KABUL (Arrahmah.id) — Puluhan perempuan Afghanistan menggelar unjuk rasa di Kabul, Sabtu (29/4/2023). Mereka menyuarakan protes atas kebijakan-kebijakan syariah yang ditetapkan Taliban atau Imarah Islam Afghanistan (IIA). Mereka menilai kebijakan IIA diskriminatif terhadap kaum perempuan sehingga menyerukan dunia agar tidak mengakui pemerintahan IIA.
Sekitar 25 perempuan Afghanistan berjalan dan berbaris melewati daerah perumahan di Kabul sambil meneriakkan slogan-slogan anti-Taliban.
“Pengakuan terhadap Taliban, pelanggaran hak-hak perempuan,” pekik mereka dalam pawainya, dikutip laman Al Arabiya (29/4).
Mereka pun menyuarakan slogan lain seperti “Rakyat Afghanistan sandera Taliban” dan “Kami akan berperang, kami akan mati, kami akan mengambil hak kami”.
Unjuk rasa yang digelar sekitar sekelompok kecil perempuan Afghanistan itu berlangsung kurang dari 10 menit. Mereka menghentikan aksi sebelum adanya konfrontasi dengan pasukan keamanan IIA.
Aksi berskala kecil semacam itu cukup sering digelar para perempuan Afghanistan. Tindakan mereka terbilang berani mengingat IIA sangat ketat terhadap aktivitas perempuan terlebih ketika terjadi pelanggaran peraturan syariat yang ditetapkan mereka, seperti tidak menggunakan burkha.
Unjuk rasa terbaru oleh perempuan Afghanistan digelar menjelang pertemuan antara perwakilan IIA dan PBB di Doha, Qatar, pada Senin (1/5).
Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed mengungkapkan, pertemuan di Doha bisa saja membahas “langkah kecil” menuju pengakuan pemerintahan IIA, tapi dengan persyaratan.
“Ada beberapa yang percaya ini tidak akan pernah terjadi. Ada orang lain yang mengatakan, ya, itu harus terjadi. Taliban jelas menginginkan pengakuan, dan itulah pengaruh yang kami miliki,” kata Mohammed dalam sebuah ceramah di Princeton University pekan lalu.
Pada Desember tahun lalu, IIA memutuskan menunda sementara kaum perempuan Afghanistan berkuliah. Menteri Pendidikan Tinggi IIA Nida Mohammad Nadim mengatakan, larangan itu diperlukan guna mencegah percampuran gender di universitas. Dia meyakini beberapa mata kuliah yang diajarkan di kampus, seperti pertanian dan teknik, tak sesuai dengan budaya Afghanistan serta melanggar prinsip-prinsip Islam.
Tak berselang lama setelah itu, IIA memutuskan melarang perempuan Afghanistan bekerja di lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non-pemerintah karena kerap terjadi pelanggaran hijab dan adanya campur baur (ikhtilat). Sebelumnya IIA juga telah menerapkan larangan bagi perempuan untuk berkunjung ke taman, pasar malam, pusat kebugaran, dan pemandian umum karena masalah ikhtilat yang tidak dapat dikontrol. IIAn pun melarang perempuan bepergian sendiri tanpa didampingi saudara laki-lakinya (mahram). Ketika berada di ruang publik, perempuan Afghanistan diwajibkan mengenakan hijab.
Serangkaian kebijakan IIA yang berlandaskan syariat ini dikecam dunia internasional. Sehingga tidak ada satu negara pun yang mengakui IIA karena hal itu. (hanoum/arrahmah.id)