirilah yang harus bergegas mewujudkan perubahan. Hendaknya siapapun yang mengurusi rakyat, apalagi mereka Muslim, takut konsekuensi buruk kebijakan itu, baik di dunia maupun di akhirat.
Saat penguasa keliru, maka segera lakukan koreksi. Dalam Islam, mengoreksi penguasa merupakan salah satu hak umat Islam dan kewajiban kifayah (fardhu kifayah) atas kaum muslimin. Sementara bagi non muslim yang menjadi warga negara daulah Islam memiliki hak untuk menyampaikan syakwa (aduan) karena kedzoliman penguasa atas mereka atau penyimpangan penerapan hukum Islam atas mereka.
Terkait amanah kepemimpinan, Nabi saw. bersabda:
Seorang pemimpin (penguasa) adalah pemelihara dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan mereka. (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ancaman terhadap para penguasa dan pemimpin yang khianat tentu wajar belaka. Pasalnya, kekuasaan adalah amanah. Amanah adalah taklif hukum dari Allah SWT. Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Pada dasarnya, amanah adalah taklif (syariah Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati…Jika ia melaksanakan taklif tersebut maka ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah. Sebaliknya, jika ia melanggar taklif tersebut maka ia akan memperoleh siksa.” (Ibnu Katsir, Tafsîr Ibnu Katsîr, III/522).
Fakta telah jujur membuka tabir dibalik klaim bahwa demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang ternyata tidak terbukti. Faktanya, penguasa dan wakil rakyat terpilih sering mengeluarkan berbagai kebijakan yang menyesengsarakan rakyat. Diakui atau tidak, munculnya para penguasa dan wakil rakyat yang kerap berdusta dan mengkhianati rakyat adalah buah dari sistem demokrasi. Demokrasi hanya membajak suara mayoritas rakyat untuk kepentingan segelintir orang yang haus kekuasaan dan rakus kekayaan. Setelah kekuasaan dan kekayaan didapatkan, rakyat pun segera dilupakan.
Paradigma politik kapitalis adalah fokus pada masalah kekuasaan, meraih dan mempertahankan kekuasaan. Fakta persekongkolan pemodal-politisi-penguasa/pejabat tidak bisa dipungkiri. Kepentingan mereka dan kelangsungan posisi, jabatan dan kekuasaan menjadi yang mereka utamakan. Akibatnya, kepentingan rakyat terabaikan. Kepentingan rakyat tidak lebih hanya dijadikan komoditi, barang jualan selama kampanye. Demokrasi sejak awal mengklaim suara rakyat sebagai sebuah kebenaran mutlak. Benar salah boleh tidak segala sesuatu ditentukan berdasarkan suara mayoritas, bukan Al Quran dan As Sunnah (halal-haram). Termasuk bukankah seorang penjahat atau koruptor sekalipun tetap bisa menjadi seorang pemimpin daerah seperti dalam pemilukada asalkan mengantongi suara mayoritas rakyat.
Kenyataan keterpisahan antara penguasa dan rakyat ini merupakan konsekuensi logis dari penerapan ideologi Kapitalisme dan sistem politik demokrasi. Doktrin Kapitalisme menyatakan peran negara dalam mengurus kepentingan umum harus seminimal mungkin. Konsekuensinya, negara (pemerintah) tidak memperhatikan kepentingan masyarakat.
Sistem politik demokrasi tidak lain merupakan industri politik. Untuk menjalankan mesin politik memerlukan modal besar. Hal itu meniscayakan kolaborasi politisi dan penguasa dengan para pemilik modal, juga meniscayakan diutamakannya kepentingan pemilik modal dari pada kepentingan rakyat, karena rakyat tidak bisa memodali jalannya mesin politik. Sistem industri politik itu berkonsekuensi melahirkan sistem korporatokrasi (negara korporat). Akibatnya, penguasa (pemerintah) lebih banyak memposisikan dan memerankan diri sebagai pedagang dan memposisikan rakyat sebagai pembeli.
Realita yang ada itu menunjukkan bahwa pemerintah (penguasa) bukannya memelihara kepentingan rakyat, tetapi justru menzalimi rakyat dan tidak menyayangi mereka. Penguasa demikian dinilai Nabi saw. sebagai seburuk-buruknya penguasa. Nabi saw. bersabda:
Sesungguhnya seburuk-buruk pemimpin adalah al-Hathamah (mereka yang menzalimi rakyatnya dan tidak menyayangi mereka) (HR Muslim).
Paradigma politik Islam adalah pemeliharaan urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai hukum-hukum Islam. Dengan paradigma politik Islam ini, yang menjadi fokus perhatian para politisi dan penguasa adalah pemeliharaan urusan dan kemaslahatan umat. Dari situ lahirlah perilaku politisi yang senantiasa memperhatikan urusan dan kepentingan umat. Kualitas seorang politisi dalam Islam diukur dari sejauh mana tingkat kepedulian dan pemeliharaannya atas urusan dan kepentingan umat.
Semua aktivitas politik itu bukan hanya berdimensi duniawi tetapi yang lebih melekat lagi adalah dimensi ukhrawi, yaitu pertanggungjawaban di hadapan Allah atas sejauh mana ri’ayah (pemeliharaan) terhadap urusan rakyat (pihak yang diurus). Nabi saw bersabda:
Tiap kalian adalah pemimpin dan tiap kalian dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan rakyatnya (orang yang diurusnya) (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi)
Mimpi tentang sistem politik bersih dan politisi yang bersih serta peduli pada kepentingan rakyat hanya akan bisa diwujudkan dengan sistem politik Islam. Dalam Sistem Politik Islam, semua masalah di atas yang menjad ciri bawaan sistem politik demokrasi kapitalisme akan bisa disingkirkan dan dipupus. Hal itu hanya bisa diralisasi di bawah Sistem Politik Islam, Khilafah, yang menerapkan syariah Islam secara totalitas. Kapan lagi kita perjuangkan dan wujudkan kalau tidak sekarang?
Umar Syarifudin – Syabab HTI (pengasuh majelis Taklim al Ukhuwah Kediri)
(*/arrahmah.com)